My Photo
Name:
Location: Bdg, Bgr, Jawa Barat, Indonesia

Posted At Wednesday, June 20, 2007

Nostalgia SMA : Catatan Menjelang Reuni Akbar SMA Negeri 3 Bogor, part 1
Tidak terasa. Sudah 7 tahun sejak kelulusan SMA pada tahun 2000. SMA Negeri 3 Bogor, sekolah yang meninggalkan kesan cukup mendalam bagi saya. Memori saya pada sekolah ini bisa disimpulkan dalam beberapa kata : persahabatan, tawuran, bola plastik, kantin, Robot, musholla dan...menderita karena cinta :)) Tentunya, cerita ini berdasarkan sudut pandang dari apa yang saya alami selama 3 tahun.

Sebetulnya, beberapa saat menjelang lulus SMP, saya benar-benar dalam keadaan tidak siap. Saya tidak tahu peta SMA di Bogor, yang saya tahu hanya 2 sekolah, STM Negeri Bogor yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah, dan SMA Negeri 8 Bogor yang tidak terlalu jauh dari SMP tempat saya bersekolah. Maklumlah, 'anak kabupaten'...teman-teman SMP saya nggak jauh-jauh dari sekitaran sekolah, dan tempat main saya juga nggak jauh-jauh dari sekitar rumah dan sekolah. Selain itu, saya merasa berat untuk cepat-cepat meninggalkan SMP, karena memang meninggalkan kesan cukup mendalam juga.

Di SMP itu, saya masih terhitung anak yang 'beruntung'. Diantara teman-teman dekat, saya adalah yang paling 'pintar', paling beruntung dari segi ekonomi, salah satu dari dua orang yang melanjutkan ke SMA, dan satu-satunya yang melanjutkan kuliah. Di sekolah itulah saya bersahabat dengan orang-orang yang termarginalkan. Hampir semua sahabat saya melanjutkan ke STM, tujuannya jelas, agar setelah lulus bisa langsung bekerja. Ada juga yang kemudian tidak bisa melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja menjadi buruh karena masalah ekonomi, atau putus cinta gara-gara perbedaan status sosial. Sahabat-sahabat SD saya lebih tragis lagi, 2 orang diantaranya saya dapati sedang menjadi calo angkot dan preman. Cerita-cerita semacam itu memang ada, meskipun tidak sedramatis apa yang ditulis Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi. Namun, saya merasa sangat beruntung pernah bersekolah di SMP tersebut, SMP Negeri 1 Kedung Halang, yang beberapa saat menjelang saya lulus berubah menjadi SMP Negeri 15 Bogor, imbas dari pengembangan Kotamadya Bogor. Disanalah saya mendapatkan persahabatan yang jujur.

Alasan saya memilih SMAN 3 sebetulnya bermula dari cerita salah seorang alumni SMP tersebut yang saat itu sedang bersekolah di sana. Tidak ada cerita yang benar-benar 'bagus' sebetulnya. Hanya cerita tentang PMR sekolah tersebut yang cukup disegani, karena saat itu dari organisasi itulah saya banyak mendapatkan sahabat dan pengalaman yang berharga. Saya berniat melanjutkan lagi masuk PMR ketika SMA, dengan harapan akan mendapatkan sahabat, pengalaman dan cerita-cerita konyol yang bisa diceritakan kepada anak-cucu saya nanti :)) Selain itu, hanya cerita tentang tawuran-tawuran yang melibatkan SMAN 3 dan bahwa sekolah tersebut memiliki tetangga sekaligus musuh abadi, SMAN PGRI 1. Namun, itu juga yang membuat saya semakin tertarik untuk masuk ke sekolah tersebut, meskipun tidak pernah sekalipun saya terlibat. Terbukti, selama 3 tahun saya menjadi bagian dari sekolah tersebut, serang-menyerang antara 2 sekolah tersebut yang terjadi puluhan kali, menjadi sesuatu yang 'biasa'. Justru terasa hambar jika SMAN 3 tidak terlibat tawuran. Mulai saat itu, saya bertekad melanjutkan ke SMAN 3 Bogor. Sayangnya, organisasi PMR mengalami kemunduran ketika saya tergabung didalamnya, sehingga tidak banyak yang bisa saya dapatkan dari sana.

Guru Matematika SMP yang saya kenal cukup dekat, meragukan 'kemampuan' saya untuk bisa seperti di SMP tersebut jika saya melanjutkan ke SMAN 3. Alasannya, persaingan di sana lebih ketat. Oleh sebab itu, beliau menyarankan agar saya memilih SMAN 6 saja, namun saya tetap keukeuh memilih SMAN 3. Ketika itu, saya memang terkenal karena beberapa kali menjadi juara kelas, juga sebagai 'raja' Matematika. Ferry Hasdi, yang bersama-sama dengan saya melanjutkan ke SMAN 3, adalah sahabat sekaligus saingan saya. Satu lagi saingan kami berdua adalah seorang perempuan berjilbab yang juga jadi 'love story' saya ketika SMP :)) Pada akhirnya, ketika perpisahan SMP, kami bertiga termasuk ke dalam 10 orang yang mendapatkan penghargaan NEM terbaik. Ferry ke-2, my 'love story' ke-5, dan saya...pertama! :))

Memang, dikemudian hari, prediksi guru Matematika SMP tersebut terbukti. Bedanya, Ferry tetap cemerlang dengan prestasinya, bahkan ketika lulus dari SMAN 3, Ferry mendapatkan predikat NEM tertinggi untuk jurusan IPA. Ketika acara perpisahan, dialah yang menjadi 'raja' acara tersebut, dan yang menjadi 'ratu'-nya...ah, tak usahlah saya sebutkan, yang jelas saya iri dan 'cemburu' pada Ferry saat itu. Hihihi. Di sisi lain saya juga bangga, karena setidaknya Ferry bisa mengangkat almamater SMP kami, meskipun sebetulnya tidak ada yang peduli dari sekolah mana kami berasal. Sementara saya...saya benar-benar tenggelam dalam prestasi yang pas-pasan. Bukan karena tidak bisa bersaing, tapi ketika SMA saya benar-benar malas belajar. Meskipun, khusus untuk Matematika, saya tetap menguasai pelajaran tersebut ketika kelas 1 dan 2. Hanya Matematika satu-satunya yang bisa saya kuasai secara alami, tanpa perlu proses belajar yang panjang, kadang-kadang apa yang baru diajarkan sekali, bisa saya pahami dan ingat dalam jangka waktu lama. Sementara kelas 3 adalah puncak kemalasan saya. Ironisnya, Matematika lah yang memiliki nilai terendah dalam NEM SMA saya. Entah apa penyebabnya, yang jelas ketika kelas 3 SMA, otak saya turun jauh ke level inferior.

Salah satu keunikan sekolah ini adalah adanya seleksi untuk kelas Taruna, yaitu kelas yang dibuat khusus untuk menjadi tim paskibra sekolah. Lucunya, alumni yang juga teman dekat saya tersebut memprovokasi untuk mengatakan tidak bersedia menjadi Taruna. Maka, pada saat seleksi, saya mengatakan "tidak!" di tiap pos yang saya masuki. Di sisi lain, keberadaan kelas ini menciptakan gap yang cukup lebar diantara kelas Taruna dan non-Taruna. Saya sendiri termasuk salah seorang yang tidak menyukai keberadaan kelas Taruna. Untunglah, ketika kelas 2 dan kelas 3, semuanya dilebur kembali. Pada akhirnya, saya malah mendapatkan banyak teman dekat yang berasal dari kelas Taruna tersebut.

Tawuran adalah keunikan lain dari sekolah ini. Menjadi unik, karena rasanya cukup ganjil mendapati anak-anak yang pintar, tapi doyan tawuran. Jika dibandingkan dengan seluruh sekolah yang ada di Bogor, SMAN 3 adalah sekolah yang paling banyak mencatat rekor tawuran, juga paling banyak musuh. Kecuali SMAN 1, 4 dan 5, semua SMA Negeri pernah berhadapan dengan SMAN 3. Dengan SMAN 1, jenis persaingan yang terjadi lebih merupakan persaingan gengsi sekolah. Meskipun patut diakui, dalam banyak hal, SMAN 3 selalu menjadi nomor 2 jika dibandingkan SMAN 1. Frekuensi tawuran sekolah tersebut melebihi frekuensi tawuran STM-STM yang ada di Bogor. Sekolah mana lagi yang melakukan tawuran seminggu sekali? Tawuran-tawuran yang terjadi tentunya menjadi cerita tersendiri bagi para pelakunya. Sedangkan bagi saya itu adalah sebuah gangguan. Bagaimana tidak terganggu jika setiap berangkat dan pulang ke sekolah saya harus merasa tegang sepanjang jalan gara-gara takut ketemu musuh sekolah kami?

Ada cerita unik ketika saya kelas 2. Kelas kami sedang dalam tahap renovasi, karena itu kelas kami dipindahkan sementara ke kelas lain yang lebih dekat dengan pintu gerbang dan pinggir jalan. Saat itu giliran jadwal siang dan ulangan Matematika. Sunyi, karena kami sibuk dengan soal-soal Matematika. Sebelum tiba-tiba terdengar suara riuh sepatu berlari yang jumlahnya sekitar puluhan orang. Beberapa orang diantara kami, termasuk saya, tergelitik untuk melihat ke luar, karena tempat duduk saya tepat di sebelah jendela. Maka, ketika kami lihat puluhan orang berseragam SMA yang bersiap melempar batu, saat itu juga kami berteriak "diserang!!". Seketika itu kelas kami membubarkan diri, beberapa detik kemudian..."Prang!!!" batu-batu memecahkan kaca jendela kelas kami, termasuk jendela tempat saya melihat. Untunglah kelas sudah hampir kosong ketika kaca-kaca tersebut pecah, meskipun ada juga seorang perempuan yang terkena lemparan batu tepat dikepalanya. Semuanya terjadi begitu cepat. Chaos. Serangan balik dilakukan oleh teman-teman saya, dan tidak lama kemudian mereka terusir.

Pelajaran selanjutnya adalah Agama Islam. Maka, sebelum pelajaran dimulai, guru tersebut bertanya "Siapa yang tadi membalas serangan?". Dan...jreng, kecuali saya dan ketua kelas, semua laki-laki di kelas tersebut mengacungkan tangannya. Whahaha...hebat! Padahal, jika dibandingkan kelas lain, laki-laki di kelas kami hanya sedikit yang suka terlibat tawuran. Mungkin gara-gara ulangan Matematika, membuat otak mereka jadi korslet :))

Seragam batik sekolah kami juga paling unik. Sementara batik-batik sekolah lain berwarna biru, SMAN 3 berwarna hitam-coklat, dengan corak persis batik Jawa. Di satu sisi, batik ini menjadi ciri khas dan kebanggaan tersendiri, tapi di sisi lain, batik tersebut memudahkan murid-murid dari sekolah lain untuk melakukan sweeping ketika terjadi tawuran. Untungnya, pasangan baju batik tersebut adalah celana hitam, sehingga ketika pulang sekolah, batik tersebut bisa diganti dengan pakaian lain. Apalagi, seragam tersebut dipakai pada hari sabtu, tidak jarang setelah pulang sekolah, diantara kami ada yang langsung ber-malam mingguan.



Memori yang paling berkesan bagi saya adalah cerita tentang sepak bola platik. Sebelumnya, sepak bola hanya dipertandingkan ketika acara 17-an atau class meeting saja. Namun, sejak angkatan kami, sepak bola bisa dilakukan setiap saat, tepatnya ketika kami kelas 2. Tiada hari tanpa sepak bola, bahkan hingga kami lulus pun, kami masih sering bermain di sana. Namun, sebelum akhirnya bisa dilakukan setiap hari, mulanya kami mencuri-curi waktu istirahat, atau jeda antara jadwal pagi dan siang. Tidak jarang juga kami diusir dari lapangan basket yang kami bajak jadi lapangan sepak bola gara-gara mengganggu proses belajar jadwal siang. Namun, kelamaan, guru-guru kami merasakan bosan juga karena teguran-tegurannya tidak pernah kami tanggapi. Dan mungkin, mereka juga menyadari bahwa dengan dibebaskannya sepak bola bagi kami, akan mengurangi frekuensi tawuran, karena energi kami habis dengan bermain sepak bola. Sejak saat itulah, kami bebas melakukan pertandingan sepak bola sesuka kami.

Banyak hal terjadi di lapangan tersebut. Sesekali bola plastik yang kami gunakan masuk ke dalam kelas dan 'disandera' oleh guru yang sedang mengajar, atau membentur kaca kelas dan membuat seisi kelas berteriak histeris...dan kami pun bubar beberapa saat, untuk selanjutnya kembali lagi ke lapangan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Pernah juga tendangan-tendangan kami melenceng hingga mengenai wajah kepala sekolah atau teman kami, telak! Dan kami tertawa terbahak-bahak sambil berguling-gulingan di lapangan, puas...:)) Atau terkekeh centil tatkala bola yang kami tendang mengenai seorang wanita adik kelas kami. Kali lain, kami tiba-tiba membubarkan diri untuk mengusir murid sekolah lain yang menyerang kami, ketika guru-guru dan sebagian besar murid yang lain membicarakan penyerangan tersebut, kami kembali ke lapangan dan memainkan bola dengan riang.

Dan orang-orang gila mana lagi yang sanggup bermain dari waktu dzuhur sampai isya, panas terik ataupun hujan lebat, puasa atau tidak puasa dan dilakukan setiap hari? Satu-satunya yang bisa menghentikan kami adalah cedera atau...pacar yang cerewet dan manja yang datang dengan ultimatum "pilih sepak bola atau gua?" Saya sendiri pernah berhenti total bermain bola selama 2 minggu gara-gara jari kaki saya patah dan engkel kaki saya keseleo. Syukurlah, sebagian besar diantara kami adalah jomblo sejati, sehingga hampir tidak pernah melewatkan sepak bola gara-gara ultimatum pacar. Di mana lagi bisa ditemukan orang-orang sinting yang sanggup membuat guru les menunda mengajar gara-gara menunggu kami kelelahan bermain sepak bola, padahal jadwal mengajar sudah ditentukan. Bisa dipastikan, proses belajar mengajar tidak berjalan optimal karena kami kelelahan, bahkan kadang-kadang masih berkeringat, lalu diajari tentang Fisika, Biologi dan Kimia. Malah ngantuk yang ada.

Di lapangan itulah saya bermain dengan orang-orang gila yang mengaku-aku titisan Fabian Barthez dan Paolo Maldini, tapi dipanggil Thez dan selanjutnya jadi Tessy :)) Ada juga yang ngaku-ngaku titisan Shevcehenko seperti Ucup dan Azhevchenko, tidak jelas siapa yang benar-benar titisannya. Belum lagi Ekky, yang ngaku-ngaku The Next Francesco Totti. Ada yang doyan diving bergaya Filippo Inzaghi, atau ngaku-ngaku reinkarnasi Darko Kovacevic. Dan saya kebagian dibanding-bandingkan dengan Edgar Davids gara-gara kerasnya tendangan saya, tapi tidak akurat. Kalau kata Thez, power 95%, akurasi 5% :)) Namun, dari akurasi yang 5% itulah, saya menghasilkan gol-gol cantik :p

Demi untuk menciptakan dan mengembangkan bakat-bakat sepak bola di SMAN 3, maka kami kemudian merancang sebuah kompetisi antar-kelas. Selama kelas 2 yang terbagi ke dalam 3 caturwulan, kami melakukan 3 kali kompetisi dengan 3 sistem kompetisi yang berbeda. Caturwulan pertama dengan sistem gugur, tiap tim bertemu 2 atau 3 kali, tapi yang lolos ke babak selanjutnya bukan berdasarkan selisih gol. Jika pada pertandingan pertama Tim A menang melawan Tim B, dan pada pertandingan kedua Tim A kalah dari Tim B, maka dilakukan satu kali pertandingan lagi, tidak peduli berapapun selisih golnya. Pada Caturwulan I, kelas saya, 2-4, yang menjadi juara bersama dengan kelas 2-5, karena pertandingan final tidak pernah terlaksana. Caturwulan kedua dengan sistem setengah kompetisi, seperti Piala Dunia. Namun, kelas saya gagal menuju final, pemenangnya adalah kelas 2-7. Kompetisi ketiga menggunakan sistem kompetisi penuh, semua kelas saling bertemu satu sama lain. Dan kelas saya menjadi juaranya.

Hal yang paling menarik dari kompetisi semacam ini adalah atmosfir yang tercipta. Atmosfir persaingan. Setiap pertandingan adalah pertaruhan gengsi kelas atau gengsi pribadi. Maka, tidak mengherankan jika kelas kami kalah, malamnya kami sulit bahkan tidak bisa tidur, saya dan teman-teman saya pernah mengalami ini. Muncul perasaan dendam jika kalah, dan perasaan puas dan bangga jika kalah. Apa yang ada dalam pikiran kami adalah bagaimana memenangkan pertandingan, tidak peduli nilai-nilai kami berantakan, yang penting jangan kalah dalam kompetisi. Itu adalah sebuah harga mutlak bagi kami. Entah apa yang merasuki kami, yang jelas kami benar-benar ke-edan-an sepak bola melebihi apa pun. Gara-gara sepak bola juga, kami selalu menjadi anak-anak yang paling lama berada di sekolah, tidak jarang baru pulang menjelang tengah malam. :))

Dari seringnya interaksi di lapangan, pada akhirnya membentuk sebuah komunitas yang kuat dan solid. Bahkan, setelah hampir 7 tahun lulus dari SMAN 3, silaturahmi diantara kami masih terjalin dengan sangat baik. Termasuk dengan sahabat-sahabat wanita kami yang kadang-kadang disebut 'Cheerleader'. Padahal, mereka hanya penonton dan penunggu 'setia' ketika kami bermain sepak bola, meskipun sesekali juga jadi 'setan' karena meminta kami untuk jangan main sepak bola melulu.

S 3 k 3 l 0 4. 200607. 10.47

Labels: ,

Posted by Donny @ 10:43 AM

Ada 4 orang yang cuap-cuap :

At 25 June, 2007 06:08, Blogger anugerah perdana said...

laki-laki selalu memiliki logika tersendiri dalam mengartikan "kemenangan"

oh, dulu teh kang donny budak pinter toh, asa teu percaya

hehehe...

 

At 25 June, 2007 22:22, Anonymous Anonymous said...

dulu sih...:p sekarang mah asa kieu, males meureun nya? ;))

 

At 29 June, 2007 16:10, Blogger Agus.Setiawan said...

memori kala kita muda dahulu... dimana pedekate ama adek kelas sedang merajalela :-P

 

At 04 November, 2007 13:14, Blogger denisrahadian said...

Perasaan Kang Donny engga dateng deh.. anak 2000 yang dateng cuman sedikit..

 

Post a Comment

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza