My Photo
Name:
Location: Bdg, Bgr, Jawa Barat, Indonesia

Posted At Monday, December 10, 2007

Mitos Sialan

Ah, masih saja terjadi. Di zaman internet sudah menjadi sebuah kebutuhan seperti sekarang ini, sebuah pernikahan harus ditentukan oleh ‘hitung-hitungan’ sang kyai dukun. Meskipun katanya seorang kyai, saya lebih suka menyebutnya dukun.

Pagi ini teman saya uring-uringan. Hubungan yang sudah terbina cukup lama dengan sang calon, terancam gagal gara-gara setelah bertanya pada sang dukun, kedua nama mereka dalam hitungan sang dukun tersebut tidak baik jika disandingkan. Jadilah teman saya tersebut hampir putus asa. Dia merasa, sama saja bohong usaha selama ini, kalau pada akhirnya harus ditentukan oleh hitung-hitungan tidak logis semacam itu. Kenapa tidak sejak pertama saja? Ya, saya memahami kegelisahan dan kemarahannya.

Sebagai seorang teman yang dimintai saran dan pertimbangan, saya pun memberikan beberapa saran dan pandangan saya soal masalah tersebut. Memang mengkhawatirkan dan menggelikan masalah semacam itu. Sampai saya harus mengatakan, “bilang saja sama dia, kamu dan keluarga juga sudah melakukan perhitungan, tapi hasilnya baik-baik saja, nggak ada masalah. Jadi, yang goblok kyai-nya siapa kalau begitu? Mesti salah satu yang bener. Kalau nggak, berarti dua-duanya goblok!“ Teman saya sampai tertawa dan malah meng-iya-kan saran saya tersebut.

Lebih mengkhawatirkan lagi setelah mengetahui latar belakang keluarga calon teman saya itu. Sang calon sendiri seorang sarjana, kakaknya seorang Guru Besar di sebuah Universitas Negeri di Kota Bandung. Keluarganya golongan berada. Ini tentu sebuah ironi atau bahkan tragedi. Hasil pendidikan bertahun-tahun tidak menjadikan pikirannya rasional. Namun, realita juga membuktikan, banyak sarjana, master dan doktor yang masih saja percaya dukun dari pada percaya diri. Sayang sekali. Bagaimana Indonesia bisa maju ya?

Akan tetapi, status kyai yang disandang sang dukun membuat saya lebih merasa khawatir lagi. Konon sang dukun juga punya pesantren. “Jangan-jangan santrinya juga tukang hitung-hitungan ya?“, seru teman saya dan bikin kami berdua terbahak-bahak. Seorang kyai yang semestinya mengajarkan kelurusan aqidah malah mengajarkan sebuah kesesatan dan menjadi panutan pula. Dan kita bisa mendapati orang-orang semacam ini dengan sangat mudah di sekitar kita.

Sejak kecil, Alhamdulillah, saya dianugerahi pikiran yang rasional. Sehingga sering saya merasa heran, kenapa orang-orang harus datang ke dukun? Kenapa adik tidak boleh mendahului kakaknya kalau menikah? Kenapa kalau salah satu keluarga saya mengadakan pesta rumahnya selalu bau kemenyan? Kenapa juga harus ada hari baik dan tidak baik? Kenapa harus ada tahlilan? Atau bahkan soal mitos-mitos yang beredar di masyarakat. Pada akhirnya, saya tumbuh jadi pemberontak terhadap hal-hal semacam itu.

Meskipun sebagian mitos tersebut membawa ajaran Islam, namun ternyata Islam yang saya pelajari tidak pernah mengajarkan hal-hal semacam itu. Islam yang saya pelajari adalah Islam yang rasional. Soal pernikahan saja, Islam mengajarkan untuk menyegerakan jika dirasa sudah mampu. Tidak menjadi soal apakah ketika menikah kakaknya didahului atau tidak. Jika pernikahan itu sebuah ibadah, masa iya sebuah ibadah harus dihalang-halangi gara-gara sesuatu hal yang konyol dan tidak terbukti kebenarannya? Bahkan, saya sering sekali mengutip ucapan seorang ustadz, “lahir sih boleh kakak duluan, tapi kalo soal jodoh juga harus kakak duluan, berarti mati juga harus kakak duluan dong…

Soal larangan mendahului kakak ini, saya menyaksikan betapa salah seorang teman perempuan saya sangat tersiksa gara-gara sang pacar belum juga mau melamar karena kakak perempuannya belum menikah. Sialnya, sang kakak ini juga tidak tahu diri, dia terus saja mencari calon yang dirasa cocok dan tidak mengijinkan adiknya untuk mendahului. Ditambah lagi dengan pola pikir keluarganya yang ‘kolot’, semakin lengkaplah penderitaan teman saya ini. Akhirnya, putus juga. Kadang-kadang saya senewen sendiri mendengar kasus-kasus semacam ini.

Belum lagi soal perhitungan hari baik yang ternyata hasil perhitungannya pun menggelikan. Bagaimana tidak menggelikan juga suatu pesta pernikahan diadakan di hari kerja? Konon jika menikah di hari yang ditentukan itu, sebuah pernikahan akan langgeng dan membawa kebahagiaan. Ini tentunya merepotkan undangan dan keluarga pengantin sendiri karena bukan waktu yang tepat. Bagi saya, semua hari berpotensi untuk memiliki kebaikan. Rumus hari pernikahan bagi saya dan beberapa orang teman adalah…”adakan pernikahan di hari sabtu/minggu, dan di awal bulan!” Karena awal bulan adalah saat-saat gajian, dan kalau pun harus menyumbang, tidak dirasa memberatkan.

Kebanyakan anak-anak muda sekarang mungkin sudah tidak lagi peduli dan memikirkan hal-hal semacam ini. Akan tetapi, generasi orang tua masih sangat banyak yang menganggap hal semacam ini penting. Untungnya orang tua saya tidak seperti itu. Perlu diakui, masih agak sulit melepas mitos-mitos semacam itu. Indonesia adalah sebuah negara yang kebudayaannya sebagian besar dibangun oleh mitos. Maka, hampir di setiap tempat di seluruh Indonesia, kita mendapati mitos daerahnya sendiri-sendiri. Saya sendiri sering merasa khawatir jika suatu saat dipertemukan dengan calon mertua yang seperti itu. Saya hanya merasa khawatir tidak mampu bersikap bijaksana, itu saja.

Hidup ini terlalu serba tidak pasti untuk diramal. Toh, kyai, paranormal atau pun dukun-dukun itu pun belum tentu berbahagia dengan hidupnya. Belum tentu juga dia bisa meramalkan nasibnya sendiri, apalagi nasib orang lain. Masa iya kita harus percaya pada mereka yang tidak tahu menahu tentang nasibnya sendiri?

C 1 H 3 U L 4 17 6. 101207. 03.08

NB: Agak kurang sreg dengan judulnya :D

Labels: , ,

Posted by Donny @ 4:32 AM

Ada 1 orang yang cuap-cuap :

At 10 December, 2007 09:22, Blogger Nurul Wibawa Cahya Buana said...

di keluarga saya, tidak ada yang pakai hitung2an seperti itu mas. termasuk pernikahan saya. yang penting ambil hari dimana liburnya berjejer, ya udah tanggal itu ;-)

 

Post a Comment

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza