My Photo
Name:
Location: Bdg, Bgr, Jawa Barat, Indonesia

Posted At Tuesday, July 17, 2007

Belajar dari Ilalang
Jika perjuangan yang kita hadapi dapat kita ibaratkan membabat ilalang ribuan hektar, sedangkan kita hanya punya sebilah pisau, lakukanlah itu! Jangan menunggu engkau punya traktor. Gunakanlah pisau itu sebaik-baiknya dan tunjukkanlah kepada Allah bahwa engkau sungguh-sungguh dalam bekerja. Mungkin, ketika engkau membabat ilalang dengan pisau seperti itu, hasilnya hanya beberapa meter dalam sehari. Engkau babat depannya, lusa ilalang di belakangmu tumbuh kembali. Engkau babat yang belakang, yang depan tumbuh pula. Lalu, ketika engkau babat yang kiri, yang di sebelah kanan merimbun lagi, dan jika engkau babat yang kanan, yang kiri tumbuh menjadi. Namun, apa pun hasilnya, kerjakanlah! Sebab, saat itu, Allah yang Maha Tahu sedang melihatmu. Jika Dia melihatmu bersungguh-sungguh menggunakan pisaumu, esok atau lusa, Dia akan memberimu golok. Gunakanlah golokmu sebaik-baiknya, dan bersungguh-sungguhlah dalam bekerja. Sebab, jika engkau sudah pandai menggunakan golok, kapan-kapan Allah akan memberimu traktor. Jika sudah begitu, apa yang tidak dapat kamu lakukan?


Kutipan di atas saya dapatkan dari buku Pelangi Islami 1, terbitan Khazanah Intelektual, yang merupakan kumpulan artikel dari Dr. Afif Muhammad, MA. Judul tulisan ini pun sengaja saya ambil dari judul yang sama dengan salah satu artikel tersebut. Beliau pun mengutipnya dari 'Allamah Abul A'la Maududi, salah seorang ulama terdahulu. Bukan tanpa alasan saya mengutip nasihat tersebut. Sejujurnya, saya merasa nasihat itu ditujukan kepada saya secara langsung. Nasihat semacam ini, sekali lagi, berhasil 'menampar' secara telak untuk menyadarkan saya agar tidak selalu mengeluh dalam bekerja.

Seringkali, dalam melakukan sesuatu, muncul bermacam pikiran yang 'mengeluhkan' kondisi saat ini.
"Ah, andai aku punya laptop, mungkin kerjaku akan maksimal..."
"Kalau gua punya kamera DSLR, gua yakin foto-foto yang gua ambil bakalan lebih bagus..."
"Gara-gara nggak punya motor nih...gua kejebak macet melulu, jadi aja telat terus..."
Dan bermacam-macam 'keluhan' sejenis. Padahal, ketika kemudian apa yang kita inginkan itu kita miliki, seringkali tidak mengubah keadaan. Kalaupun ada, tidak banyak, karena permasalahan yang sebenarnya adalah mental kita.

Dalam salah satu ceramahnya, Ustadz Dudi Muttaqien pernah mendefinisikan tentang rasa syukur. Orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang menerima atau ridha dengan apa yang dimilikinya, dan menggunakannya secara optimal. Dengan mengoptimalkan apa yang ada, diharapkan akan memberikan manfaat bagi dirinya, keluarganya dan syukur-syukur bisa untuk orang lain. Itulah yang kemudian disebut dengan barakah. Betapa agungnya nilai rasa syukur, sehingga Islam menempatkan syukur sebagai salah satu pintu masuk ke dalam surga. Dan satu lagi pintu bagi orang-orang yang bersabar. Sepemahaman saya, syukur dan sabar merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika sikap sabar membentuk orang-orang yang selalu bersemangat dan pantang menyerah dalam hidup, maka sikap syukur akan membentuk orang-orang yang selalu ridha dengan hasil akhir yang didapatkan, baik atau pun buruk hasil usahanya tersebut. Kedua sikap inilah yang kurang muncul dalam diri kita pada umumnya, terutama di Indonesia. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa barakah-nya sesuatu (ilmu, uang atau harta benda) berbanding lurus dengan sikap sabar dan rasa syukur.

Kutipan di atas pun secara tidak langsung menasehati kita untuk selalu bersabar dan bersyukur. Kita punya pisau, syukurilah itu! Kita punya komputer, syukurilah! Kita punya motor, syukurilah! Gunakanlah sebaik-baiknya untuk membantu pekerjaanmu, kemudian bersabarlah dengan apa yang kamu kerjakan! Suatu saat, mungkin ada orang yang melihat baiknya pekerjaan yang kita lakukan dan 'jatuh cinta' pada karya kita, sehingga tidak segan-segan untuk 'menghargai' kita atau karya kita dengan 'bayaran' yang tinggi. Bukan tidak mungkin pada akhirnya kita memiliki golok, laptop atau mobil, bahkan ketiga-tiganya sekaligus. Semuanya berawal dari sikap sabar dan syukur yang tertanam dalam diri kita. Inilah sikap mental yang wajib kita miliki, karena dengan kedua sikap inilah kita bisa survive.

Namun, bukan pula hal yang mudah untuk menjadikan sabar dan syukur sebagai karakter diri kita. Perlu latihan yang terus menerus, dan kita pun dituntut untuk sabar dengan latihan tersebut. Memang luar biasa perjuangan untuk bisa 'berhasil' dalam hidup, dan sedikit yang bisa bertahan dalam tempaan kehidupan, karenanya hanya sedikit orang yang benar-benar bisa disebut 'berhasil' dalam hidupnya. Dan saya selalu berusaha untuk menjadi bagian dari orang-orang yang sedikit itu.

Terus terang saja, saya 'terlambat' memahami syukur dan sabar. Saya benar-benar disadarkan atas pentingnya rasa syukur setelah memutuskan resign dari pekerjaan saya dahulu. Akan tetapi, karenanya saya juga mendapatkan pelajaran tentang kesabaran dari orang-orang yang berinteraksi dengan saya belakangan ini. Dan kini, tibalah pada bagian terberat dari semuanya...menghayati. Hayat berarti hidup, menghayati berarti menghidupkan. Dan menghidupkan, bukan hanya 'memikirkan' atau 'menangkap' makna yang terkandung di dalamnya...tapi melakukannya, mengamalkan, implementasi, aksi. Sebab tanpa aksi, apa yang bisa kita buktikan?

S 3 K 3 L 0 4. 170707. 3:08.

Tulisan sejenis : Istiqamah Kuadrat

Labels: ,

Posted by Donny @ 3:17 PM

Ada 0 orang yang cuap-cuap :

Post a Comment

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza