Psycho Avatar

Posted At Thursday, February 23, 2006

Ketinggalan Kereta
Seperti biasanya, setiap hari Jum'at, di minggu ke-2 atau ke-4 atau 2 minggu sekali, saya "pulang" ke Bandung langsung dari kantor. Kali ini, saya berangkat lebih sore, maksudnya tidak terlalu malam. Jam setengah 6 dari kantor. Tentunya, agar sampai Bandung tidak terlalu malam. Soalnya, entah kenapa, setiap ke Bandung dari kantor, berangkat jam berapapun, selalu tengah malah sampai Bandung. Macam-macam alasannya. Bisa macet, bisa karena emang lambat berangkatnya, angkot yang lelet, jadwal kereta yang terlambat. Pokoknya selalu ada halangan yang membuat saya "terpaksa" tiba di Bandung tengah malam.

Nah, Jum'at yang lalu (170206), saya juga ke Bandung lagi, kali ini berdua dengan Iwan, teman sekantor. Setelah dirundingkan, akhirnya kami sepakat untuk naek kereta aja di Stasiun Jatinegara, alasannya sih, kalau ke Kp.Rambutan, gak tahan macetnya...kalau ke Pulogadung, emang lancar, tapi takutnya bus udah nggak ada. Dan lagian, jalur Cipularang masih tutup, khawatirnya lewat ke Puncak. Bisa tengah malam dong nyampenya. Waktu itu saya bilang ke Iwan, pokoknya jangan sampai ke Bandung tengah malam lagi.

Tadinya, saya tidak berniat ke Bandung untuk hari Jum'at itu. Karena minggu sebelumnya habis dari sana juga. Untuk menghemat keuangan saja, meskipun sebetulnya, kalau ongkosnya tidak terlalu mahal, tiap minggu juga oke aja. Berhubung ada acara, dan saya diundang, ditambah lagi acara tersebut merupakan acara yang sangat langka, akhirnya saya memutuskan ke Bandung juga. Bareng dengan Iwan yang sudah jauh-jauh hari berniat pulang kampung ke Majalaya.

Kerjaan di kantor hari itu tidak terlalu merepotkan, sehingga kami berdua bisa pulang lebih cepat daripada biasanya. Jam 17.30 kami berdua berangkat ke Stasiun Jatinegara. Dari kantor kami naik bus yang ke Jurusan Kampung Melayu, disambung dengan angkot yang ke jurusan Pulogadung, karena angkot tersebut melalui stasiun Jatinegara. Tiba di Jatinegara pukul 18.20, kami langsung menuju ke loket untuk membeli tiket. Sepeti biasa, kalau hari Jum'at sore di Jatinegara, tiket kereta yang dengan tempat duduk untuk ke Bandung selalu habis, jadi terpaksa kami membeli tiket yang berdiri, dan dengan harga yang sama, Rp.45.000,- untuk Kereta Bisnis Parahyangan. Dulu, sewaktu pertama kali naik kereta ke Bandung, berdiri juga, ada penumpang lain yang nyeletuk..."Naik kereta bisnis kok kayak naik kereta 2000an". Kereta 2000an yang dimaksud adalah, kereta ekonomi Jabotabek yang selalu sumpek dan berdesak-desakan sehingga memaksa penumpangnya untuk berdiri, saking penuhnya. Saya pun sebetulnya tidak setuju dengan samanya harga tiket untuk yang duduk dengan yang berdiri, kurang adil saja.

Setelah membeli tiket itu, kami berdua masuk ke dalam stasiun. Saya melihat di tiket jadwal kedatangan adalah 18.37. Tapi teman saya mengatakan, itu keberangkatan dari gambir, biasanya sampai Jatinegara pukul 18.45. Meskipun saya tidak sependapat, akhirnya saya mengalah sewaktu dia mengajak shalat maghrib. Karena, biasanya saya melakukan shalat di dalam perjalanan atau di jama', karena khawatir tertinggal. Akhirnya, kami berdua berangkat ke masjid. Setelah mengambil Wudhlu, kami mengantri untuk shalat maghrib, karean besarnya Masjid tidak mampu menampung jumlah orang yang akan melaksanakan Shalat.

Tiga menit kami menunggu, akhirnya kami bisa melakukan shalat juga. Terus terang saja, saya merasa tidak tenang ketika akan melakukan Shalat. Bahkan, ketika pertama kali saya menuju masjid pun, hati saya merasa tidak tenang. Khawatir kereta tiba dan meninggalkan kami. Tadinya, ketika iqamat dikumandangkan, saya berinisiatif untuk menjadi Imam saja, karena biasanya saya Shalat agak cepat kalau diperjalanan. Namun, ada orang lain yang maju untuk jadi Imam. Dan, kekhawatiran saya semakin menjadi-jadi ketika Imam tersebut membaca surat Al-Fatihah dengan tempo yang sangat lambat. Duh, bisa keburu datang kereta kalau seperti ini terus. Bisa jadi, itu adalah salah satu shalat paling tidak khusyu yang pernah saya jalani. Sepanjang shalat saya menggerutu. "Gak tau apa ini di stasiun kereta? bisa ketinggalan kereta nih...."

Entah perasaan saja atau apa, saya merasa itu adalah shalat maghrib yang sangat panjang. Setelah salam, saya langsung berdiri untuk keluar, tetapi pintu terhalang oleh orang-orang yang masbuk. Sekitar satu menit waktu terbuang, tapi rasanya begitu lama. Hati ini semakin bergejolak. Setelah itu, akhirnya saya keluar juga. Karena saya memakai sendal, dan tidak dititipkan, saya bisa langsung memakainya begitu selesai Shalat. Sementara teman saya, menggunakan sepatu dan dititipkan, untuk mengambilnya masih harus mengantri juga, belum pake sepatunya. Duh!! Sambil menunggu, saya berjalan agak menjauh dari Masjid untuk melihat ke peron tempat kedatangan kereta. Saya melihat satu rangkaian kereta. Jangan-jangan itu adalah keretanya, saya pikir. Lalu, pandangan saya tertutup rangkaian kereta lain yang baru tiba. Duh, gawat! Jalan menuju peron tersebut jadi terhalang. Sementara, teman saya masih berusaha memakai sepatunya. Ketika Iwan selesai memakai sepatunya, saya meminta dia untuk buru-buru, tapi kata dia, tenang aja, keretanya belum datang. Lalu saya menunjuk ke rangkaian kereta yang saya sebutkan tadi, tapi dia bilang bukan. Arrrggghhh. Beberapa saat kemudian, kereta tersebut mulai berjalan meninggalkan stasiun. Dzig!

Akhirnya, saya berusaha tenang, meskipun saya sangat yakin kalau kereta yang baru meninggalkan Jatinegara adalah kereta Parahyangan. Kami pun berjalan menuju peron. Lalu kami menanyakan kepada salah seorang petugas. Katanya, belum datang. Pyuuhhh. Saya mulai agak tenang. Tapi, setelah hampir 15 menit kami menunggu, kereta yang dimaksud kok nggak muncul2. Kemudian, kami bertanya lagi ke petugas yang lain. Katanya, "Lha...bukannya udah berangkat dari tadi?". Gubrag!! Gelo Siah!! Lalu dia mengusulkan untuk menghadap ke kepala stasiun. Kami pun menuju ke kantor Kepala Stasiun yang dimaksud. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang, entah yang mana kepala stasiunnya, lalu kami menceritakan permasalahan kami. Tadinya, kami berharap agar bisa diuangkan saja, supaya kami bisa naek bis saja dari Pulogadung. Tapi, ternyata tidak bisa. Kalau ada jadwal keberangkatan lain, mungkin kami bisa dialihkan ke sana. Tapi, untuk hari itu, kereta tersebut merupakan kereta bisnis terakhit menuju Bandung. Sial! Akhirnya, kepala stasiun menawarkan untuk naik kereta ekonomi Jam 20.00 yang menuju Kroya, tapi melewati Bandung. Setelah berunding, akhirnya kami sepakat untuk menerima tawaran tersebut.

Keluar dari kantor Kepala Stasiun, kami berdua tertawa-tawa. Mentertawakan nasib. Kata Iwan, "Emang Don, lamun jeung maneh mah..kudu nepi jam 12 peuting wae...". Kata saya, "Biarin lah, biar ada buat bahan cerita...". Hahaha...Tapi, akhirnya perasaan gelisah tadi hilang juga, karena kami pun sudah merelakan kejadian tersebut. Setelah satu jam menunggu, kereta Citra Jaya, yang menuju Kroya, tiba juga...kami mendapatkan kursi nomor 13 b dan c di gerbong 2. Mitos angka 13 bawa sial, tidak berlaku...karena dari semua deretan kursi, hanya kursi kami yang tidak terlalu "merepotkan". Saat itu hujan besar, dan jendela kereta banyak yang tidak tertutup ketika berangkat dari Stasiun Kota. Sehingga, airnya masuk ke dalam kereta, dan bikin banjir...pertama kali masuk, kesan pertamanya adalah Kereta kok bisa banjir? Heu heu heu. Jendela kami, beruntung bisa ditutup, sehingga air tidak masuk, sementara kursi lain, banyak sekali yang tidak bisa ditutup...dan bikin basah! Heu heu heu.

Saya ingin menceritakan keadaan di dalam gerbong. Basah, banjir, Ramai, berisik, akrab, dan kecoa...yup, bener...cecunguk saudara-saudara. Tidak hanya satu, tapi banyak...Saya memang paling "geuleuh" sama kecoa. Tapi, saat itu, sekali lagi saya mentertawakan nasib saya. Keadaan di dalam kereta ekonomi, sangat berbeda dengan keadaan di dalam kereta bisnis. Di Kereta ekonomi, orang-orang mudah akrab...sementara di kereta bisnis, terkesan masing2 dan sepi. Kami pun bisa mengobrol dengan penumpang lain di kereta tersebut, karena kursinya memang berhadapan. Ada yang menuju tasik, ada yang menuju banjar dan menuju Jawa.

Setelah mengobrol beberapa saat, satu persatu mulai menutup mata untuk tidur, saya termasuk yang belakangan tidur, karena memang tidak terlalu mengantuk. Saya mengantuk justru ketika mulai mendekati kota Bandung. Berbeda dengan kereta bisnis, kereta Ekonomi ini tidak berhenti di stasiun Bandung, tapi berhenti di Kiara Condong. Tapi, menurut informasi dari penumpang lain dan awak kereta, biasanya kalau tengah malam, berhenti di stasiun Bandung.

Menjelang stasiun Bandung, kami berdua bersiap-siap. Memasuki stasiun Bandung, kereta berjalan sangat pelan, kami pun meloncat ketika kereta masih berjalan. Dan, untunglah kami meloncat, karena ternyata kereta tersebut tidak berhenti, tapi sengaja melambatkan laju nya untuk memberi kesempatan penumpang dan pedagang yang ingin turun di stasiun Bandung. Dari beberapa orang yang meloncat, ternyata hanya kami berdua penumpangnya...sisanya adalah para pedagang asongan. Kami tertawa-tawa saja. Stasiun sudah sangat sepi sekali. Hanya satu orang satpam saja.

Kami tiba tepat pukul 00.00 lebih beberapa menit sih. Lagi-lagi, sampai Bandung tengah malam. Hihihi...tapi, saya dapat perjalanan seru hari itu dan kami menumpang kereta Ekonomi termahal!!!

So, Moral dari cerita di atas adalah...
- Kalau mau naek kereta, perhatikan bener-bener jadwal kedatangan...tidak peduli seberapa telat kereta datang, yang harus kita lakukan adalah...Menunggu!!
- Ibadah juga harus pakai ilmu, memang sangat baik shalat tepat waktu, tapi kalau diperjalanan, perhatikan situasi dan kondisi. Sebaiknya di jama atau dilakukan di perjalanan saja.
- Dalam perjalanan, harus selalu siap dengan berbagai situasi dan kondisi yang tidak terduga.
- Siapkan mental!!!

Tebet. 230206. 16.16.

Posted At Monday, February 13, 2006

MP3 Player
Senangnya...Alhamdulillah, akhirnya saya punya MP3 Player. Produk bajakan sih, maksudnya, bukan merek terkenal, tapi cukuplah bisa memenuhi kebutuhan saya. Sudah lama saya memimpikan memiliki MP3 Player...(kesannya barang mahal banget!!!). Tujuannya, untuk menemani saya yang suka bepergian jauh, atau juga menemani ketika melakukan perjalanan Bogor-Tebet, atau Jakarta-Bandung, atau Bogor-Bandung. Alasannya sih biar gak terlalu "kesepian". Coz, saya bukan tipe orang yang suka "ngobrol" dengan orang lain di dalam perjalanan, kecuali ada teman.

Dengan adanya MP3 Player ini, ada beberapa hal yang bisa saya lakukan. Pertama, untuk mengalihkan perhatian dan pikiran dari "keadaan" sekitar ketika naik KRL Ekonomi yang "mengerikan". :D...Maksudnya? Begini...pernah memperhatikan anak kecil? Mungkin udah pada sering kan? Nah, apa sih yang bisa kita "ambil" dari memperhatikan anak kecil ini? Selama "terdampar" di KRL ekonomi Jabotabek, saya sering tertarik dengan anak kecil, khususnya balita. Karena, di dalam KRL Ekonomi yang sumpek, berdempet-dempetan, kadang ada caci-maki...seorang anak kecil, masih bisa tertawa, masih bisa tersenyum, masih bisa tertidur...bahkan menangis. Kesannya cuek, tidak tahu dan tidak peduli banget. Tapi, dibalik ketidaktahuannya, mereka bisa menemukan "kebahagiaan" atau "dunia lain" di dalam pikiran mereka.

Nah, itulah yang ingin saya lakukan ketika berada di KRL. Memiliki "kebahagiaan" sendiri ketika berada di sana. Dengan keadaan badan yang lelah, atau kadang dipusingkan dengan pekerjaan, yang saya butuhkan tentu saja bukan pemandangan atau situasi yang "mengerikan", yang bisa membuat diri ini semakin down. Selama ini, saya mencoba menyiasati keadaan tersebut dengan membaca buku. Itu juga cukup berhasil, tapi tidak dengan buku-buku yang membuat kening semakin mengkerut kan? Perlu sesuatu yang lain, yang lebih fun dan rileks. Maka, untuk saya, musik adalah salah satu jawabannya. Dengan mendengarkan musik, bisa membuat pikiran saya "mengawang-awang", jauh...atau hanya sekedar mengikuti lagunya saja. Yang jelas, pikiran saya "jangan sampai" berada di sana. Tapi, jangan sampai terlalu "cuek" juga, sehingga kita tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dalam KRL tersebut.

Konon, pengalihan pikiran ini, sangat tepat digunakan untuk mereka yang mudah marah, stres dan sedih. Tentunya, perlu memiliki imajinasi yang kuat juga. Medianya sih bisa apa saja. Novel, bisa juga membawa pikiran terbang kemana-mana dan membayangkan situasi yang terdefinisi dalam novel. Pengalihan pikiran juga bisa menyebabkan seseorang melupakan rasa sakit. Teman saya pernah menderita sakit gigi, kemudian saya dan teman yang lain ngajak dia ngobrol dan diskusi...dan ternyata, dia bisa melupakan rasa sakitnya, bahkan jadi asyik ngobrol, dari yang tadinya menangis. Kemudian, ketika saya mengingatkan lagi...dia jadi sakit lagi, dan mulai menangis lagi. Itulah, kenapa sebabnya, ketika saya masih tergabung dalam PMR dan KSR, saya dianjurkan untuk mengajak ngobrol pasien. Hal ini dilakukan agar pikirannya tidak terfokus pada rasa sakitnya.

Kedua, dengan adanya MP3 Player ini, bisa membantu saya dalam menghafal Al-Quran. Apalagi, dalam MP3 Player yang sekarang, ada mode untuk melambatkan atau mencepatkan lagu. Sehingga, sangat tepat digunakan untuk mereka yang mau menghafal Al-Quran dengan cara "mendengarkan". Untuk satu surat, saya bisa memutarnya berkali-kali. Ini adalah obsesi saya. Malu dengan status "aktifis" yang sempat saya sandang, tapi tidak bisa apa-apa. Sementara, banyak orang di luar sana yang tidak pernah menyandang gelar "aktivis", bisa menghafalkan Al-Quran sampai 30 Juz. Sementara saya, Juz 30 saja kerepotan sekali. Ah, Payah nih!!!

Tebet. 130206. 11:42.
NB: Badan pegel-pegel nih, baru olahraga lagi di SORGA (Sasana Olah Raga Ganesha)...

Posted At Wednesday, February 08, 2006

Ceritanya Lagi Curhat
Duh. Saya serasa udah jadi tua sekarang. Terutama fisik saya yang saya rasakan semakin melemah. Tapi, bukan hanya fisik saja, jiwa saya pun saya rasakan semakin ringkih. Tidak ada semangat, gampang mengeluh, kurang ikhlas, sering menggerutu...itulah gambaran kelemahan jiwa saya. Sementara itu fisik ini saya rasakan semakin mudah lelah, letih dan loyo. Itu belum termasuk penyakit rutin yang selalu datang menyerang kapan saja, Migrain!

Semuanya mulai saya rasakan pada saat mengerjakan skripsi. Pada saat itu, badan ini jarang olahraga, makan tidak teratur, tidur tidak teratur. Sementara, untuk kebutuhan jiwa, baca Qur'an, Ta'lim, baca Buku, Puasa Sunat dan Tahajjud, perlahan tapi pasti mulai saya tinggalkan...ada yang masih dilakukan, tapi tidak serutin ketika sebelum saya mengerjakan skripsi. Entah kenapa, pada saat itu, saya merasakan ketidaknyamanan apabila akan melakukan sesuatu yang kira-kira memakan waktu cukup banyak. Ada semacam ketakutan kalau-kalau skripsi tidak dapat terselesaikan. Sayangnya, ketika skripsi selesai, tidak menjadikan saya kembali ke kondisi semula, malah semakin merosot. Dan untuk membangun kembali, sulitnya minta ampun.

Paling parah saya rasakan saat ini. Saya biasanya sanggup berjalan selama satu jam tanpa merasakan kelelahan. Tapi sekarang, baru berjalan 15 menit saja, saya sudah kepayahan. Repot. Hal ini semakin didukung oleh kondisi saya di kantor yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan duduk di depan komputer. Kalau hanya jam kerja, tidak terlalu menjadi masalah. Tapi, ini, saya kadang sampai 18 jam di depan komputer, hanya duduk saja. Tentu saja, fisik ini semakin melemah.

Tapi, sampai sekarang, saya juga masih heran. Kok, bisa ya saya kerja dikantoran begini? Padahal, idealisme saya menuntut saya untuk tidak menyentuh pekerjaan kantoran. Saya tidak pernah mau bekerja di bawah perintah orang lain. Bertanggungjawab kepada orang lain. Wah, bukan gua banget! Apalagi sampai kerja overtime secara sukarela. Maksudnya, bukan saya tidak rela dengan keadaan seperti ini. Tapi, saya merasakan mulai kehilangan waktu untuk kepentingan diri sendiri. Membaca, Rekreasi, Nulis Blog, Kontemplasi, Sosialisasi atau hanya sekedar jalan kaki sendirian.

Yang jelas saya tidak akan berlama-lama bekerja seperti ini. Maksimal 3 tahun. Di perusahaan tempat saya bekerja sekarang pun, saya hanya menargetkan 1 tahun. Selanjutnya, saya akan mencoba untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya sendiri. Tentunya dengan segala resikonya sendiri. Karenanya, saya harus menemukan istri yang cocok nih...(kok, jadi nyambung kesini ya?) :p.

Tebet. 23:30. 080206. Masih di Kantor

Posted At Monday, February 06, 2006

Ketika sang Raksasa Menggeliat
Dibalik rasa sakit hati saya, sebagai Muslim, terhadap pembuatan dan publikasi karikatur Rasulullah SAW oleh salah satu media cetak Denmark Jylland-Posten, saya juga menyimpan rasa syukur. Syukur, karena ternyata Umat Islam masih "peduli" terhadap kekasih mereka, Rasulullah SAW. Meskipun, kenyataannya, masih jauh lebih banyak Muslim yang tiis-tiis wae. Atau bahkan menganggap sesuatu yang biasa.

Sekarang, saya menyadari, kenapa tidak pernah ada gambar atau foto atau bahkan patung Rasulullah SAW dan apa alasan Rasulullah SAW melarang pembuatan gambar, foto atau patung beliau. Ya, banyak dampaknya, dan salah satunya adalah penghinaan seperti ini. Selain, tentu saja menghindari pengkultusan dirinya oleh Muslim. Tidak adanya gambar beliau pun, orang-orang yang mengatasnamakan "kebebasan berekspresi" dengan sok tahunya menggambar sosok beliau. Apalagi kalau gambarnya ada, mungkin sudah sejak dulu mereka melakukannya.

Berbeda sekali dengan agama lain yang bisa kita temukan gambar atau patung tokoh-tokoh agama mereka bahkan sembahan mereka. Sebetulnya, hal ini jauh lebih rentan terhadap kasus-kasus penghinaan.

Umat Islam sendiri pun, tidak pernah ada yang berani menggambar sosok beliau, bahkan dalam bentuk yang paling baik sekalipun. Lha ini, Islam bukan, kok seenaknya? Tahu darimana? Saya kira sangat pantas kalau Umat Islam marah. Imaging Rasulullah SAW dalam bentuk apapun, tidak pernah dibenarkan. Dan Denmark sudah merasakan akibat dari "kelakuannya" sendiri.

Islam, melarang Umatnya untuk melakukan penghinaan atau mengolok-olok sembahan dan Nabi-nabi Agama lain. Karena, akibatnya adalah Allah dan Rasulullah SAW yang menjadi bahan olok-olokan mereka. Dan selama ini Umat Islam memang tidak pernah "memulai" itu semua. Jarang saya temukan.

Kalau "kebebasan berkespresi" yang digunakan sebagai alasan, kenapa juga Barat ketakutan dengan penggunaan simbol-simbol Nazi, misalkan. Apa yang salah? Itu juga merupakan kebebasan berekspresi kan? Kenapa juga Israel dan Yahudi Eropa ketakutan dengan pengungkapan kasus Holocaust? Aneh kan? Kenapa hanya untuk penghinaan terhadap Islam lantas menjadi "kebebasan berekspresi"? Itulah sikap mereka yang tidak adil. Buat saya, bullshit dengan "kebebasan berekspresi". Emangnya dunia ini milik lu??? Ketika Umat Islam mendemo kejadian tersebut, kenapa pada protes? Itu kan "kebebasan berekspresi" juga.

Ironis sekali. Bangsa yang katanya menjunjung tinggi HAM, tidak menghargai HAM sama sekali. Dan menurut saya lagi...Go To Hell aja deh HAM!!! Sampai saat ini, saya tidak pernah paham dengan tujuan dan definisi HAM yang selalu digembor-gemborkan dan diajarkan kepada saya sejak SD. Tidak pernah sekalipun saya memahaminya. Sebab pada kenyataanya, HAM dan "kebebasan berekspresi" sering kali menjadi alat dan senjata untuk melawan orang-orang yang justru menjadi korban dari HAM dan "Kebebasan Berekspresi".

Saat ini, Islam merupakan raksasa yang...kalau menurut saya...sedang pingsan atau mati suri. Dan sekarang, raksasa itu ada yang mencoba membangunkan, yang berakibat menggeliatnya raksasa tersebut. Tinggal menunggu beberapa waktu lagi untuk melihat, apakah Raksasa ini akan terus bangun, atau kembali...Pingsan!

TBT. 060206. 23:30. Lembur..........

Posted At Friday, February 03, 2006

A Programmer Story
Apakah kepuasan seorang Programmer?? Kalau pertanyaan tersebut dilontarkan kepada seorang programmer, mungkin kita akan mendapatkan berbagai macam jawaban dari pertanyaan tersebut. Kalau pertanyaan tersebut ditanyakan kepada saya yang programmer amatiran, jawabannya adalah...when the problem solved!!! Bukan ketika program jadi. Karena, suatu program tidak akan pernah jadi selama masalahnya tidak terpecahkan.

Sementara bentuk interface, hanyalah kepuasan tambahan saja. Itu buat saya loh...gak tahu kalau buat programmer yang lain.

Setiap programmer pasti pernah merasakan begadang semalaman, kurang tidur, lupa makan...demi terpecahkannya sebuah masalah. Saya ingat, ketika skripsi harus memecahkan dan membuat algoritma yang memakan waktu 1 bulan. Juga ketika mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Kepala rasanya mau pecah!

Sering kali, yang menjadi hambatan atau masalah adalah "ketahanan" diri kita sendiri. Tidak jarang saya merasa putus asa. Atau terpikir untuk meninggalkan pekerjaan itu. Dan kadang-kadang ingin berteriak sekeras-kerasnya. Kadangkala sampai lupa waktu juga. Teman saya pernah mengalami itu.

"Ini teh hari apa?"
"Hari Jum'at..."
"Hah...? Bukannya hari selasa...."
"Wuahahahahaha..."

Tapi, ketika permasalahan sudah terpecahkan, membuat program menjadi lebih mudah. Ketika skripsi, saya mengalaminya, setelah algoritmanya terpecahkan, semuanya jadi lebih mudah dan lebih cepat. Jauh lebih cepat daripada memecahkan algoritmanya yang menghabiskan waktu satu bulan.

Rasanya sangat menyenangkan...pengorbanan berhari-hari, atau berbulan-bulan, bisa terlupakan. Saat itu juga badan dan kepala ini jadi terasa ringan. Kadang saya sampai joget-joget, nyanyi-nyanyi dan loncat-loncat segala. Ada juga yang berteriak "yes"...dan lain-lain. Wajah jadi sumringah lagi. Pada saat kuliah ada ungkapan, "asa bucat bisul...", meskipun saya tidak tahu rasanya bisulan, karena tidak pernah bisulan. :p

Yang dibutuhkan seorang programmer hanyalah lebih sabar, lebih tenang dan lebih teliti. Selain itu juga pengalaman dan jam terbang dalam mengerjakan suatu program. Karena seringkali masalahnya bukanlah sesuatu yang besar, tetapi sangat kecil. Seperti kurang satu huruf, kurang tanda, salah meletakan variabel...hanya seperti itu, tapi bisa menyebabkan terbuangnya waktu berhari-hari. Masalah seperti itulah yang disebut "bug". Bug dalam bahasa inggris berarti kutu. Kecil, tapi bisa menimbulkan masalah yang sangat fatal.

Setelah semuanya selesai, yang dilakukan programer seperti saya adalah..."balas dendam"!! Tidur seharian, makan bisa sampai 3 piring, jalan-jalan...pokoknya melupakan semua masalah yang pernah ada. Itulah kepuasannya.

NB : Algoritma adalah langkah-langkah untuk memcahkan suatu masalah. Kata ini diadaptasi dari kata "Al-Khawarizm", ilmuwan matematika Islam yang menemukan istilah ini. Karena bule-bule pada gak bisa nyebut, jadinya "Algorithm", orang Indonesia nyebutnya Algoritma...Geeetoooo!!

16:19 030206 Gedung Gajah....The Problem, Solved!!!
Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza