My Photo
Name:
Location: Bdg, Bgr, Jawa Barat, Indonesia

Posted At Saturday, November 24, 2007

Mengaji Yes, Teler OK!

Jika dibandingkan dengan para pengemis dalam tulisan sebelumnya, anak-anak jalanan barangkali lebih baik. Kemiskinan mereka lebih nyata, meskipun saya masih saja sangsi untuk memberi mereka uang. Itu yang saya lihat ketika untuk pertama kalinya saya datang untuk membantu teman-teman mengajari mereka membaca dan menulis di Pasar Ciroyom, Bandung. Karena kegiatan tersebut juga merupakan salah satu program kerja Divisi Dakwah dan Sosial, SSG Cibeunying, tentunya tidak hanya mengajari baca-tulis huruf latin saja, tapi juga mengaji, shalat atau nilai-nilai Islam.

Kondisinya jauh dari yang saya bayangkan daripada sebelum saya datang ke sana. Dalam bayangan saya, kegiatan dilakukan secara klasikal, ada papan tulis, ada kursi…ya, seperti ruangan kelas. Namun, ternyata tidak seperti itu. Kegiatan dilakukan di emperan masjid yang terletak di lantai 3 pasar Ciroyom, tanpa papan tulis, tanpa kursi…dilakukan sambil duduk. Teman-teman saya memang tidak menceritakan kondisi-nya seperti apa, jadi saya membayangkannya seperti itu.

Kegiatan tersebut rencananya akan dilakukan setiap hari Kamis, Jum’at dan Ahad dari pukul 16 - Maghrib. Rencana saya datang hari kamis batal karena tidak memungkinkan untuk tiba di sana sebelum maghrib. Saya datang hari berikutnya, itu pun dengan resiko mengganti shift kerja saya menjadi tengah malam.

Ketika saya datang ke sana, ada sekitar 25 orang anak-anak jalanan, mayoritas laki-laki. Hanya ada 3-4 orang wanita. Dengan range umur dari 7 tahun sampai 19 tahun. Mereka terbagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok ‘mengelilingi’ seorang calon bidadari surga mentor, yang semuanya perempuan. Dua orang adalah teman saya di SSG, yaitu Ayu dan Dewi, satu orang lagi…saya lupa berkenalan. Saya melihat pemandangan yang cukup kontras, meskipun ke-3 teman saya itu tidak dandan berlebihan, tapi sudah bisa menunjukan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup yang cukup jauh. Antara yang terawat dan tidak terawat.

Untungnya, sambutan mereka hangat sekali. Mereka langsung menyalami ketika Dewi memperkenalkan saya. Beberapa bahkan ada yang langsung dekat dengan saya. Kondisi tersebut membuat saya sedikit lebih bisa membuka diri. Saya langsung ditugasi untuk tes mengaji anak-anak tersebut dan membaginya ke dalam beberapa kelompok, berdasarkan buku Iqra. Padahal niat saya tadinya hanya melihat-lihat dulu situasi dan kondisi tempat tersebut. Dari obrolan dengan mereka, saya jadi tahu bahwa mereka pun sebelumnya pernah belajar mengaji. Tapi, sebagian besar lupa lagi karena tidak pernah mengaji lagi.

Ketika sedang melakukan aktivitas itu lah, saya menyadari satu hal. Hampir setiap saat, mereka menutupi hidung mereka dengan baju. Hal ini dilakukan oleh hampir semua anak-anak tersebut. Dan satu lagi yang membuat saya menyadari ada yang salah adalah…bau lem aibon! Oalah, jadi selama ini mereka belajar sambil ngelem. Entah apa yang ada di dalam imajinasi mereka ketika mengaji itu. Saya tidak terlalu mengerti. Dan sepertinya, akan sulit melepaskan mereka dari kebiasaan tersebut. Saya tidak tahu apakah mereka sadar atau tidak, yang jelas saat itu mereka tidak menunjukkan tanda-tanda sedang teler. Semuanya nampak biasa-biasa saja. Dan mereka pun shalat dalam keadaan seperti itu. Terus terang saja, entah karena pengaruh lem aibon itu atau bukan, yang jelas kepala saya terasa panas saat itu, terutama otak bagian belakang. Sementara teman-teman wanita saya itu tampak biasa-biasa saja, salut saya pada mereka.

Jika dibandingkan dengan saya, ketiga wanita tersebut nampak lebih mampu menangani anak-anak itu. Entahlah, barangkali karena jiwa keibuan mereka atau karena mereka sudah terlatih untuk menangani anak-anak. Sementara saya jarang sekali berhubungan dengan anak-anak dalam situasi semacam itu, apalagi anak-anak jalanan. Rasanya susah sekali mengatur mereka, tapi kepada teman-teman saya kok nurut-nurut saja.

Kotor sekali. Barangkali mereka berhari-hari tidak mandi, dan pakaian yang digunakan pun itu-itu saja. Kecuali anak-anak wanitanya yang terlihat lebih bersih. Ada yang berdandan ala punk, tapi sebagian besar rambut mereka berwarna kemerahan karena kurang gizi atau terlalu sering terkena matahari.

Atas saran dari Ayu, saya juga membawa makanan. Saya membawa 2 paket kue bolu yang harus dipotong-potong lagi. Alasan saya waktu itu karena tidak tahu pasti jumlah anak-anak yang ada di sana. Kalau jumlahnya sedikit, anak-anak itu akan kebagian kue bolu lebih banyak dan sebaliknya. Tadinya mau bawa kwaci atau sukro saja 2 bungkus yang kalau dibagikan pada 100 orang pun pasti kebagian :D

Lucu sekali memperhatikan mereka mengikut kemana kue itu pergi. Bahkan ketika saya diminta Dewi untuk memberikan nasihat atau cerita, mereka malah mengikuti Dewi dan meninggalkan saya sendirian, karena kue itu saya berikan kepada Dewi untuk dibagikan. Saya pun sempat tertawa-tawa melihatnya. Konon mereka selalu berebutan kalau dibagikan makanan, semuanya ingin mendapatkan yang pertama. Padahal sudah berkali-kali juga kami mengatakan bahwa mereka semua akan kebagian.

Setelah membagi-bagikan makanan, kegiatan pun berakhir. Kami saling janji untuk datang lagi pada hari minggu. Saya sendiri tidak tahu pasti apakah hari itu bisa datang atau tidak. Hanya saja, sepanjang jalan pulang, yang saya pikirkan adalah bagaimana caranya menghentikan kebiasaan ngelem anak-anak tersebut. Saya tidak tahu pasti pendekatan seperti apa yang harus digunakan, karena belum pernah punya pengalaman seperti ini. Kepikiran sama saya untuk bercerita seperti ini…

Donny : “Barudak, ada beberapa hal yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan seumur hidup, yaitu : Pertama, ngelem. Kedua, ngelem. Ketiga, ngelem. Keempat dan seterusnya, ngelem. Jadi, masih ada yang mau ngelem??

AAJ : “Saya…!“, sambil ngacung, serentak.

Donny : *SIGH*

C 1 H 3 U L 4 17 6. 241107. 03.30

Labels: ,

Posted by Donny @ 3:33 AM

Ada 0 orang yang cuap-cuap :

Post a Comment

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza