Psycho Avatar

Posted At Saturday, January 05, 2008

Pindah Rumah
Tercatat mulai hari ini, blog ini akan saya non-aktifkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Akan tetapi, aktifitas blogging masih saya lakukan di http://mind.donnyreza.net, saya tunggu silaturahminya di sana ya? :)

Posted At Monday, December 24, 2007

Idul Adha 1428 H: Sebuah Catatan

Salah satu penyesalan yang muncul tidak lama setelah saya berhenti kerja setahun yang lalu adalah saya lupa bahwa tidak lama setelah itu adalah bulan haji. Berqurban dengan uang sendiri dan dari hasil jerih payah sendiri adalah cita-cita saya. Sebetulnya, tabungan saya saat itu lebih dari cukup untuk sekedar membeli satu ekor kambing. Akan tetapi, saat itu ternyata belum saatnya bagi saya berqurban. Ada kondisi-kondisi darurat yang menyebabkan tabungan saya tersebut terpakai…dan habis.

Alhmdulillah, tahun ini saya diberi kesempatan untuk berqurban dari hasil jerih payah sendiri. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Meskipun, bukan hal yang mudah juga ‘bergelut’ dengan berbagai macam pikiran yang muncul setelah niat berqurban itu muncul. Ada godaan-godaan yang memang ‘menggoda’. “Don, kamu kan pengen laptop, kalau qurban uangnya kurang dong…“. “Don, katanya pengen beli hub, dvd rom dan monitor baru…“. “Don, itu kamera DSLR lagi nunggu kamu beli tuh…“. Duh…!! Tidak jarang juga muncul dorongan untuk membatalkannya. Hanya saja, saya tidak ingin melalui Idul Adha tahun ini dengan penyesalan lagi.

Ketika menulis ini, muncul perasaan khawatir disebut riya kalau menceritakan amal yang telah dilakukan. Namun, takut riya juga ternyata malah masuk kategori riya. Akan tetapi, setelah ‘merenungi’ lagi perjalanan Rasulullah dan para sahabatnya, mereka melakukan amalan-amalan secara terang-terangan. “Luruskan niat!”, kata AA Gym. Terbayang kembali ketika Umar Bin Khattab r.a menyerahkan setengah harta yang didapatkannya untuk Jihad, yang kemudian dijawab oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, “Saya serahkan semua harta yang saya dapatkan hari ini, ya Rasulullah!” Barangkali, masalahnya bukan diceritakan atau tidaknya suatu amalan. Ada saatnya harus diceritakan, ada saatnya harus disembunyikan. Toh, keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa ‘merasa’ ikhlas padahal tidak, atau ketika kita tidak merasa ikhlas, namun ternyata di sisi Allah kita termasuk orang-orang yang ikhlas.

Kali ini, bukan tanpa tujuan dan alasan jika kemudian saya menceritakan pengalaman berqurban pada Idul Adha tahun ini. Selama ini, saya sudah sering juga ‘menasihati’ orang-orang terdekat saya untuk berqurban. Barangkali, dengan melakukannya terlebih dahulu, ajakan saya itu akan lebih didengar. Pada dasarnya, setiap orang paling enggan untuk ‘diperintah’. Orang lebih melihat keteladanan daripada hanya sekedar ‘perintah’. Salah satu kunci keberhasilan dakwah Rasulullah adalah keteladanan, dan saya ingin mencontoh cara-cara Rasulullah tersebut. Sehingga, ajakan saya tidak hanya sekedar omongan saja, tapi juga disertai dengan bukti.

Di sisi lain, saya juga memiliki teman-teman yang memiliki ‘tabungan’ yang saya perkirakan jumlahnya jauh lebih banyak daripada apa yang saya miliki. Akan tetapi, mereka belum tergerak untuk berqurban. Barangkali, dengan cara seperti ini, mereka bisa tergerak untuk berqurban juga. Fastabiqul khoirot. Jika saya yang masih ‘ngos-ngosan’ untuk mencari penghidupan sehari-hari saja bisa untuk berqurban, seharusnya mereka yang kondisi ekonominya lebih baik, jauh lebih mampu lagi.

Sebetulnya tidak sulit dan tidak berat jika kita mau. Menjadi sulit dan berat karena biasanya kita mengikuti ‘bisikan’ yang muncul di dalam hati kita. Kita terlalu memikirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu ditakuti. Takut ini, takut itu, bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Salah satu rahasia yang saya dapatkan agar ibadah atau amalan menjadi lebih mudah adalah…Just Do It! Karena pada dasarnya, ibadah menjadi ringan karena kerelaan atau kepasrahan ketika melakukannya. Semakin banyak yang kita pikirkan dan takuti, semakin berat kita melakukan ibadah.

Pada kasus saya, dana untuk qurban itu saya alokasikan jauh-jauh hari. Tidak bisa diganggu gugat lagi, kecuali memang ada kondisi yang lebih darurat. Dengan menempatkan qurban sebagai prioritas utama, menjadikan qurban ada di posisi yang sangat penting. Dan karena sangat penting, maka menjadi sebuah keharusan atau bahkan kewajiban bagi saya untuk melakukannya. Dengan cara seperti itu, berqurban akan menjadi sangat mudah. Itulah yang saya lakukan. Kita tidak akan merasa terlalu ’sayang’ ketika uang yang kita miliki berpindah tangan kepada amil jika kita titipkan, juga kepada penjual domba atau sapi jika kita membelinya sendiri.

Cara lain adalah dengan menempatkan qurban sebagai sebuah kebutuhan, terlebih lagi keinginan. Jika kita membutuhkan sesuatu, maka kita akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dan karena merasa butuh, kita pun biasanya akan merasa ringan untuk mengeluarkan uang berapa pun jumlahnya. Harga seekor kambing untuk qurban berkisar antara 600 ribu - 1 juta. Harga ponsel jauh lebih mahal, tapi kita tidak merasa keberatan untuk membelinya karena kita menginginkannya. Jutaan orang pergi haji juga bukan semata-mata karena kewajiban sebagai seorang muslim saja, tapi juga karena keinginan haji tersebut sudah mendarah-daging, sehingga puluhan juta rupiah pun tidak berat mengeluarkannya.

Sebetulnya, saya merasa Idul Adha bukan hari raya buat saya. Karena alasan yang sangat personal. Saya tidak suka daging kambing dan daging sapi. Terlebih bau daging kambing yang sering membuat saya menderita. Maka, saya kadang-kadang malah merasa malas jika mendekati hari raya Idul Adha. Belum lagi penderitaan itu masih akan terus berlangsung selama beberapa hari sesudahnya, karena bau darah daging kambing yang biasanya bertahan cukup lama. Sementara kebanyakan umat Islam ‘berpesta’, saya tersiksa :( Nafsu makan saya turun drastis ketika Idul Adha dan beberapa hari sesudahnya. Saya juga sering uring-uringan kalau ibu memasak apa pun yang berbau kambing. Karena alasan itu pula, saya enggan dan tidak pernah terlibat dalam kepanitiaan Idul Adha. Akan tetapi, ketidaksukaan saya itu tentunya bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan qurban. Syariat tidak bisa dipatahkan hanya karena kita tidak menyukai suatu hal yang berhubungan dengan syariat itu.

Bagi orang-orang seperti saya yang tidak menyukai daging kambing atau sapi, barangkali ‘godaan’-nya terasa lebih berat. Dalam qurban ada sepertiga hak bagi yang melakukannya. Pada kasus orang-orang seperti saya, tentunya tidak bisa menikmati hak tersebut. Hal ini tentunya menjadikan qurban yang kita lakukan tidak ‘berasa’, karena kita seolah-olah membeli sesuatu, tapi kita tidak mendapatkan apa-apa. Akan tetapi, kalau logikanya dibalik, kita bisa lebih bersyukur karena daging qurban kita bisa ‘menjangkau’ dan dinikmati lebih banyak orang. Dan barangkali, diantara banyak orang tersebut, ada yang mendoakan kebaikan untuk kita dan dikabulkan oleh Allah. Siapa pula yang tidak ingin didoakan oleh banyak orang?

Saya akan merasa lebih senang jika mendapati orang-orang disekitar saya lebih tertarik dan berusaha untuk bersama-sama berlomba dalam beramal sholeh. Salah satunya berqurban. Iri pada orang-orang sholeh adalah iri yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Apabila semangat fastabiqul khoirot tertanam di dada setiap orang, maka akan tercipta kondisi di mana setiap orang bersaing untuk melakukan amal sholeh. Jika dunia sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha untuk beramal sholeh, rasanya kita tidak perlu menyaksikan lagi kasus-kasus rebutan daging qurban di televisi-televisi kita, yang membuat kita mengelus dada dan geleng-geleng kepala.

C 1 H 3 U L 4 17 6. 241207. 05.03

Labels: ,

Posted At Friday, December 21, 2007

Parah

Aduh, kenapa ya? Rasa-rasanya belakangan ini saya sedang berada di titik nadir kehidupan saya. Perasaan inferior yang terlalu berlebihan, sering tulalit kalau mengobrol, tidak fokus dengan apa yang saya lakukan, ketinggalan cerita dan informasi. Walhasil, saya merasa seperti hidup di dalam tempurung saja. Dunia berjalan terasa sangat cepat, tapi kemajuan yang saya dapatkan dalam diri terasa sangat lambat…bahkan terasa terlampau lambat. Jadinya tertinggal jauh, jauuuhhh sekali. Ini yang saya rasakan sekarang.

Perasaan dikejar-kejar oleh sesuatu, entah apa itu, yang jelas membuat apa pun yang saya kerjakan jadi tidak beres, berantakan. Tidak bisa menikmati proses, inginnya serba cepat dan instant. Bawaannya jadi malas, sangat malas. Parahnya, semua terjadi dalam berbagai aspek kehidupan saya. Kondisi intelektualitas, kondisi ruhiyah, kondisi jasmani…saya merasa jadi orang yang paling ’sakit’ sekarang ini. Oleh karenanya, pencapaian-pencapaian yang didapatkan tidak sesuai dengan target yang saya inginkan.

Seringnya pikiran ini mengawang-awang, entah kemana dan entah apa yang saya pikirkan. Akhirnya, saya jadi tulalit kalau sedang mengobrol dengan orang lain, karena sering juga pikiran saya itu mengawang-awang di tengah-tengah orang banyak. Jadi malu sendiri dan jadi merasa sangat bodoh. Merasa bukan seperti saya yang sebenarnya, ada yang hilang rasanya, bahkan terasa banyak sekali yang hilang.

Tidak ada kemajuan yang berarti dalam skill saya, entah itu programming, networking, public speaking, leadership atau manajemen diri dan waktu. Malah semakin menurun. Barangkali itu yang membuat saya jadi merasa seperti manusia yang inferior dan tidak PD ketika bertemu dengan siapa pun. Menyedihkan sekali jadi manusia seperti ini.

Rasanya sudah banyak sekali apa yang saya baca, tapi ternyata tidak membuat saya semakin cerdas atau semakin tahu. Barangkali ada yang salah dengan apa yang saya baca atau cara saya membaca. Entahlah.

Jadi sering lupa. Pernah suatu hari saya janjian dengan seorang teman, dan saya lupa sama sekali. Sampai satu jam dari jadwal janjian, saya diingatkan melalui SMS. Ya, ampun. Dan selama satu jam itu, saya hanya sedang diam di kamar saya…tidak melakukan apa pun, hanya bengong tidak jelas. Untungnya teman tersebut masih mau menunggu dan pada akhirnya bertemu juga, tentunya dengan perasaan menyesal dan malu.

Meskipun, kadang-kadang saya juga merasa tidak percaya kalau saya masih sanggup untuk hanya tidur 1 jam sehari, setelah sebelumnya melakukan aktivitas-aktivitas yang menguras tenaga dan pikiran secara beruntun dan berpindah-pindah tempat. Atau ketika mata ini tidak merasa lelah selama 18 jam di depan komputer tanpa henti.

Kalau dalam tulisan ini tidak ditemukan nada-nada optimis, maklumi saja, namanya juga sedang curhat. Sebetulnya dengan menuliskan ini, saya juga sedang melakukan identifikasi terhadap sumber masalah yang saya hadapi. Barangkali dengan menuliskannya, saya bisa merancang perbaikan-perbaikan di hari-hari selanjutnya. Dan saya berjanji untuk melakukan perbaikan-perbaikan itu. Setahap demi setahap, langkah demi langkah…Sampai akhirnya tiba di anak tangga terakhir atau di puncak tertinggi hidup saya.

So, please, help me…!!

Bandung. 211207. 14.30.

Labels: ,

Posted At Tuesday, December 18, 2007

Lagi Narsis

A : “Kamu dulu kenapa bisa kena demam berdarah?

B : “Barangkali karena saya terlalu ganteng, jadinya kelihatan menarik bagi nyamuk-nyamuk betina yang doyan nyedot darah.

:)

C 1 H 3 U L 4 17 6. 181207. 02.45

Labels:

Resensi Baru

Ada 3 resensi terbaru di KataPengantar, ketiganya merupakan buah tangan Oci. Jadi malu sendiri, tadinya KataPengantar merupakan project pribadi untuk sharing atau resensi buku-buku yang pernah saya baca. Akan tetapi, beberapa buku sudah saya selesaikan, tapi resensinya tertunda terus. Dari 7 buku yang ada di KataPengantar, baru satu buku yang merupakan kontribusi saya, sisanya hasil kerja Oci. Malu…

Cukup menarik perhatian saya adalah resensi buku Birunya Langit Cinta karya Azzura Dayana. Barangkali karena ‘kedekatan’ peristiwa yang diceritakan di resensi tersebut. Cerita tentang kisah cinta aktivis dakwah. Ah, mereka juga manusia kan? Dan bagi saya, kisah-kisah cinta aktivis dakwah sangat menarik untuk diikuti. Adakalanya kisah cinta mereka melebihi serunya cerita di sinetron-sinetron. Saya jadi penasaran juga dengan keseluruhan buku ini.

Dua buku lainnya adalah The Story of Jomblo yang merupakan kumpulan cerpen dari Asma Nadia dan kawan-kawan, serta Novel Pergilah ke Mana Hati Membawamu karya Sussana Tamaro. Saya juga belum membaca buku-buku tersebut. Di kamar saya masih setumpuk buku yang menunggu diselesaikan. Kalau sedang mood, bisa 2 buku dalam 1 minggu saya selesaikan, kalau sedang tidak mood, bisa tidak satu pun buku yang tamat dalam 1 bulan. Lagi kurang motivasi niiihh…:p

C 1 H3 U L 4 17 6. 181207. 02.30

Labels:

Posted At Wednesday, December 12, 2007

Rindu Sekali

Saat-saat mencintai shalat tahajud setiap malam,

Saat-saat suka shalat dhuha setiap pagi,

Saat-saat melakukan tilawah setiap selesai shalat wajib,

Saat-saat senang melakukan shaum sunat.

Sekarang, berat sekali rasanya melakukan itu semua :(

C 1 H 3 U L 4 17 6. 111207. 21.16

NB: Terbayang sesosok malaikat geleng-geleng kepala dan berkata “celaka kamu Don, Celaka!!” :((

Labels:

Posted At Tuesday, December 11, 2007

Sok Bijak

Saya baru ingat kalau saya pernah berkomentar di blognya Oci yang lama, yang kemudian di re-post di blognya yang baru. Isinya seperti ini:

Sebetulnya, seni dalam hidup adalah ketika kita pernah berbuat kesalahan, melakukan dosa, dan bertindak bodoh. Dan moment-moment yang telah terjadi adalah sebuah catatan dalam hidup kita, maka ketika kita membaca catatan tersebut, kita jadi ingat tentang kesalahan-kesalahan kita. Dan itu menjadi sebuah kontrol dalam hidup kita agar tidak pernah melakukan hal yang sama lagi.

Serasa nggak percaya kalau pernah menulis kata-kata seperti itu :D

Labels:

Posted At Monday, December 10, 2007

Mitos Sialan

Ah, masih saja terjadi. Di zaman internet sudah menjadi sebuah kebutuhan seperti sekarang ini, sebuah pernikahan harus ditentukan oleh ‘hitung-hitungan’ sang kyai dukun. Meskipun katanya seorang kyai, saya lebih suka menyebutnya dukun.

Pagi ini teman saya uring-uringan. Hubungan yang sudah terbina cukup lama dengan sang calon, terancam gagal gara-gara setelah bertanya pada sang dukun, kedua nama mereka dalam hitungan sang dukun tersebut tidak baik jika disandingkan. Jadilah teman saya tersebut hampir putus asa. Dia merasa, sama saja bohong usaha selama ini, kalau pada akhirnya harus ditentukan oleh hitung-hitungan tidak logis semacam itu. Kenapa tidak sejak pertama saja? Ya, saya memahami kegelisahan dan kemarahannya.

Sebagai seorang teman yang dimintai saran dan pertimbangan, saya pun memberikan beberapa saran dan pandangan saya soal masalah tersebut. Memang mengkhawatirkan dan menggelikan masalah semacam itu. Sampai saya harus mengatakan, “bilang saja sama dia, kamu dan keluarga juga sudah melakukan perhitungan, tapi hasilnya baik-baik saja, nggak ada masalah. Jadi, yang goblok kyai-nya siapa kalau begitu? Mesti salah satu yang bener. Kalau nggak, berarti dua-duanya goblok!“ Teman saya sampai tertawa dan malah meng-iya-kan saran saya tersebut.

Lebih mengkhawatirkan lagi setelah mengetahui latar belakang keluarga calon teman saya itu. Sang calon sendiri seorang sarjana, kakaknya seorang Guru Besar di sebuah Universitas Negeri di Kota Bandung. Keluarganya golongan berada. Ini tentu sebuah ironi atau bahkan tragedi. Hasil pendidikan bertahun-tahun tidak menjadikan pikirannya rasional. Namun, realita juga membuktikan, banyak sarjana, master dan doktor yang masih saja percaya dukun dari pada percaya diri. Sayang sekali. Bagaimana Indonesia bisa maju ya?

Akan tetapi, status kyai yang disandang sang dukun membuat saya lebih merasa khawatir lagi. Konon sang dukun juga punya pesantren. “Jangan-jangan santrinya juga tukang hitung-hitungan ya?“, seru teman saya dan bikin kami berdua terbahak-bahak. Seorang kyai yang semestinya mengajarkan kelurusan aqidah malah mengajarkan sebuah kesesatan dan menjadi panutan pula. Dan kita bisa mendapati orang-orang semacam ini dengan sangat mudah di sekitar kita.

Sejak kecil, Alhamdulillah, saya dianugerahi pikiran yang rasional. Sehingga sering saya merasa heran, kenapa orang-orang harus datang ke dukun? Kenapa adik tidak boleh mendahului kakaknya kalau menikah? Kenapa kalau salah satu keluarga saya mengadakan pesta rumahnya selalu bau kemenyan? Kenapa juga harus ada hari baik dan tidak baik? Kenapa harus ada tahlilan? Atau bahkan soal mitos-mitos yang beredar di masyarakat. Pada akhirnya, saya tumbuh jadi pemberontak terhadap hal-hal semacam itu.

Meskipun sebagian mitos tersebut membawa ajaran Islam, namun ternyata Islam yang saya pelajari tidak pernah mengajarkan hal-hal semacam itu. Islam yang saya pelajari adalah Islam yang rasional. Soal pernikahan saja, Islam mengajarkan untuk menyegerakan jika dirasa sudah mampu. Tidak menjadi soal apakah ketika menikah kakaknya didahului atau tidak. Jika pernikahan itu sebuah ibadah, masa iya sebuah ibadah harus dihalang-halangi gara-gara sesuatu hal yang konyol dan tidak terbukti kebenarannya? Bahkan, saya sering sekali mengutip ucapan seorang ustadz, “lahir sih boleh kakak duluan, tapi kalo soal jodoh juga harus kakak duluan, berarti mati juga harus kakak duluan dong…

Soal larangan mendahului kakak ini, saya menyaksikan betapa salah seorang teman perempuan saya sangat tersiksa gara-gara sang pacar belum juga mau melamar karena kakak perempuannya belum menikah. Sialnya, sang kakak ini juga tidak tahu diri, dia terus saja mencari calon yang dirasa cocok dan tidak mengijinkan adiknya untuk mendahului. Ditambah lagi dengan pola pikir keluarganya yang ‘kolot’, semakin lengkaplah penderitaan teman saya ini. Akhirnya, putus juga. Kadang-kadang saya senewen sendiri mendengar kasus-kasus semacam ini.

Belum lagi soal perhitungan hari baik yang ternyata hasil perhitungannya pun menggelikan. Bagaimana tidak menggelikan juga suatu pesta pernikahan diadakan di hari kerja? Konon jika menikah di hari yang ditentukan itu, sebuah pernikahan akan langgeng dan membawa kebahagiaan. Ini tentunya merepotkan undangan dan keluarga pengantin sendiri karena bukan waktu yang tepat. Bagi saya, semua hari berpotensi untuk memiliki kebaikan. Rumus hari pernikahan bagi saya dan beberapa orang teman adalah…”adakan pernikahan di hari sabtu/minggu, dan di awal bulan!” Karena awal bulan adalah saat-saat gajian, dan kalau pun harus menyumbang, tidak dirasa memberatkan.

Kebanyakan anak-anak muda sekarang mungkin sudah tidak lagi peduli dan memikirkan hal-hal semacam ini. Akan tetapi, generasi orang tua masih sangat banyak yang menganggap hal semacam ini penting. Untungnya orang tua saya tidak seperti itu. Perlu diakui, masih agak sulit melepas mitos-mitos semacam itu. Indonesia adalah sebuah negara yang kebudayaannya sebagian besar dibangun oleh mitos. Maka, hampir di setiap tempat di seluruh Indonesia, kita mendapati mitos daerahnya sendiri-sendiri. Saya sendiri sering merasa khawatir jika suatu saat dipertemukan dengan calon mertua yang seperti itu. Saya hanya merasa khawatir tidak mampu bersikap bijaksana, itu saja.

Hidup ini terlalu serba tidak pasti untuk diramal. Toh, kyai, paranormal atau pun dukun-dukun itu pun belum tentu berbahagia dengan hidupnya. Belum tentu juga dia bisa meramalkan nasibnya sendiri, apalagi nasib orang lain. Masa iya kita harus percaya pada mereka yang tidak tahu menahu tentang nasibnya sendiri?

C 1 H 3 U L 4 17 6. 101207. 03.08

NB: Agak kurang sreg dengan judulnya :D

Labels: , ,

Posted At Tuesday, December 04, 2007

Minus

Tadinya acara jalan-jalan ke Pameran Buku Kompas-Gramedia di Sabuga niatnya hanya ingin mencari buku-buku bagus nan murah, atau mengikuti beberapa acara talkshow dengan harapan ada acara bagi-bagi hadiahnya. Akan tetapi, tidak satu pun buku bagus yang saya beli, soalnya diskonnya irit sekali. Acara talkshow pun tidak memberikan hadiah, batal deh punya buku gratisan lagi :)

Tidak diduga saya bertemu dengan bibi saya, adik dari ibu saya, dengan putrinya yang masih sangat lucu, Nabila. Mengobrol sebentar, hanya sekitar 5 menit. Namun, tiba-tiba bibi saya memberikan uang sebesar 50 ribu rupiah. “Nih, untuk beli buku“, katanya. Saya sempat menolak, namun bibi saya keukeuh memberikan uang itu. Whew, bayangkan…! laki-laki dewasa, berkumis, berjenggot, diberi uang 50 ribu rupiah oleh seorang wanita paruh baya, di depan umum, sedang ramai pula :p Untung tidak ada yang menyangka tukang palak juga 8) Karena bibi saya memaksa, dan saya pun tak kuasa menolak, ya sudah…rezeki :$ Meskipun akadnya untuk beli buku, tapi saya ‘terpaksa’ tidak jadi membeli buku, rencananya nanti saja.

Setelah berputar-putar beberapa kali dan tetap tidak merasakan mood untuk memborong buku, saya pun memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum pulang, saya tertarik untuk memeriksakan mata saya di sebuah stand optik yang memberikan pelayanan periksa mata gratis menggunakan komputer. Ingin tahu saja, penasaran. Dan, ternyata…mata kiri saya minus -1 dan silindris 0.25, sementara mata kanan saya -0.75 :s Tiga tahun yang lalu pernah juga diperiksa menggunakan komputer, hasilnya-0.25 dan -0.75, tapi dinyatakan normal setelah dites menggunakan lensa. Nah, untuk tes yang sekarang, tidak ada tes lensa, jadinya saya harus ‘gondok’ dengan hasil komputer tersebut.

Perasaan mata saya baik-baik saja. Masih bisa melihat tulisan-tulisan kecil dalam jarak yang cukup jauh. Ya, saya akui, saya memang jarang sekali makan sayur-sayuran, paling buah-buahan. Kata teman saya, sebetulnya mata bisa normal lagi kalau nutrisi yang masuk ke tubuh kita juga baik. Kacamata tidak bisa menyembuhkan, hanya sebuah alat bantu saja.

Saya hanya meyakinkan diri…”Ah, nggak apa-apa kok, mata saya baik-baik saja“,”Tadi malam kan begadang, jadi mata kecapean kali…nggak apa-apa ah“, “Ya pantes aja, udah 2 hari ini tidur cuma 2 jam“. Itulah lintasan pikiran-pikiran menolak ‘kenyataan’ pahit itu. Takutnya benar-benar terjadi :s

Kalau pun terbukti minus, saya belum berniat pakai kacamata juga. Perasaan muka saya kurang cocok kalau dipasang bingkai kacamata. Dari yang sudah-sudah, saya ditertawakan setiap menggunakan kacamata. Ah, mudah-mudahan memang tidak terjadi apa-apa dengan mata saya :)

C 1 H 3 U L 4 17 6. 041207. 22.15

Posted At Monday, December 03, 2007

Dunia di Pinggir Lapang

Lari di Sabuga (Sasana Budaya Ganesha), meskipun tidak serutin dulu lagi, tetap merupakan aktivitas favorit saya. Sabuga merupakan salah satu tempat pelarian saya ketika kepala sudah terasa sangat penat atau ketika sedih, marah dan ketika hati merasa terganggu. Berlari, sampai batas terlelah fisik, sampai tidak sanggup untuk berlari lagi, sampai kepayahan bernafas, sampai akhirnya terduduk lemas di pinggiran track lari tersebut.

Setelah lelah, saya biasanya beristirahat di pinggir lapangan, dan mengamati…segala macam. Jika pagi, saya duduk di sekitaran jalan masuk karena memang tempatnya teduh. Sementara jika sore, saya biasanya duduk di rumput-rumput dan bersandar pada pagar. Bisa 1 jam, bahkan lebih, ketika melakukan aktivitas ini, lebih lama daripada larinya. Masih banyaknya pohon-pohon di sekitar Sabuga semakin membuat saya betah berlama-lama, bahkan jika sore hari, saya pernah melakukannya sampai tempat itu akan ditutup. Kalau pagi hari, apalagi di hari Sabtu atau Minggu yang biasanya sangat ramai, saya sering melakukan aktivitas ini sampai lintasan lari benar-benar sepi.

Sejujurnya, kegiatan ‘beristirahat’ inilah yang paling saya sukai. Tersenyum sendiri menyaksikan bagaimana bayi belajar berlari atau mengikuti tingkah polahnya. Terperangah sendiri ketika menyaksikan wanita-wanita yang salah kostum. Terkagum-kagum menyaksikan seorang kakek masih sanggup mengelilingi lapangan Sabuga dengan jumlah keliling dan waktu yang lebih lama dari kebanyakan pemuda yang berlari di sana. Iri dengan mereka yang bermain sepak bola, sementara saya hanya menonton. Mengawasi wanita cantik yang belum tentu setiap saat bisa kita lihat :D. Ratusan wajah yang selalu baru dan betapa herannya saya karena tidak satu pun yang saya kenal. Namun, lebih dari itu, saya banyak melakukan kontemplasi dan melamun di tengah-tengah keramaian itu.

Entahlah. Ketika badan sudah terasa sangat lelah, saya bisa kembali berfikir jernih terhadap berbagai macam hal. Barangkali tempat yang luas memang berpengaruh terhadap kelapangan hati dan keluasan berfikir juga, dan itu sering saya rasakan ketika berisitirahat itu.

Ada banyak hal yang saya pikirkan. Nasib, rencana masa depan, ide-ide, merenung…macam-macam. Namun, hal tersebut hanya bisa saya lakukan ketika sendiri. Jika ada teman, saya tidak bisa melakukan itu, karena biasanya mereka mengajak pulang lebih cepat. Oleh sebab itulah, seringkali saya melakukannya sendirian. Bukan hanya lari saja, tapi hampir setiap aktivitas yang sifatnya ‘mengunjungi’ suatu tempat, saya memilih untuk sendirian. Saya sering tidak merasa enak ketika ingin berlama-lama di suatu tempat, sementara ada teman yang sudah ingin dan mengaajak pulang.

Setelah puas disibukan dengan ‘dunia sendiri’, dan ketika badan sudah pulih dari rasa lelah, biasanya saya masih ingin mengelilingi lintasan itu dengan berjalan kaki, sebelum akhirnya pulang. Dengan energi baru atau dengan cara pandang baru terhadap berbagai macam hal. Siap untuk menghadapi kejutan-kejutan yang masih akan selalu diberikan oleh dunia ini.

C 1 H 3 U L 4 17 6. 031207. 02.50

Labels: ,

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza