My Photo
Name:
Location: Bdg, Bgr, Jawa Barat, Indonesia

Posted At Monday, December 18, 2006

Saya dan Polemik Poligami
Prolog

Setelah sekian lama ingin menulis tentang poligami, akhirnya baru bisa menulis sekarang, memang sudah terlalu terlambat jika dihubungkan dengan kondisi ramai tidaknya masalah ini di Indonesia. Namun, tujuan saya menulis bukan ingin ikut-ikutan meramaikan keadaan, sudah sejak lama saya ingin menuliskannya, namun belakangan sedang ramai-ramainya, jadi tidak ada salahnya saya publish sekarang. Tulisan ini ternyata yang paling menghabiskan energi saya. Dua minggu lebih saya memikirkan tentang ini, membaca dan mendengarkan opini orang lain, berdebat dan berdiskusi. Berkali-kali diedit, diperbaiki susunan kata-katanya, saya sendiri tidak pernah puas dengan tulisan yang satu ini, bahkan ragu untuk mem-publish tulisan ini, takut banyak salahnya. Belum pernah saya seserius ini menulis tentang suatu topik. Yup, saya tidak tahan juga untuk sekedar berceloteh tentang poligami yang selalu ramai didiskusikan, meskipun saya tahu, sulit untuk mendapatkan kata sepakat tentang masalah ini. Berkali-kali saya diskusi, tidak pernah sekalipun saya mendapatkan kata sepakat. Sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh apa-apa buat saya, tapi saya merasa perlu saja untuk menuliskan apa yang ada di kepala saya selama ini tentang poligami. Dan...sepertinya akan panjang juga, soalnya saya selalu bersemangat kalau membahas ini...:D Pada tulisan ini pun saya yakin banyak juga yang tidak setuju dengan pendapat saya, tapi saya kira saya tidak perlu terlalu memikirkan hal itu. Setelah diminta dan "ditunggu" oleh beberapa teman (halah!) yang ingin mengetahui pandangan saya terhadap poligami, inilah hasil "kerja keras" itu.

Latar Belakang

Hanya satu kata, tapi belakangan membuat Indonesia geger. Dari sudut pandang Islam, boleh, dan tidak terlalu banyak "variabel" yang dibutuhkan untuk melakukannya. Jika kemudian masalah poligami menjadi rumit, karena banyak sekali "variabel" yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan. Menurut saya, syarat-syarat dan argumen-argumen yang kemudian muncul dikalangan umat Islam untuk "menekan" angka poligami, sebetulnya merupakan kebijaksanaan ulama, terutama menyangkut perempuan. Meskipun masalah perempuan hanya satu, masalah perasaan yang sulit dikompromikan jika menyangkut "saingan", atau mungkin lebih tepatnya, masalah eksistensi diri.

Nabi Muhammad dan para sahabatnya melakukannya. Namun, sepengetahuan saya, bahwa syarat poligami adalah "harus" janda, lebih tua dengan tujuan menolong, misalnya, tidak pernah menjadi syarat mutlak di zaman Rasulullah dulu, Rasulullah pun tidak pernah mensyaratkan hal itu. Adalah kebijaksanaan Rasulullah saja melakukan hal tersebut, sama seperti halnya ketika beliau melakukan shalat sepanjang malam, tapi tidak pernah dianjurkan kepada ummatnya, karena perbedaan kualitas ruhani. Itu pun, jika rujukan saya benar, hanya satu orang istrinya, selain Khadijah, yang lebih tua dari beliau. Selebihnya, jauh lebih muda dari beliau, karena ketika Khadijah meninggal usia Rasulullah pun sudah berusia 50 tahun lebih. Sementara dengan usia nikah perempuan pada zaman itu, rata-rata antara 12-16 tahun, seorang janda beranak 3 pun bisa jadi masih berusia lebih kurang 30-an. Sebab, jika memang tujuannya adalah untuk menolong dan mengurusi anak-anaknya, maka misalkan Rasulullah menikah dengan seorang janda berusia 50 tahun, bisa jadi anak-anaknya sudah menikah semua dan bisa mengurusi dirinya sendiri.

Satu contoh kasus pernikahan Rasulullah dengan Sauda binti Zam'a, dalam Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haekal menulis :
Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu. Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah isteri orang yang termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Ummul Mu'minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.


Pertanyaannya, memangnya kita sanggup seperti Rasulullah? Jelas ini adalah sesuatu yang sulit. Rasulullah dibimbing dan "dididik" olah Allah langsung, sementara kita lebih banyak dibimbing dan dididik oleh setan dan hawa nafsu kita. Maka, dalam hal poligami pun, saya tidak yakin setiap laki-laki sanggup dan mau mengikuti Rasulullah. Sebelumnya, akan saya kutip terlebih dahulu ayat yang menjadi legalitas poligami, tapi pada saat yang sama, ayat tersebut juga menganjurkan untuk tidak berbuat aniaya (terhadap istri), yaitu An-Nisaa' ayat 3 :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.


Kalimat "...maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. "...jelas-jelas menolak argumen yang mengatakan atau mensyaratkan bahwa jika ingin menikah lagi harus dengan janda, lebih tua dan tidak cantik, sebab kriteria tersebut sulit sekali untuk masuk kategori "yang kamu senangi" sesuai ayat di atas. Maka, jika merujuk kepada ayat di atas, syah-syah saja untuk menikah lagi dengan gadis yang cantik sekalipun. Pikiran sederhana saya mencerna ayat tersebut sebagai ke-Maha Tahu-an Allah terhadap karakter laki-laki yang memiliki kecenderungan untuk berpoligami dan menyukai wanita yang cantik. Adapun anjuran yang diberikan, bukanlah anjuran yang diungkapkan dengan tegas, seperti halnya larangan atau tuntutan. Namun, hanya anjuran lembut, sama seperti kita mengatakan..."jangan terlalu capek, banyak-banyak istirahat, supaya tidak sakit". Artinya, melakukan atau tidak, itu adalah sebuah pilihan bagi laki-laki.

Kalau merujuk ke ayat di atas, poligami memang nampak sederhana sekali. Bagi laki-laki, nampak sangat mudah jika hanya sekedar adil. Namun, ternyata realita nya tidak seindah itu. Bukan hal yang mudah untuk "tidak aniaya" kepada perempuan jika berbicara poligami dan keadilan. Dengan poligami, bagi perempuan mungkin berarti...meruntuhkan kepercayaan diri, mengganggu eksistensi diri dan siksaan lahir batin. Adil dalam hal lahiriyah, seperti harta, pembagian giliran hari, mungkin bisa adil, namun dalam hal perasaan, ini yang sangat sulit, karena memang tidak ada alat ukurnya. Bahkan seorang Rasulullah pun sempat merasakan kesulitan berhadapan dengan ego istri-istrinya dan sempat mengancam keutuhan rumah tangga beliau. Dalam surat yang sama, An-Nisaa' ayat 129, Allah juga menggambarkan betapa sulitnya untuk berbuat adil 100%, berikut ini redaksi ayat tersebut :

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Kedua ayat tersebut, An-Nisaa':3 dan An-Nisaa':129, sebetulnya berbeda bab, namun An-Nisaa':129 sangat relevan untuk menggambarkan keadaan ketika terjadi perselisihan rumah tangga, dalam hal ini mereka yang menjadi bagian poligami. Ayat tersebut juga menggambarkan, meskipun seorang laki-laki sangat ingin berbuat adil, namun selalu ada keberpihakan kepada salah satu istri. Ayat ini juga seolah-olah berkata, meskipun laki-laki merasa adil, namun dari sudut pandang wanita hal tersebut bisa berarti tidak adil. Mungkin karena salah satu merasa tidak dibela, tidak dimenangkan dan lain sebagainya. Jika An-Nisaa':3 memihak laki-laki, maka ayat 129 lebih memihak perempuan dan seolah-olah mewakili sudut pandang perempuan. Jika ayat 3 menggugah kepercayaan diri laki-laki, ayat 129 meruntuhkan kepercayaan diri tersebut.

Selanjutnya, ayat-ayat tersebut menjadi landasan berpikir saya dalam paragraf-paragaraf berikutnya. Alasan saya, dua fitrah yang saling bersebarangan antara laki-laki dan perempuan sangat terwakili oleh dua ayat tersebut. Oleh karena itu, saya sengaja tidak memberikan porsi besar keteladanan Rasulullah sebagai rujukan saya untuk kasus poligami, karena untuk saya, sebagai manusia biasa, dan laki-laki khususnya, agak sulit jika seseorang melakukan poligami tanpa melibatkan unsur yang menjadi fitrahnya. Katakanlah dalam hal niat dan tujuan, sering kali unsur hawa nafsu lebih kuat menjadi alasan, meskipun ditutupi dengan kata-kata "sunnah" atau "ibadah" atau "dakwah" sekalipun. Dan An-Nisaa' ayat 3 pun tidak menafikkan hal tersebut, malah menegaskan bahwa seperti itulah karakter laki-laki. Sementara apa yang dilakukan Rasulullah, lebih berlatar belakang dakwah dan politik.

Tentu saja, dari seluruh laki-laki dan perempuan yang ada di muka bumi ini, selalu ada pengecualian. Ada laki-laki yang lebih memilih monogami seumur hidupnya, karena kecintaannya kepada istrinya. Ada juga perempuan yang bersedia dan terang-terangan tidak berkebaratan untuk dipoligami. Namun, dalam bahasan selanjutnya, saya lebih menitikberatkan kepada dua jenis sifat laki-laki dan perempuan yang berseberangan, ekstrim laki-laki dan ekstrim perempuan, lebih ke fitrah-nya. Lebih tepatnya, melakukan generalisir terhadap sifat laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, tulisan ini mungkin "cowok banget", karena saya tidak tahu bagaimana perasaan sesungguhnya dari perempuan. Oleh sebab itu, jika ada yang tidak terwakili, atau merasa tidak terwakili, tidak perlu sewot atau marah, cukup dijadikan bacaan saja. Syukur-syukur mau memberikan komentar. :D


Jadi, intinya adalah...

Selama ini, saya adalah orang yang pro-poligami, dengan asumsi hanya ada 2 pihak, yaitu pro dan kontra, tapi tidak berarti bahwa saya adalah orang yang ingin poligami. Pro dalam artian tidak menolak. Alasannya, sederhana saja, karena Allah mengijinkan dan dalam Islam poligami bukanlah sesuatu yang hina. Maka, menjadi sangat mengherankan saya, jika saat ini poligami dipandang sebagai sesuatu yang hina. Buat saya, apa yang sudah Allah halalkan, pastilah terdapat kebaikan di sana. Jika kemudian terjadi hal-hal negatif, bukan poligaminya yang salah, tapi pasti orang yang melakukannya yang salah. Sama saja seperi kita makan 1 piring, tidak ada larangan untuk nambah lagi sampai 4 piring. Namun, jika kemudian kita sakit perut sampai tidak bisa jalan atau ada makanan yang terbuang, bukan makan-nya yang salah, tapi kita atau cara makan kita yang salah karena tidak mengukur kemampuan diri kita. Merasa sanggup makan 4 piring, tapi ternyata malah membuat kita sakit dan menyia-nyiakan makanan yang ada.

Mungkin analogi tersebut kurang tepat, karena tidak mempertimbangkan 'perasaan' sang makanan :D. Namun, dari sisi laki-laki, analogi tersebut menurut saya cocok. Lalu bagaimana dengan sisi perempuan? Suatu saat, saya pernah makan bareng dengan 4 orang perempuan teman saya setelah selesai melakukan kegiatan. Melihat mereka ber-4 tampak akrab dan akur, saya kepikiran tentang poligami. Lalu, saya iseng mengeluarkan celetukan..."Eh, kalau misalkan saya punya istri 4 kayak kalian, akur gitu, kayaknya asyik ya...?"..:D Salah seorang teman saya itu menjawab..."Eits, tunggu dulu, belum tentu kami jadi akur lagi kalau misalkan kami jadi istri kamu semua...". Jadi, memang sulit untuk mendamaikan perasaan perempuan tentang masalah ini. Bahkan dengan sahabat karib sekalipun. Pada diri istri-istri Rasulullah pun hal ini merupakan masalah yang sulit untuk didamaikan, apalagi perempuan-perempuan masa kini. Namun, justru hal tersebutlah yang menjadi kunci dari permasalahan poligami ini. Poligami tidak akan terlalu dipermasalahkan ketika perempuan sudah bisa berdamai dengan perasaan dan ego-nya sendiri. Akan tetapi, perempuan terlalu lemah untuk ini.

Makanya, dalam berbagai kesempatan yang membahas tentang poligami, saya selalu menekankan bahwa seharusnya perempuan lah yang lebih banyak berbicara tentang anjuran berpoligami. Sebab, selama lelaki yang berbicara, tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perempuan. Disebut nafsu lah, menganiaya wanita lah, harus adil lah...intinya mungkin, "Tolong hentikan membicarakan poligami, itu menyakiti kami..." Sayangnya, dikalangan "daiyah/ustadzah" pun jauh lebih banyak yang berkebaratan untuk sekedar membicarakan apalagi sampai membahas masalah ini, terlebih untuk menjadi contoh apalagi menganjurkan. Padahal ini adalah masalah penting yang menyangkut kehidupan perempuan juga. Di sisi lain, 'musuh' Islam mengobrak-abrik Islam melalui isu poligami, pada saat yang sama para "daiyah/ustadzah" menyetujui pemikiran mereka, semakin berantakanlah umat Islam. Indikasinya sangat jelas. Terkait masalah AA Gym saja, sangat sulit saya menemukan tulisan dari muslimah yang membela apa yang AA Gym lakukan. Lebih banyak perempuan yang mencibir, bahkan atas nama ibu-ibu pengajian?

Faktanya, ada atau tidak ada poligami, lelaki tidak terlalu dirugikan sebetulnya. Namun, dengan dilarangnya poligami, justru perempuan yang lebih banyak menjadi korban. Jadi, sebetulnya perempuan lah yang lebih banyak menganiaya dirinya dan sesamanya. Kebanyakan berfikiran seperti ini..."Saya menyadari bahwa Allah tidak melarang poligami, asalkan jangan saya aja yang dipoligami...". Hehehe. Egois kan?

Pada mulanya, poligami bukan masalah yang besar, 'hanya' sesuatu yang biasa saja. Dan dalam Islam pun, poligami bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan sebetulnya. Salah satu syarat dari poligami yang selalu saja dijadikan 'syarat mutlak' adalah adil, karena dalam Al-Quran hal ini diungkapkan. Namun, pada saat yang sama, Allah menegaskan bahwa selamanya laki-laki sulit dan bahkan tidak mungkin untuk bisa adil. Itu artinya, menurut saya, Allah sudah mengingatkan bahwa sangat berat sebetulnya untuk berpoligami. Namun, jika merasa mampu, silahkan lakukan, tidak hina dan tidak menjadi dosa. Lantas bagaimana dengan syarat adil? Karena adil sudah Allah tegaskan sebagai sesuatu yang tidak mungkin bisa kita lakukan, maka saya berpendapat bahwa sebetulnya adil hanyalah suatu tujuan yang harus dicapai semaksimal mungkin, yang lebih penting dari itu adalah proses untuk bersikap adil. Jika seseorang berusaha sekuat tenaga untuk mendekati adil, saya kira hal tersebut pun akan mendapatkan 'penghargaan' dari Allah. Dan yang paling penting adalah sikap ridha dari istri-istrinya. Sebab jika istri-istrinya sudah ridha, saya kira kata adil sudah bukan menjadi masalah yang besar lagi, namanya juga sudah ridha. Hal ini tentu saja akan memudahkan sang suami untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya. Lagi-lagi, perempuan lah yang menjadi kunci dari 'sukses'-nya poligami. Makanya, saya sering kali menekankan bahwa poligami hanya akan menjadi solusi, jika perempuan-perempuan, terutama muslimah, sudah ridha. Selama masih belum ridha, jangan harap poligami akan berkahir indah, yang ada perasaan saling mencurigai dan saling iri. Sedangkan prasangka dan iri adalah pangkal dari berbagai permasalahan di dunia ini.

Suatu saat saya pernah mengobrol dengan seorang teman saya. Meskipun hanya kesepakatan kami berdua, tapi kami mengambil sebuah kesimpulan bahwa betapa luar biasa sabarnya seorang laki-laki yang sanggup bertahan dengan satu istri selama hidupnya. Hal ini tentu saja berdasarkan apa yang kami 'rasakan' sebagai laki-laki. Umumnya, untuk seorang laki-laki, fisik seorang wanita adalah 'segalanya'. Maka, ketika menyaksikan 'perkembangan rumputnya yang sudah tidak lagi hijau' setiap hari, sementara 'rumput' di luar sana selalu nampak lebih hijau dan lebih subur, adalah sesuatu yang wajar jika laki-laki tergoda oleh 'hijaunya rumput' tersebut. Jangankan pada saat 'rumput' yang dimiliki sudah tua, ketika 'rumput' yang dimiliki masih muda pun, tetap saja 'rumput' di luar selalu tampak lebih hijau. Terlebih jika 'rumput' itu lebih muda daripada 'rumput' yang dimiliki saat ini. Pada saat seperti inilah, kesabaran seorang laki-laki diuji, sementara di sisi lain, laki-laki tersebut dilarang oleh istrinya untuk menikah lagi, itulah saat dimana perempuan menganiaya laki-laki. Maka, terjadilah perselingkuhan antara sang suami dengan perempuan lain. Jadi, ketika poligami dilarang, yang teraniaya tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan menjadi korban. Masalahnya adalah perempuan lebih banyak tidak menyadari tentang kondisi ini, merasa suaminya baik-baik saja, padahal menyimpan perasaan 'teraniaya' itu dalam-dalam. Perempuan selama ini ke-GR-an, seolah-olah menjadi yang paling teraniaya dengan adanya poligami. Memangnya dengan dilarangnya poligami, laki-laki tidak teraniaya? Maka, disinilah perlunya kompromi dan saling memahami satu sama lain. Bersyukurlah jika perempuan mendapatkan suami yang 'tidak minat' untuk berpoligami, tapi hati seseorang siapa yang tahu, bisa saja apa yang diucapkan hanya ingin menyenangkan istrinya, sehingga sang suami 'berbohong' tidak ingin melakukan poligami.

Pernah suatu saat, dalam sebuah acara talkshow di televisi swasta Indonesia yang sedang membahas poligami, saya menyaksikan seorang aktivis perempuan mengatakan bahwa seharusnya laki-laki qana’ah(merasa cukup, mensyukuri) dengan apa yang ada pada istrinya. Entah itu kekurangan atau kelebihannya, sehingga ‘tidak perlu’ untuk melakukan poligami. Saya hanya bisa tersenyum saja mendengar ungkapan tersebut. Sebab, jika seperti itu, perempuan pun seharusnya qana’ah juga dengan apa yang ada pada suaminya. Salah satunya adalah kecenderungan dan potensi untuk melakukan poligami yang diberikan Allah kepada laki-laki. Maka, selama kita sama-sama egois, poligami yang seharusnya menjadi sebuah solusi, hanya akan menjadi malapetaka bagi setiap rumah tangga.

Selalu ada sifat yang berlawanan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan mengharapkan seorang laki-laki yang setia, sementara di sisi lain laki-laki selain ingin istri yang setia, juga memiliki potensi untuk memiliki istri lebih dari satu, dan itu bukan berarti tidak setia. Sebab jika tidak setia, pastilah seorang laki-laki memilih untuk menceraikan istri pertamanya untuk menikah dengan perempuan lain. Kenyataannya, untuk kasus-kasus poligami, lebih banyak istri pertama yang meminta cerai kepada suaminya. Sementara laki-laki pada umumnya tidak ingin menceraikan istri pertamanya, hanya karena istri pertama tidak pernah bisa menerima, maka terjadilah perceraian itu. Pada saat yang sama, seorang laki-laki bisa mencintai beberapa orang perempuan, bahkan lebih dari 4 orang, dan bisa mencintai masing-masing perempuan itu secara 'utuh'. Ibaratnya ada beberapa ruang kosong dalam hati seorang laki-laki yang tidak mungkin diisi oleh satu orang perempuan saja. Itulah sebabnya mengapa laki-laki cenderung menjadi playboy. Jadi, sebetulnya perempuan tidak perlu khawatir laki-laki tidak setia, sebab seorang laki-laki bisa 'setia' kepada beberapa perempuan sekaligus. Saya kira itulah keagungan Allah yang diberikan kepada kaum laki-laki, sementara pada perempuan, Allah memberikan perasaan yang sangat sensitif. Hal ini tentu saja agar kedua hal tersebut bisa disinergikan dan dikompromikan, agar segalanya menjadi seimbang. Dan juga ke-Maha Bijaksanaan Allah yang membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu perempuan, karena Allah sangat mengetahui karakter laki-laki, namun Allah hanya membatasi sampai 4 orang saja. Sebelum Islam datang, poligami memang tidak dibatasi, mau punya 100 istri juga tidak ada yang melarang saat itu. Maka, disinilah, lagi-lagi Maha Bijaksana-Nya Allah, potensi yang ada tidak serta merta "dibunuh", tapi diatur, dibatasi. Jika Allah saja 'memfasilitasi', lantas apa hak kita untuk melarang? Saya menduga, akan lebih banyak perselingkuhan seandainya poligami dilarang oleh manusia. Dan sampai kapanpun, rasanya sangat sulit untuk melarang laki-laki untuk poligami. Apalagi dengan adanya wacana pelarangan poligami untuk dijadikan undang-undang, saya kira hal tersebut bukanlah suatu wacana yang bijaksana.

Jika beberapa teman saya tidak bisa membenarkan "menghindari zina" dijadikan alasan sebagai poligami. Saya justru berpendapat syah-syah saja beralasan seperti itu, karena bagaimanapun, alasan itu memang paling manusiawi dan tidak hina. Berapa persen sih poligami yang tidak melibatkan "urusan bawah perut"? Saya yakin tidak banyak. Dan bahwa seringkali kata-kata "sunnah","karena Allah" digunakan untuk menutupi alasan yang sebenarnya adalah "nafsu", masih lebih baik daripada mereka yang melakukan selingkuh sembunyi-sembunyi. Pun orang-orang yang melakukan poligami dengan alasan "nafsu" sekalipun masih lebih "ksatria", karena mereka tidak menyembunyikan "niatnya". Sedangkan orang-orang yang selingkuh, jelas mereka bisa dikategorikan orang-orang yang pengecut. Saya berpendapat seperti itu, karena saya tidak hanya berbicara tentang orang-orang "yang mengerti" saja, tidak hanya tentang orang-orang yang berpendidikan tinggi saja, tapi juga tentang mereka yang mungkin tidak memiliki alasan lain untuk poligami selain "daripada zina", atau bahkan mereka yang tidak memiliki pemahaman terhadap agama dengan baik. Tentang pendapat bahwa poligami tidak mungkin menyelesaikan masalah perzinaan, saya setuju, tapi pada saat yang sama, saya juga berpendapat bahwa poligami bisa meminimalisir "penyakit" tersebut. Saya seringkali heran, sebagian besar wanita menolak untuk dipoligami atau dijadikan istri kedua secara sah, tapi pada saat yang sama kita juga menemukan banyak perempuan yang mau dijadikan wanita simpanan. Aneh...

Merujuk ke dua berita yang sempat ramai di seluruh media massa di Indonesia. Ada sebuah pelajaran yang bisa diambil dari kedua kasus tersebut, pada kasus AA Gym, saya tahu poligami mungkin terasa sangat berat untuk Teh Ninih sebagai istrinya. Namun dengan sikap Teh Ninih yang mencoba untuk ridha dan pasrah kepada Allah, dan mungkin juga dengan keinginan untuk membahagiakan suaminya, hal itu sedikit meringankan langkah AA Gym untuk menikah lagi dan bisa membantu menyelamatkan kehancuran rumah tangga mereka. Dan saya kira, keputusan yang diambil oleh AA Gym bukanlah keputusan yang seenaknya, tapi memerlukan pertimbangan yang sangat matang, karena pertanggungjawabannya sangat berat, apalagi sebagai seorang tokoh yang begitu dicintai banyak kalangan. Konon, pertimbangan yang dilakukan selama setahun lebih. Sementara kasus skandal cinta anggota DPR Yahya Zaini dan penyanyi dangdut Maria Eva, sudah dipastikan menghancurkan rumah tangga Yahya Zaini dan masa depan karir Yahya Zaini dan Maria Eva sendiri. Dan sudah pasti juga, istri Yahya Zaini akan jauh lebih sakit hati, karena merasa dikhianati. Kalaupun selama ini mereka tampil di televisi "seolah-olah" baik-baik saja, minimal mereka sudah menanggung malu yang luar biasa.

Saya tahu banyak yang tidak setuju membandingkan dua kasus tersebut sebagai tesis-anti tesis. Akan tetapi, menurut saya akar dari kedua masalah tersebut sebetulnya sama, katakanlah 'keinginan' untuk memiliki istri lagi, namun cara dan tujuannya berbeda. AA Gym melalui jalan halal, dan berdasarkan pengakuannya, hal itu bertujuan untuk mengingatkan bahwa poligami sebetulnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan, tapi juga jangan sampai dijadikan legitimasi terhadap poligami yang seenaknya. Sementara Yahya mengambil jalan selingkuh, dan akibatnya sangat fatal. Dan kunci dari kedua permasalahan tersebut adalah perempuan. Teh Ninih mencoba untuk meridhai, dan hasilnya adalah pernikahan yang 'damai', sementara istri Yahya sepertinya bukan tipikal orang yang mau dimadu, dan hasilnya adalah perselingkuhan. Jadi buat mereka yang ingin menikah lagi, tinggal pilih saja mau cara seperti apa. Dan untuk kaum hawa, dua kasus tersebut bisa dijadikan sebuah perenungan dan pertimbangan mengenai poligami.

Untuk kasus AA Gym, tanggapan yang didapatkan memang lebih beragam, ada yang setuju, ada yang mengecam, dan ada yang tidak terlalu peduli seperti saya, tapi saya juga sebetulnya memuji langkah yang diambil AA Gym. Tapi kok nulis ini? karena saya hanya tertarik untuk membahas poligaminya. Lagipula saya juga punya misi untuk mengingatkan bahwa sebetulnya poligami tidak perlu untuk terlalu dipermasalahkan. Kuncinya satu, laki-laki dan perempuan, ridha dengan sebuah ketetapan yang Allah berikan. Dengan ridhanya kita terhadap ketetapan-ketetapan yang ada, kita akan lebih mudah untuk mengkompromikan perasaan kita, terlebih jika kita meyakini bahwa Allah pasti memberikan jalan terbaik dengan ketetapan-ketetapanNya itu. Misalnya, sebagai laki-laki, harus memahami kondisi perempuan yang pencemburu, sedangkan sebagai perempuan, harus memahami bahwa Allah memberikan laki-laki kelebihan dalam hal kemampuan dan kecenderungan untuk 'mendua', 'mentiga' atau pun 'meng-empat'. Kedua kondisi tersebut adalah ketetapanNya. Kemudian munculkan kesadaran untuk memberikan yang terbaik untuk pasangannya masing-masing. Insya Allah, kondisi keseimbangan itu akan tercapai. Selama kita masih bergelut dengan perasaan kita, rasanya sangat sulit untuk bisa menemukan solusinya. Meskipun pro-poligami, saya bukanlah orang yang berminat untuk poligami, nikah aja belum kok, tapi juga saya tidak berani untuk berstatement "tidak akan pernah melakukan poligami", saya khawatir tidak bisa konsisten dengan ucapan itu, karena ternyata hati ini memang sangat sulit untuk diatur. Saya hanya percaya bahwa apapun yang dihalalkan oleh Allah itu baik, itu saja. Jika ada yang mau berpoligami, lakukanlah dengan cara yang baik, jika tidak mau, tentu saja itu lebih baik.

Wallahualam.

Saya membayangkan ilustrasi seperti di bawah ini, jika laki-laki dan perempuan saling memahami...:D

Istri : "Bang, nikah lagi sana, pusing ngelihat abang sering ngelamun sendirian".
Suami : "Ih, siapa yang mau nikah lagi...?"
Istri : "Alah...suka pura-pura, bilang aja terus terang. Aku ridha kok."
Suami : "Nggak mau ah, ntar kamu cemburu lagi, ntar kamu nangis, ntar kamu sedih"
Istri : "Ih, abang GR banget sih...? :p emangnya siapa abang yang harus saya tangisi...?:p"
Suami : "Huu, nggak percaya, ntar kamu malah pengen bunuh diri kalau abang nikah lagi. Nggak mau ah...Lagian kalau aku nikah lagi, gimana dengan kamu?"
Istri : "Yeee...PD!! Aku kan ada anak-anak yang bisa diurus dan jadi pelipur lara :p Lagian kalau abang bahagia, aku juga akan sangat bahagia. Beneran nih nggak mau? ntar kebawa-bawa mimpi loh..." ;;)
Suami : "Iya, beneran...swear!!"
Istri : "Serius nih...? kesempatan kayak gini jarang loh..."
Suami : "Kalau kamu maksa, ya udah deh...mau...hehehehe"
Istri : "Huuu...dasar laki-laki" (sambil nyubit)
Suami : "Hahaha...abisnya kamu maksa gitu sih...:p. Tapi...kamu tahu kan kalau aku selalu cinta kamu?".
Istri : "Iya, bang. Aku juga selalu cinta kamu".

Heuheuheu...:p

S3K3L04.061206-141206.02:14.

NB :
- Bukan berarti saya tidak memahami perasaan perempuan tentang masalah ini, tapi memang sengaja buat nyindirin perempuan :p
- Saya tahu, secara keseluruhan, tulisan ini tidak terlalu objektif, memang sengaja sih...;;)
- Naskah ini juga saya kirimkan kepada Asma Nadia untuk disertakan dalam "lomba" penulisan tentang poligami, siapa tahu "layak" untuk bersanding dengan tulisan orang lain yang lebih hebat dalam sebuah buku. Heu3x. Tulisan ini adalah versi terakhirnya, sementara tulisan yang saya kirimkan, terlalu banyak yang bisa dikritik, meskipun tulisan ini pun pasti banyak yang bisa dikritik dan bikin yang membacanya eneg...:D
Posted by Donny @ 10:59 PM

Ada 24 orang yang cuap-cuap :

At 19 December, 2006 12:57, Anonymous Anonymous said...

don.. duuuu.. kok panjang amad bahasannya.. ??

 

At 19 December, 2006 21:32, Blogger anugerah perdana said...

mamah : pah, mamah izinkan papah nikah lagi dgn tiga syarat

papah : oya, apa tuh mah? (girang)

mamah : yang pertama, didik mamah biar makin ikhlas

papah : trus? (penasaran)

mamah : yang kedua, sing adil ya pah

papah : wah ini mah gampang (dalam hati)

mamah : dan yang ketiga, LANGKAHI DULU MAYATKU

Hehehehe....

 

At 19 December, 2006 22:12, Blogger Donny said...

angie : Hehehe...itu yang ada di otak sih, meskipun nggak semua yang tersampaikan, tapi yang menurut gua 'perlu' aja untuk disampaikan.

kang_agah : Hahaha...pilih yang ketiga aja langsung :p

 

At 20 December, 2006 10:16, Anonymous Anonymous said...

alhamdulillah...itulah kata yang saya bisa mewakili isi hati saya yang tidak mungkin bisa ditulis dsini semua. saya pun udah ga' tahan dengan semua polemik poligami ini. sesuatu yang sunnah bahkan Allah membolehkan dianggap hina dan yang bener2 maksiat malah dilegalkan dan syah-syah aja juga direspon baik. mungkin ini termasuk tanda2 menjelang kiamat. dan pastinya sarana ghazwul fikri. syukron udah mengingatkan bahwa kaum wanita/akhwat lah yang harusnya lebih banyak berperan untuk menangkal "penyerangan" ini.

 

At 20 December, 2006 10:22, Anonymous Anonymous said...

tpi perlu diingat pula bhwa bkn berarti kaum adam/ikh1 lepas tangan. tentu aja kalian juga bisa memberi kntribusi yg bsar dan tramt pnting bgi kami.klian hrslah bisa mendidik kami agar "kuat". so btapa indahnya jka sgala sesuatu bsa disinergikan dan sling dukung.pkerjaan yg berat trsa ringan krn dikerjakan brsama dan dgn hati ikhlas srta ridha hanya utk Allah smata. bagus bnget kak. terus menulis yah.

 

At 20 December, 2006 14:26, Anonymous Anonymous said...

Oh iya, tambahan lagi. walau diperbolehkan oleh agama, jangan lupa bahwa tanggung jawabpun bertambah. Jadi buat para ikhwan yang pengen berpoligami saya ucapkan Selamat Berjuang !!

 

At 21 December, 2006 23:23, Blogger Donny said...

nisa : karena itulah, antara laki-laki dan perempuan, harus saling memahami, bersinergi...saling mengingatkan, bahwa seringkali, kebenaran itu memang pahit dan menyakitkan, dan kita harus yakin dengan kebaikan-kebaikan yang ada padanya.

qzoners : Setuju...:)

 

At 25 December, 2006 10:01, Anonymous Anonymous said...

Terima kasih, artikelnya baik, mudah-mudahan kita juga dapat saling melengkapi.

http://affanzbasalamah.wordpress.com/2006/12/14/poli-poligami/

-affan

 

At 26 December, 2006 10:40, Blogger Y7 team said...

gw lebih sreg dengan artikel ini, benarkah poligami itu sunah?

 

At 07 April, 2007 10:20, Anonymous Anonymous said...

Orang sekarang aneh2.
Itukan hukum agama yang diperbolehkan,tapi masih juga di tolak. Trus pengen pake hukum apa selain Al-Quran dan Hadis???
Sebenernya mereka yang mengharamkan poligami itu cuma mengambil sebagian ayat dan sepotong hadis saja. Gak diambil seluruhnya.
Btw, ada lombanya juga tho?
Kalo aku sih bikin artikel buat dimasukin buletinnya SKI(Rohis) FKG UNAIR :)

 

At 07 April, 2007 10:22, Anonymous Anonymous said...

o ya, promosi dikit ya...
kalo pengen baca artikelku di :
http://agam.punya.web.id/poligami-sunnah-atau-haram/

 

At 02 November, 2007 15:05, Anonymous Anonymous said...

3Z9o6w The best blog you have!

 

At 03 November, 2007 00:42, Anonymous Anonymous said...

uVwo33 Hello all!

 

At 03 November, 2007 01:33, Anonymous Anonymous said...

Hello all!

 

At 03 November, 2007 02:15, Anonymous Anonymous said...

Thanks to author.

 

At 03 November, 2007 03:22, Anonymous Anonymous said...

Wonderful blog.

 

At 03 November, 2007 04:23, Anonymous Anonymous said...

Please write anything else!

 

At 03 November, 2007 17:54, Anonymous Anonymous said...

Wonderful blog.

 

At 03 November, 2007 22:32, Anonymous Anonymous said...

Hello all!

 

At 03 November, 2007 23:34, Anonymous Anonymous said...

Magnific!

 

At 04 November, 2007 00:32, Anonymous Anonymous said...

Please write anything else!

 

At 04 November, 2007 01:19, Anonymous Anonymous said...

Please write anything else!

 

At 29 July, 2009 19:38, Anonymous de3 said...

lah.. koq pas banget ya sama pemikiran saya dan suami.. al7amdulillaah ternyata nemu juga tulisan yg kayak gini..

yg namanya hukum Allaah mah insya Allaah banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya.

lagian dimadu khan enak.. daripada di racun.. hohoho (canda)

dalam poligami, menurut saya malah kasian ikhwannya. Klo akhawat paling cuma nahan cemburu. Klo ikhwan harus menafkahi, bertanggung jawab dunia akhirat, mendidik, mengarahkan, menjaga istri2 dan anak2, menjaga hubungan baik dengan keluarga istri2, menjaga perasaan istri2, menjaga hubungan antara istri dan istri dan antara anak dan anak biar trus damai,dll,dll(hueek... banyak banget, kasian)

 

At 23 August, 2009 19:10, Anonymous Anonymous said...

papa : ma, boleh nikah lagi nga?
mama : boleh pa, asal ada syaratnya
papa : apa tuh ma?
mama : yg pertama mesti perkenalkan ke mama, yg kedua nga boleh nikah dengan orang yg mama kenal, ok
papa : sip deh ma

papa sudah senang dengan persetujuan mama akhirnya perempuan yg ingin dijadikan istri ke 2 pun, dibawa kerumah

papa : ma, kenalin ini yg mama bilang yg mau papa jadikan istri

kemudian mama, dan calon istri barunya pun kenalan

papa dengan raut wajah yg bahagia pun, menyampiri mama dan mulai membicarakan masalah pernikahan dgn calon istri barunya

mama: mau bicara apa lagi pa, semua kan sudah jelas
papa : apanya??

mama : tidak boleh menikah dengan orang yg saya kenal,
papa : kan calon istri papa ini bukan org yg mama kenal?
mama: kata siapa kan tadi mama sudah kenalan, berarti mama sudah kenal,

hahhahahahaha cerita yg lucu kan???

 

Post a Comment

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza