My Photo
Name:
Location: Bdg, Bgr, Jawa Barat, Indonesia

Posted At Thursday, December 21, 2006

The Art of Life : Jawaban untuk Pertanyaan Seorang Sahabat
Pada suatu malam yang cukup dingin, ketika saya sedang browsing di suatu warnet dekat kost-an, sebuah SMS menggetarkan HP dalam saku celana saya. Dari seorang teman, Catur. Isi SMS nya membuat saya berpikir keras untuk menjawabnya...

Don jawab pertanyaan gua! Dalam menjalani hidup apa kita mengikuti arus kehidupan ato kita sendiri yang membuat arus kehidupan itu? Jawabannya ditulis di blog lu.

Hah? Ini sih nyuruh otak saya kerja keras namanya, nyuruh curhat juga. Heuheuheu...Dirimu terlalu berlebihan menganggap diriku bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi, karena sudah diminta, jangan salahkan kalau diriku bikin dirimu tersesat ya, Tur? Sebab saya bukan ahli agama, bukan juga ahli filsafat, pengalaman hidup juga belum lama, baru 24 tahun, dan sulit untuk bisa dikatakan sebagai seseorang yang sukses dalam hidup. Sebab...sekarang saja diriku sedang pusing memikirkan bagaimana caranya untuk bisa survive besok, lusa, minggu depan, tahun depan, meskipun sebetulnya hal semacam itu tidak perlu terlalu dipusingkan. Besok saja belum tentu masih hidup, tapi bermimpi untuk 50 tahun ke depan, kenapa tidak?

Jawaban untuk pertanyaan itu adalah...tergantung bagaimana kita memandang kehidupan itu. Kalau kita berpikir bahwa kehidupan adalah seperti perjalanan dari hulu sungai menuju lautan, maka jadilah bagian dari sungai atau lebih tepatnya jadi air itu sendiri, niscaya kita tidak akan tersesat dan sampai ke tujuan. Namun, resikonya adalah kita tidak bisa menolak dengan apa yang "pasti" terjadi, jalur yang berkelok-kelok, menabrak batu besar, turun ke jurang, ada saat tenang, ada saat ber-riak, kita tidak bisa berbuat banyak di sana. Tidak peduli apakah kita sudah lelah atau tidak, apakah kita suka atau tidak, mau atau tidak mau, arus sungai akan membawa kita, bahkan terkadang arus menyeret semakin cepat membawa kita. Sesekali mungkin kita bisa mendapatkan 'hiburan' dengan 'dibelokkan' untuk mengairi sawah. Itu nasib yang akan kita rasakan jika kita menjadi bagian dari sungai. Dan lebih parah lagi, mungkin kita tidak akan bisa mencapai tujuan atau bahkan lebih lama mencapai lautan karena terhalang bendungan, atau karena ketika masuk ke dalam tubuh manusia dan hewan, lalu berakhir menjadi kucuran air kencing sebelum akhirnya bergabung kembali dan mengotori 'saudara' se-air pada aliran sungai tersebut. Meskipun kita sampai tujuan, satu hal yang pasti, kita tidak sebening seperti pertama kita memulai perjalanan. Di tengah jalan tercampur limbah, tercampur sampah, bangkai hewan, kotoran manusia dan berbagai jenis penyakit terbawa sampai tujuan. Lebih mengenaskan lagi, kita lah 'penyebar' kotoran itu. Mungkin kita sudah tidak mengenal diri kita sendiri yang sudah terkontaminasi berbagai jenis kotoran tersebut.

Namun, lain hal-nya jika kita tidak menjadi bagian dari sungai tersebut. Katakanlah kita manusianya. Kita bisa saja berjalan di pinggir sungai, arus sungai tetap kita jadikan patokan, sehingga kita tahu kemana arah sungai tersebut. Dengan tahu nya arah sungai, mungkin kita bisa memotong jalan untuk mencapai ke suatu titik lebih cepat, tanpa perlu melalui jalan yang berkelok-kelok, menabrak batu besar, atau bendungan sekalipun. Namun, tidak berarti jalur yang kita ambil tanpa hambatan atau gangguan, bisa jadi jalur yang diambil lebih berat dan menyulitkan, namun pencapaian ke titik tertentu bisa lebih cepat, tidak perlu berputar-putar. Atau jika perlu kita membuka jalan baru sendiri, agar suatu saat orang lain bisa mengikuti jalur yang kita buat. Bisa jadi, kita lah yang membelokkan aliran air untuk mengairi sawah ketika melihat sawah yang kering. Selain itu, kita bisa lebih leluasa untuk menentukan kapan kita istirahat, kapan kita melanjutkan perjalanan, atau sekedar menikmati pemandangan di sekitar, atau sesekali kita menikmati berenang dan berarung jeram ria di sungai tersebut. Dengan menjadi bagian dari sungai, kita tidak bisa melakukan hal itu. Meskipun, bisa saja terjadi, ketika kita memotong jalan, kita menemukan perkampungan dimana ada wanita cantik di sana dan kita tergoda untuk kemudian tinggal di sana, sampai akhirnya kita lupa dengan tujuan kita. Sama juga, kita mungkin tidak sebersih seperti ketika memulai perjalanan, namun kita bisa meminimalisir tingkat kekotoran yang menempel pada tubuh kita, toh kita masih bisa mandi untuk membersihkan diri. Bandingkan dengan jika kita menjadi air sungai yang tidak bisa menolak apa pun yang dibuang kepadanya.

Katakanlah keduanya sampai ke tujuan, lautan, namun yang membedakan adalah pengalaman selama perjalanan. Pengalaman sebagai bagian dari air sungai, tentu berbeda dengan pengalaman sebagai manusia itu sendiri. Setiap pengalaman tentu saja memberikan 'sensasi' yang berbeda, bisa jadi pengalaman menjadi air lebih 'menarik', bisa juga sebaliknya. Sebagai manusia, kita mungkin merasakan pengalaman tersesat di hutan ketika memotong jalan, atau dikejar-kejar binatang buas. Bahkan, jika kita kembali ke hulu sungai yang sama guna menuju lautan lagi, mungkin kita akan mengambil jalan lain, yang memberikan pengalaman dan sensasi yang berbeda, atau mungkin mengikuti arus tersebut dari awal sampai akhir. Itu terserah kita. Lain halnya jika kita menjadi air, ketika kembali ke hulu sungai yang sama, mau tidak mau, kita melalui jalur yang itu-itu juga untuk mencapai lautan. Kita tidak memiliki pilihan lain di sini.

Contoh lain adalah ketika kita mau mencapai suatu tempat, ada beberapa cara, mau naik angkot, jalan kaki, naik motor atau apalah, yang penting sampai. Kalau naik angkot, kita sudah pasti mengikuti jalur yang sudah ditentukan, mau macet, mau tidak, mau lambat ataupun cepat, pokoknya lewat jalur itu. Misalkan kita kesal karena sopir angkot ngetem menunggu penumpang sampai penuh, atau belok isi bensin dulu, bahkan mogok sekalipun, kita tetap tidak bisa berbuat banyak, kecuali kita sopir angkotnya. Selain itu, kita harus membayar pula, berdesak-desakan, dan terkadang harus ribut dengan sopir angkot tersebut gara-gara masalah ongkos, belum lagi kalau ada copet. Lain halnya kalau kita naik motor atau jalan kaki, tidak ada aturan yang mengharuskan kita mengikuti jalur yang sama dengan angkot tadi. Mau isi bensin dulu, mau makan dulu, kita bisa sangat menikmati perjalanan itu.

Jika kita memandang kehidupan seperti belantara hutan yang tidak pernah terjamah oleh manusia, dan kita tidak pernah tahu ada apa saja di dalamnya, maka kita memang harus menjadi pembuka jalan jika ingin keluar dari hutan tersebut. Pada saat itu, mungkin intuisi atau naluri kita yang lebih banyak berperan, membaca tanda-tanda alam, bersahabat dengan alam sekitar, atau menjadi bagian dari alam itu sendiri untuk bisa beradaptasi dan tetap bertahan hidup. Sebab jika tidak seperti itu, maka kita akan berada di hutan itu selamanya dan menjadi 'santapan' alam.

Maka, pilihan kita sendiri untuk menjadi bagian dari arus kehidupan, atau membuat arus sendiri. Arus kehidupan seringkali menyeret kita sangat cepat, bahkan di saat kita tidak siap sekalipun. Sedikit sekali orang yang mau membuat arus sendiri, karena memang bukan pekerjaan yang mudah. Orang lebih tertarik untuk mengikuti arus yang ada, meskipun belum tentu arus tersebut membawa ke arah yang benar. Dan arus kehidupan juga mudah sekali dikendalikan oleh mereka yang berkuasa. Konsekuensinya, sebagai bagian dari arus kehidupan, kita harus mengikuti arus itu, meskipun kita tidak pernah tahu arus itu membawa kita kemana. Lain halnya dengan orang-orang yang memiliki arus sendiri, jalur sendiri, jalan sendiri, mereka tidak akan terpengaruh dengan perubahan arus yang ada, meskipun mereka harus tersisih. Namun satu hal yang pasti, mereka boleh bangga karena bisa membuat jalur kehidupan sendiri yang suatu saat mungkin akan diikuti oleh orang lain.

Nampaknya mudah sekali saya menuliskan ini, namun ternyata tidak semudah dan selancar kata-kata yang mengalir dalam tulisan ini saat melakukannya. Saat ini saja, saya mungkin seperti seseorang yang berada di hutan belantara yang kebingungan dengan apa yang semestinya dilakukan dan mencoba mengenal tanda-tanda alam untuk tetap survive di sana. Waktu lain, saya lebih mempercayai naluri saya untuk berjalan dalam kegelapan hutan tersebut. Kadang terpikir untuk sekali-kali 'nyebur' lagi ke arus kehidupan agar nasib menjadi lebih pasti. Bahkan, sering kali saya tergoda 'wanita cantik' yang saya temui di perjalanan, sehingga melalaikan saya dari apa yang seharusnya saya capai. Lebih parah lagi, kadang-kadang saya temukan arus lain yang lebih menjanjikan untuk memberikan jaminan hidup, meskipun membawa saya ke 'lautan' lain yang berbeda. Pada saat lain, saya memilih untuk berjalan kaki dan merasakan kebahagiaan, meskipun melelahkan, daripada naik angkot ngetem yang membiarkan penumpang tenggelam dalam kekesalan.

Jadi, gitu kali ya...? Saran saya, jika ingin kehidupan yang lebih dinamis dan banyak pilihan, jadilah pembuka jalan. Kalau ingin hidup yang serba mapan dan 'pasti', ikuti saja arus kehidupan yang ada. Intinya, ini adalah tentang bagaimana mengambil keputusan. Namun, satu hal, arus kehidupan bisa sangat kejam, sahabat...:D

Wallahualam,


S3K3L04. 191206. 02:44.

NB : Mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan lu, Tur...:D
Posted by Donny @ 11:20 PM

Ada 0 orang yang cuap-cuap :

Post a Comment

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza