Psycho Avatar

Posted At Tuesday, January 30, 2007

Cinta, Keimanan dan Kemerdekaan
Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S. At-Taubah:24)

Sengaja saya memuat kutipan dari Al-Quran, Surat At-Taubah Ayat 24 di awal tulisan ini karena saya akan menulis tentang hubungan antara Cinta, Keimanan dan Kemerdekaan. Saya tidak sedang mencoba untuk menafsirkan ayat tersebut, karena belum memiliki kapasitas untuk itu. Saya hanya menjadikan ayat tersebut sebagai suatu pedoman dan juga sebagai pengingat bagi siapapun yang membaca tulisan ini. Dan maaf-maaf saja jika dalam tulisan ini mungkin terkesan absurd, saya hanya ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikiran saya beberapa minggu terakhir.

Selama ini kata cinta seolah menjadi sebuah 'misteri', tidak pernah ada definisi yang pasti tentang cinta. "Cinta tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, cinta hanya bisa dirasakan." begitu katanya. Ada juga yang berkata, "Cinta itu buta!" dimana kalimat ini seringkali diungkapkan saat merujuk kepada kejadian-kejadian 'ganjil', contoh : Anak SMU yang jatuh cinta kepada gurunya, cinta lintas Agama atau cinta lintas etnis. Pada beberapa kasus misalnya merujuk kepada kejadian dimana seorang laki-laki yang 'superior' bisa jatuh cinta kepada wanita yang 'di bawah standar' cantik dan dalam banyak hal di bawah standar juga, atau sebaliknya. Memang cinta tidak sesempit itu, hanya cinta lawan jenis, kita juga bisa mencintai barang, harta atau apa pun. Ada juga yang mencintai hujan, pada matahari, mencintai laut meskipun cinta seperti ini biasanya hanya 'pelengkap hidup' saja.

Namun, Islam mengajarkan untuk lebih mencintai Allah dan RasulNya melebihi apa pun yang ada di muka bumi ini. Inilah yang saya maksud dengan "terkesan absurd" pada awal-awal tulisan. Adalah sesuatu yang sulit kita pahami, jika seumur hidup kita tidak pernah melihat Allah atau RasulNya, lantas kita dituntut untuk bisa dan diharuskan untuk mencintai Allah dan RasulNya melebihi apa pun yang terlihat oleh mata kita. Kita hanya tahu tentang Allah, tentang RasulNya dari kitab-kitab "klasik", atau cerita turun-temurun dari orang tua, guru dan orang-orang di sekitar kita. Mungkin, pada titik itu, kita belum bisa meyakini bahwa Allah dan RasulNya memang ada atau pernah ada. Kita mungkin berpikir, bisa saja itu hanyalah dongeng-dongeng dari zaman nenek moyang. Namanya dongeng, belum tentu ada dan nyata, bisa jadi itu hanya karangan seorang penulis saja yang kemudian menjadi fenomenal dan digandrungi, lantas dicetak berulang kali agar karya itu tetap abadi.

Hampir seluruh bagian tubuh kita hanya menginderai sesuatu yang "ada", maka berbicara tentang Allah, surga dan neraka, alam gaib, jin, malaikat dan Rasul-rasul yang "tidak ada", untuk sebagian di antara kita adalah suatu omong kosong. Mempercayai apalagi meyakini sesuatu yang "tidak ada" hanya buang-buang waktu saja. Mempercayai kitab seperti Al-Quran yang "ada", tapi berasal dari sesuatu yang "tidak ada" adalah hal yang sulit dimengerti. Namun, justru disitulah inti permasalahannya. Sesuatu yang "tidak ada" itu adalah kunci dari seluruh doktrin agama-agama. Bahwa sesuatu yang "tidak ada" itu sebetulnya ada, dan jalan masuk satu-satunya adalah kematian, maka ketika kita hidup untuk yang kedua kalinya, kita bisa melihat sesuatu yang saat ini "tidak ada", bahkan tidak hanya melihat, tapi juga merasakan dan menyentuhnya. Dalam hal ini, setahu saya, Islam adalah agama yang paling ketat dan tegas karena menyangkut pondasi "keberadaan" Islam. Tidak bisa dikatakan muslim mereka yang tidak mempercayai Allah, RasulNya, KitabNya, Malaikat dan Alam Gaib. Mempercayai terlebih meyakini yang "tidak ada" itulah yang kemudian disebut dengan KEIMANAN. Bagi mereka yang memiliki keimanan, pikiran-pikiran yang menggugat "keberadaan" Allah, misalnya, tidak bisa ditolerir, bahkan harus dibuang dan dikubur dari pikiran kita. Bagi orang-orang beriman, Allah itu ada, Malaikat itu ada dan Al-Quran memang berasal dari Allah.

Dalam Islam, keimanan membawa tuntutan dan konsekuensi lain. Seorang beriman harus beribadah, harus melaksanakan perintah Allah betapapun beratnya atau bahkan kita membencinya, harus meninggalkan sesuatu yang Allah haramkan betapapun kita menyukainya. Hanya satu kata yang harus dilakukan seorang beriman : TAAT! Tidak peduli betapa sakitnya perasaan kita, tidak peduli badan kita terluka parah atau bahkan mati sekalipun, tidak peduli pikiran kita tidak bisa memahaminya sedikitpun, kita hanya boleh taat, tanpa tanya dan tanpa bantahan sama sekali. Keimanan tidak pernah memberikan peluang kepada perasaan dan pikiran kita untuk berperan besar dalam sebuah pengambilan keputusan. Tidak sedikitpun diperbolehkan. Maka, ketika Allah mengharamkan Babi bagi umat Islam, kita wajib menaatinya tanpa tanya. Haram, Ya Haram! Titik. Suka-suka Allah mengatur umatNya. Entah itu ada cacing pita atau tidak, kotor atau tidak, berbahaya atau tidak daging babi tersebut, selamanya haram. Jika kemudian diketahui dampak-dampak negatif dari mengkonsumsi daging babi, itu hanyalah tabir rahasia yang Allah buka kepada umat manusia. Suatu saat dampak-dampak negatif itu bisa saja direduksi bahkan tidak ada dampak negatif sekalipun, tapi daging babi itu tidak berubah menjadi halal, tetap saja haram.

Saya bahkan seringkali cukup ekstrim menjelaskan tentang keimanan. Katakanlah dalam Al-Quran ada perintah untuk loncat ke jurang bagi mereka yang berusia 40 tahun agar bisa masuk surga, sementara neraka bagi mereka yang tidak loncat, mana yang akan kita pilih, loncat atau tidak? Sementara pada saat itu, misalnya, anak sedang lucu-lucunya, bisnis sedang sukses atau kesenangan lain di dunia sedang mulai kita rasakan. Pada saat itu, keputusan yang kita ambil menunjukkan kadar keimanan kita. Setiap orang beriman, akan taat pada perintah tersebut, meskipun dengan berat hati. Namun, itulah konsekuensi keimanan, tanpa kompromi sama sekali. Kita hanya diberikan pilihan untuk taat atau tidak.

Jika kita belajar dari Al-Quran tentang ketaatan umat-umat terdahulu kepada Allah, kita pasti akan mengerutkan kening karena tidak percaya ada hal-hal semacam itu. Lihatlah Nabi Ibrahim yang tanpa takut menjalankan hukuman dibakar oleh Raja Namrud, atau ketika Ibrahim meninggalkan Istri dan anaknya di padang pasir tandus dan tanpa penghuni, atau ketika Ibrahim menyembelih Ismail. Kita juga bisa belajar dari kaum Nabi Musa yang Allah perintahkan untuk bunuh diri jika ingin tobatnya diterima Allah. Perhatikan juga ketika Nabi Nuh diolok-olok kaumnya sebagai orang gila pada saat membuat perahu, bahkan menyaksikan anaknya tenggelam. Nabi Luth yang meninggalkan istrinya seorang diri bersama kaumnya untuk kemudian istri dan kaum Luth merasakan sebuah hukuman. Semuanya dilakukan demi untuk mengikuti perintah Allah. Adakah perasaan berperan ketika mereka melakukan hal tersebut? Sama sekali tidak. Mereka hanya taat dan melakukan hal-hal tersebut tanpa bertanya atau membantah, padahal kita tahu hal-hal tersebut sangat berat. Perasaan boleh saja sedih, sakit hati, berat hati atau bahkan kecewa dengan perintah Allah tersebut, tapi mereka tidak mengikuti perasaan mereka, sehingga pada akhirnya mereka bisa melakukan hal tersebut. Itu semua dilakukan dengan landasan keimanan, dan pada akhirnya, keimanan yang sesungguhnya menghadirkan cinta kepada Allah. Dan perintah-perintah Allah kepada umat terdahulu, sebetulnya bermuara kepada satu hal, ujian kecintaan mereka kepada Allah. Dan mereka berhasil melalui ujian tersebut.

Sesungguhnya pula apa yang terjadi dalam hidup kita, menurut ajaran Islam, adalah ujian kecintaan kita kepada Allah. Nampak absurd bukan? Namun, itulah kenyataan sesungguhnya. Kesedihan, kebahagiaan, kelapangan, kesempitan, kekayaan, kemiskinan dan kesehatan, istri/suami, anak-anak dan harta benda, itu adalah ujian kecintaan kepada Allah. Namun, jika dibandingkan dengan kaum terdahulu, ujian pada umat Islam sekarang sebenarnya lebih 'ringan'. Tidak ada perintah untuk menyembelih anak atau meninggalkan anak istri. Namun, apapun bentuk ujiannya, bagi mereka yang kecintaan kepada Allah dan RasulNya melebihi apa pun yang ada di jagad raya, ujian seberat apa pun tidak akan dirasakan 'berat', namun justru mereka akan bersabar atau bersyukur dengan ujian tersebut, bahkan menambah rasa cintanya kepada Allah. Perintah-perintah dan laranganNya akan selalu ditaati. Maka, sejatinya, keimanan yang sesungguhnya menciptakan manusia-manusia yang merdeka. Orang-orang beriman tidak akan khawatir miskin dengan berzakat, infaq atau shadaqah. Tidak pula mereka takut untuk mengatakan kebenaran. Ongkos haji tidak akan terasa berat, bahkan kegiatan berhaji pun menjadi menyenangkan. Pergi ke medan jihad bukanlah hal yang berat. Berjilbab dilakukan dengan senang hati tanpa perlu berpikir lagi. Tidak perlu takut menikah. Bahkan, 'berbagi suami' pun sebetulnya bukanlah hal yang teramat berat, jika kecintaan kepada Allah dan RasulNya lebih daripada kecintaan kepada suaminya. Itulah sebabnya, saya tetap berpendapat bahwa sebetulnya poligami adalah ujian keimanan dan kecintaan kepada Allah.

Atas dasar keimanan pula, saya berani mengatakan bahwa sebenarnya "Cinta itu tidak buta!". Ada kaidah-kaidah untuk mencintai, dan dalam kaidah tersebut, perasaan ditaruh di daftar terakhir. Sebab ketika perasaan diberikan kesempatan untuk lebih dulu menguasai, maka yang terjadi adalah apa yang selama ini kita katakan "Cinta itu buta!". Lebih dari itu adalah perasaan menderita karena cinta. Bagaimana tidak menderita jika dengan cinta semacam itu malah mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dan satu hal lagi, perasaan seringkali salah, pada banyak kasus perasaan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kita merasa benar, padahal salah, dan juga sebaliknya. Dan kaidah-kaidah tersebut berasal dari Allah dan RasulNya.

Maka, agar cinta itu tidak lagi buta, kita harus mencintai dengan ilmu. Maksudnya? Kenali apa yang boleh kita cintai, apa yang tidak. Siapa yang berhak kita cinta, siapa yang tidak. Kapan kita boleh mencintai, dan kapan kita tidak boleh. Islam mengajarkan untuk mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Kalimat ini menyatkan bahwa, apa-apa yang Allah cintai, maka kita berhak bahkan wajib untuk mencintainya. Apa-apa yang Allah benci, kita wajib untuk membencinya. Oleh karena itu, kasus-kasus yang menimpa mereka yang kebingungan karena memiliki 'calon' yang berbeda agama, tidak perlu terjadi jika memegang kaidah ini. Bagaimana mungkin orang-orang yang mencintai Allah pada saat yang sama juga mencintai sesuatu yang Allah benci? Jika kita sudah tahu siapa dan kapan kita boleh mencintai, maka pada saat itulah perasaan dilibatkan. Itulah sebabnya, pada banyak kasus pernikahan kader-kader dakwah yang saya temui, dimana mereka menikah dengan pasangannya tanpa pernah kenal sebelumnya, bisa berjalan harmonis dan romantis.

Memang benar, jika merujuk kepada perasaan kita, keimanan adakalanya terasa kejam karena seringkali melewati batas-batas kemanusiaan kita. Karena itulah, hasil dari tempaan keimanan adalah orang-orang yang merdeka dan kuat, meskipun kualitasnya tidak sampai derajat para Nabi. Merdeka dari perasaan takut kehilangan, karena dengan keimanan seseorang ditempa untuk memahami bahwa sesungguhnya apa yang ada di dunia ini tidak pernah menjadi milik kita, hanya sekedar titipan. Oleh sebab itu, sesungguhnya kita tidak pernah memiliki hak untuk menangis dan bersedih ketika Sang Pemilik mengambil titipan atau bahkan membagi titipan itu dengan orang lain. Selain itu juga merdeka dari perasaan untuk mencintai sesuatu secara berlebih, karena toh pada akhirnya semua itu akan hilang. Dan terakhir, Kuat, karena hasil tempaan dari keimanan adalah orang-orang yang sanggup mengendalikan perasaannya ketika saatnya ujian kecintaan itu tiba, sehingga dia sanggup untuk tetap berfikir jernih, jujur dan objektif. Sehingga, tidak ada ceritanya seorang yang beriman mencaci-maki atau menghina dan mengatakan bahwa Allah tidak adil ketika ujian itu datang, malah mereka seringkali bersyukur dan semakin bertambah keimanan dan kecintaannya kepada Allah. Lantas, apa kabar dengan keimanan kita?

Sebagai penutup, saya tuliskan kutipan dari Kuntowijoyo, dalam bukunya yang berjudul Maklumat Sastra Profetik :
Memang, Tuhan dalam konsep kaffah itu Maha Kuasa, tapi Kemahakuasaan Tuhan itu adalah hak-Nya sebagai Al-Khaliq (Pencipta). Juga perlu diingat bahwa kekuasaan Tuhan itu tidak seperti kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan membebaskan, kekuasaan manusia mengikat. Kekuasaan yang memerdekakan, ikatan yang membebaskan. Sebuah kebenaran paradoksal!

S3K3L04. Di penghujung Januari, 2007. 18:43.

Posted At Tuesday, January 09, 2007

Segelas Teh Hangat
Bagi saya, seringkali hal-hal yang bisa membuat saya bahagia bukanlah hal-hal besar yang pernah saya lakukan. Namun, hal-hal kecil yang sebetulnya hanya sebuah kebiasaan saja, yang jika cukup lama saya tidak melakukan hal tersebut, saya merasakan sebuah 'kerinduan'. Dulu, ketika awal-awal kuliah, dimana sebagian besar jadwal kuliah saya adalah pagi hari, adalah sebuah kenikmatan tiada tara pada saat saya bisa dan sempat menikmati segelas teh manis hangat buatan sendiri. Kenikmatan tersebut sulit untuk diceritakan, yang jelas dada saya terasa lega, kepala saya terasa ringan, dan badan saya terasa hangat sekujur tubuh. Sebuah orgasm? Entahlah. Apalagi Bandung saat itu sangat dingin, yang ternyata beberapa tahun kemudian, dinginnya Bandung itu sangat saya rindukan juga. Termasuk sekarang ketika saya tinggal di Bandung lagi. Dan karena kebiasaan buruk saya juga, bangun pagi menjadi sesuatu yang 'mahal' sekarang. Hal ini dikarenakan pola tidur yang tidak teratur, ada kalanya orang lain baru terbangun, saya baru akan tidur. Jikalah bukan karena adzan shubuh atau matahari terbit, saya mungkin tidak akan sadar kalau hari sudah pagi dan belum tidur.

Dengan segelas teh manis hangat, sejenak saya bisa merasakan indahnya hidup yang memang harus saya syukuri. Teh hangat, entah manis atau tidak, selalu saya nikmati. Saya adalah pecinta teh, meskipun saya tidak pernah peduli jenis teh apa yang saya minum. Jika dilakukan prosentase, 70% cairan yang masuk ke dalam tubuh saya adalah air teh, 20% air putih, 5% jus buah, dan sisanya 'racun' dari berbagai jenis minuman kemasan. Dari 70% teh yang masuk ke dalam tubuh saya, bisa dikatakan 50% adalah teh dalam botol (ketebak kalee...biar gk terlalu 'ngiklan'). Artinya, seumur hidup saya, teh dalam botol tersebut sudah menjadi minuman primer buat saya, mengalahkan air putih yang katanya menyehatkan. Konon, ketika kecil, paman saya lah yang mengenalkan saya dengan teh dalam botol tersebut dan membuat saya ketagihan. Sehingga, ketika bayi-bayi lain minum ASI, saya menggantinya dengan teh dalam botol. Sebab, jatah ASI saya yang seharusnya 2 tahun, diserobot adik perempuan saya yang lahir satu setengah tahun setelah kelahiran saya. Oleh sebab itu, saya tidak suka minum susu. Dan pemilik warung-warung di sekitar rumah saya ketika kecil, sangat mengenal saya karena rajin minum teh dalam botol di warung-warung tersebut. Makanya, ketika 2 minggu yang lalu saya mengikuti sebuah diksar relawan di Ranca Upas, Ciwidey, dimana kondisinya saat itu saya sempat tidak minum selama sehari semalam karena memang kurang air, yang paling saya rindukan adalah teh dalam botol tersebut. Melebihi kerinduan saya terhadap apapun. Maka, ketika saya kembali ke Bandung, yang pertama kali saya cari adalah teh dalam botol tersebut. Dan ketika melampiaskan 'kerinduan' tersebut...Hmm...Nikmat.

Terkait teh dalam botol tersebut, saat ini saya benar-benar tidak terlalu memedulikan efek samping yang akan saya terima kelak, mudah-mudahan tidak ada, dan saya sangat berharap sekali untuk itu. Alhamdulillah, sampai saat ini, saya tidak pernah -dan semoga selamanya tidak akan- merasakan sakit atau menderita penyakit yang diakibatkan oleh kebiasaan tersebut.

Sebelum menjadi anak kost, ibu saya di rumah selalu membuatkan air teh dalam teko, khusus buat saya. Keluarga saya yang lain tidak terlalu 'fanatik' dengan air teh. Setiap hari yang saya minum adalah air teh tersebut. Jenis teh yang saya sukai justru jenis teh yang tidak terlalu terkenal atau saya temukan di pasaran dan jarang sekali saya rasakan. Saya sendiri tidak pernah mencari tahu jenis atau merk dagang teh tersebut, karena tidak pernah meracik air teh sendiri. Namun, saya sering merasakan teh tersebut jika saya pulang kampung ke Garut atau Sumedang saat lebaran. Dalam suatu kesempatan, saya menikmati lagi teh tersebut ketika ibu-ibu pemetik teh yang kami jumpai di Ranca Upas, memberikan perbekalan minumnya kepada kami yang saat itu berjalan kaki menuju lokasi perkemahan yang harus kami tempuh selama 2 jam. Terakhir kali, saya merasakan lagi teh tersebut di sebuah rumah makan di Kebon Kalapa, Bandung. Segelas teh hangat, benar-benar saya nikmati. Saya pikir, biar saja saya tidak perlu tahu jenis teh tersebut. Biar saja saya jarang menikmati teh tersebut. Agar ketika saatnya bertemu, saya bisa menikmati dan melepaskan rasa 'rindu' saya pada teh tersebut. Sebab kalau saya terlalu sering minum teh tersebut, bosan juga kan?

Saya paling menikmati minum teh setelah makan. Sulit menggambarkan kenikmatan tersebut. Mungkin sama nikmatnya dengan mereka yang merokok setelah makan? Sayangnya jarang sekali saya temui rumah makan yang menyediakan teh hangat tanpa harus membayar lebih. Meskipun dalam beberapa kesempatan saya membaca dan mendengar bahwa sebenarnya tidak baik minum teh setelah makan. Konon, ada suatu zat dalam teh yang bisa menyerap gizi-gizi dari makanan yang masuk sebelum minum teh. Saya tetap tidak peduli. Toh, selama ini, saya tidak pernah merasakan kurang gizi...hehehe.

Sempat muncul kekhawatiran dengan kebiasaan saya minum teh, yaaa itu, efek negatif dari kebiasaan tersebut. Selama ini dunia kesehatan menempatkan air putih di daftar paling atas sebagai air yang paling menyehatkan. Ketika itu, saya benar-benar tidak menyukai minum air putih, rasanya hambar dan membuat saya mual, meskipun tidak separah efek susu kepada saya. Apalagi air putih yang dimasak orang lain. Makanya, ketika bertamu atau makan di rumah makan, air putih yang disediakan untuk saya hampir-hampir tidak pernah saya sentuh, kecuali untuk saya jadikan pencuci tangan. Akibat kebiasaan itu juga, saya bisa 'lupa' minum sampai berjam-jam tanpa merasakan haus. Sehingga, orang lain sering menganggap saya tidak suka minum. Seringkali saya minum hanya disebabkan karena ingat bahwa hari itu saya belum minum sama sekali, bukan karena saya haus, itupun seringkali terjadi pada malam hari. Akan tetapi, kebiasaan itu juga ternyata sangat membantu saya dalam kegiatan diksar relawan di Ranca Upas. Sementara orang lain merintih dan menderita kehausan akibat tidak ada air minum, saya tidak terlalu merasakan hal tersebut. Memang saya seringkali diperingatkan untuk berhati-hati dengan kebiasaan tersebut, khususnya untuk menjaga kesehatan ginjal saya.

Kebiasaan minum teh berubah ketika saya mulai menjadi anak kost. Jika sebelumnya selalu tersedia, maka sekarang saya harus memasak sendiri. Awal-awal memang saya masak air dan meracik teh sendiri, namun lama-lama saya malas juga. Pada saat itulah saya mulai membiasakan minum air putih, meskipun awalnya memang terasa eneg dan sebal juga. Seingat saya, selama satu minggu saya menyesuaikan lidah saya dengan air putih, meskipun teh dalam botol sesekali masih saya beli juga. Air putih yang bisa masuk ke mulut saya ternyata adalah air-air yang benar-benar bersih. Bersih dari bau, bersih dari rasa dan harus bening. Ada sedikit saja rasa 'aneh' atau bau tertentu yang tidak hanya berasal dari air, tapi juga gelas atau wadahnya, maka saya tidak akan pernah ingin meminumnya. Ketika itu, saya menemukan bahwa ternyata salah satu air putih kemasan yang sudah sangat terkenal di Indonesia, terdiri dari 4 huruf...(halah!! bilang aja A?ua!!)...yang masuk dalam kategori tersebut. Meskipun dalam beberapa kali kesempatan, saya mendapati juga minuman kemasan tersebut memiliki 'rasa'.

Lantas apakah saya 'selingkuh'? Oh, tidak. Poligami mungkin...:p Sebab, selain masih rutin membeli teh dalam botol yang saya rasa sudah mendarah daging, saya juga rutin membeli air putih kemasan yang sudah sangat terkenal tersebut. Suatu bukti bahwa 'poligami' bisa sangat membahagiakan...?? :p Sehingga, suatu saat, ketika saya pulang ke Bogor, dan adik bungsu saya mendapati saya sedang minum air putih, dia 'mengadu' kepada orang tua saya. "Luar biasa!! Aneh...", katanya. Heuheuheu. Sayangnya, ketika menulis ini, saya tidak ditemani teh dalam botol yang saya 'cintai', tapi ditemani air putih kemasan yang sudah sangat terkenal di Indonesia itu. Namun, 'cinta' itu tetap tidak berkurang, bahkan semakin bertambah.

Dalam sebuah artikel, entah di mana saya membacanya, saya mendapati bahwa ternyata kata soulmate tidak mesti diartikan sebagai pasangan hidup dalam artian suami atau istri. Tulisan tersebut mencontohkan Darwis Triadi dengan kamera-kameranya, ada juga seorang ayah dan anak, dan lain-lain. Maka, bagi saya air teh sudah menjadi soulmate buat saya, khususnya teh dalam botol tersebut. Meskipun jika saya ditanya tentang jenis teh atau merk dagangnya, saya akan menjawab tidak tahu. Namun, saya merasa tidak perlu peduli dengan hal tersebut.

Sebetulnya ada banyak yang bisa saya ceritakan tentang hal-hal kecil lain yang membuat saya bahagia dan menjadi sebuah kenikmatan dalam hidup saya. Namun, karena judulnya saja 'Segelas Teh Hangat', maka hal-hal kecil lain itu akan saya tuliskan di episode selanjutnya, entah di episode yang mana, tunggu saja...!! :D

Bagaimana dengan Anda ? Hal kecil apa yang membuat Anda bahagia? Seperti 'apakah' Soulmate Anda?

S3K3L04. 090107. 00.50.

Coba kalo gua dibayar sama perusahaan teh dalam botol dan air putih kemasan yang sudah sangat terkenal itu, mungkin gua akan ganti dengan merknya. Heuheuheu. :p
Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza