Psycho Avatar

Posted At Tuesday, November 27, 2007

The Most Inspiring Love Story: Kabayan and Iteung

Kuatnya pengaruh film-film barat dan perasaan inferior yang sudah sangat kronis dari bangsa Indonesia, membuat kita silau akan segala hal yang berbau Barat. Termasuk juga dalam film dan cerita-cerita yang menjadi inspirasi. Dalam novel 5cm, yang pengarangnya memiliki nama depan sama dengan saya, tidak ditemukan satu pun film dari Indonesia yang menjadi inspirasi dari novel tersebut. Hampir seluruhnya Amerika punya. Padahal, menurut saya, ada film-film yang cukup menginspirasi.

Bagi saya, kisah cinta Kabayan dan Iteung lebih menginspirasi daripada kisah-kisah cinta yang pernah ada. Bukan Romeo and Juliet, tidak cerita Nabi Yusuf dan Zulaikha, tidak juga kisah cinta Fahri dan Aisha di Ayat-ayat cinta, atau Layla Majnun, apalagi cerita film Titanic. Romeo dan Juliet, entah kenapa saya malah menganggapnya sebagai kisah cinta paling bodoh yang pernah ada. Fahri dan Aisha, ah…terlalu sempurna, meskipun tidak mustahil ada laki-laki seperti Fahri di dunia ini.

Sebagai anak yang ditakdirkan sebagai suku Sunda, orang tua saya lebih dulu mengenalkan saya dengan cerita-cerita dari tanah sunda. Kabayan adalah salah satunya. Akan tetapi, gambaran sosok yang agak lebih utuh saya dapatkan ketika menonton film-film Kabayan yang diperankan dengan sangat baik oleh Didi Petet, bahkan lebih baik daripada Kang Ibing. Saya tidak tahu persis apakah sosok Kabayan memang seperti itu atau tidak, yang jelas peran Didi Petet sebagai Kabayan memang belum tergantikan sampai saat ini. Terus terang saja, saya cukup merindukan peran Didi Petet sebagai Kabayan lagi, hanya saja agak sulit untuk membuat -misalnya- film ‘Si Kabayan jadi 2′.

Dari film-film Kabayan itu, jadi lebih tergambar jelas bagaimana kisah cinta Kabayan dan Iteung. Itulah hebatnya media gambar bergerak. Serta bagaimana ‘benci’-nya si Abah terhadap Kabayan, tapi sesungguhnya sangat sayang kepada si Kabayan. Panggilan ‘borokokok’ adalah panggilan ’sayang’ si Abah untuk Kabayan, dan hanya dimiliki oleh si Kabayan. Jadi kalau suatu saat Malaysia mau mengklaim dan mempatenkan panggilan ‘borokokok’, harus berhadapan dulu dengan si Abah :D

Cinta si Kabayan juga tidak neko-neko, terlebih cinta si Iteung pada si Kabayan. Meskipun sudah beberapa kali didekati oleh pria-pria yang secara ekonomi jauh lebih baik dan masa depan yang lebih cerah daripada si Kabayan, Iteung tidak bergeming. Cinta-nya hanya untuk Kabayan, seorang lelaki pemalas yang teman setianya hanya kerbau dan dijamin tidak punya masa depan yang cerah. Bahkan ketika cinta-nya berusaha dihalang-halangi oleh Abah, yang merupakan ayah si Iteung, mereka berdua tidak pernah menyerah, bahkan mereka semakin cinta.

Kabayan adalah kombinasi spontanitas, keluguan, kecerdasan sekaligus ketulusan dan kepasrahan terhadap takdir. Sebenarnya, masih terjadi polemik apakah si Kabayan itu orang yang bodoh atau cerdas, tapi kalau saya cenderung mengatakan cerdas. Karena keluguannya, dia disukai orang-orang. Karena kecerdasannya, dia bisa survive menjalani hidup yang apa adanya dan bisa selamat dari berbagai ancaman, dan karena ketulusannya dia selalu menolong orang tanpa pamrih. Akan tetapi, karena ‘dilahirkan’ di tanah sunda, atribut tukang heureuy dan usil juga melekat pada diri si Kabayan.

Dalam ‘Si Kabayan Saba Kota‘, Kabayan menyusul ke kota Bandung yang baru sekali dipijaknya, berbekal alamat rumah temannya untuk disinggahi. Dalam ‘Si Kabayan Saba Metropolitan‘, dia menyusul Iteung ke Ibu Kota, Jakarta, tanpa satu pun orang yang dikenalnya. Bahkan harus dihukum push-up oleh polisi gara-gara salah tempat ketika menyeberang jalan. Dan dalam ‘Si Kabayan dan Anak Jin‘, dia menyusul ke Yogyakarta untuk menyelamatkan Iteung. Bukankah itu romantis?

Akan tetapi, Kabayan juga bukan sosok yang egois. Dia juga sosok yang realistis. Kecintaan Kabayan pada Iteung ternyata tidak membuatnya mengorbankan sesuatu yang lebih penting dan lebih besar. Dalam ‘Si Kabayan Saba Metropolitan‘ diceritakan Kabayan dipaksa untuk menjual tanah yang dimilikinya kepada para konglomerat. Bahkan, Kabayan diiming-imingi akan dinikahkan dengan Iteung jika dia bersedia menjual tanah tersebut. Kabayan sempat tergoda dan ‘terpaksa’ menyetujui untuk menjualnya, sebelum akhirnya memutuskan untuk membatalkannya dan meninggalkan Iteung serta Abah di Jakarta, sambil mencium tanah dan mengatakan “Pffuah…tanah di Kota mah tidak enak!! saya mah mau pulang saja, terserah Abah dan Iteung kalau mau menjual tanah milik abah mah“. Sebab, dengan menjual tanahnya kepada orang-orang kota, Kabayan tahu akan terjadi kerusakan di tanah yang dicintainya. Namun, pada akhirnya, Abah dan Iteung yang menyusul pulang dan menyesali perbuatannya.

Kecintaannya pada Iteung juga tidak membuat Kabayan mengumbar habis-habisan nafsunya, meskipun kesempatan itu ada. Dia menghormati Iteung, dan lebih dari itu, dia juga masih menghormati ‘keberadaan’ Tuhan. Tidak pernah diceritakan Kabayan dan Iteung bermesra-mesraan, apalagi mendapati cerita Kabayan berciuman dengan Iteung sebelum menikah. Cerita cinta ‘kan tidak berarti harus ada adegan ciuman, dan tidak ‘kering’ juga suatu film tanpa adegan ciuman. Sementara sekarang, sudah menjadi stereotip kalau film-film romantis harus ada adegan ciuman. Bahkan, meskipun sering, Kabayan dan Iteung masih saja malu-malu jika bertemu. Ini yang membuat saya gemas.

Film Kabayan lekat dalam ingatan saya karena selain kisah cintanya, juga karena terasa lebih dekat dengan kehidupan saya, dan mungkin kehidupan orang-orang Indonesia. Apalagi unsur budaya sunda-nya yang cukup kuat. Terlebih ketika digambarkan suasana pesawahan dengan background suling sunda, ‘asa waas‘ kalau kata orang sunda. Apalagi jika film ini ditonton di tanah perantauan…wuih, bisa bikin kangen habis-habisan. Sudah lama rasanya sineas perfilman Indonesia tidak mengangkat cerita-cerita semacam Kabayan yang mengangkat kearifan budaya setempat. Padahal, film juga bisa digunakan untuk menjaga kelestarian budaya bangsa Indonesia.

C 1 H 3 U L 4 17 6. 271107. 23.30

Labels: ,

Posted At Monday, November 26, 2007

Kamana Atuh, Cinta?

Berkali-kali aku meyakinkan diri

Bahwa rasa itu tidak pernah ada

Sekarang aku tidak bisa membohongi diri

Bahwa rasa itu memang ada

Terjebak, antara keinginan yang sulit kugapai

Dan apa yang bisa kugapai tapi tak sunguh-sungguh kuingini

Ah, kamana atuh, cinta…cinta…

NB : Heu3x. Geuleuh ih, jadi nulis yang beginian :D

C 1 H 3 U L 4 17 6. 261107. 20.00

Labels:

Total Football, Where Are You?
Jika bisa menyerang menggunakan Tank, untuk apa menggunakan tangan kosong?” (Rinus Michel)

Sebagai salah satu fans setia Timnas Belanda, terus terang saya merasa khawatir dengan kondisi permainan anak-anak asuh Marco van Basten sekarang. Kurang greget. Dari beberapa pertandingan terakhir yang saya saksikan, diantaranya melawan Romania dan Luxemburg, saya tidak mendapatkan militansi dari skuad orange. Bahkan ketika melawan Luxemburg yang secara kualitas jauh dari Belanda, hanya menang 1-0, di kandang pula. Dengan kondisi seperti itu, saya tidak yakin Belanda bisa sukses di Piala Eropa 2008.

Bahwa Belanda memiliki banyak pemain muda berbakat, ya…saya setuju. Akan tetapi, skill individu saja tidak cukup. Sebab sepak bola adalah olahraga tim. Betapa kesalnya saya ketika menyaksikan Piala Dunia 2006, Belanda ‘hanya’ mengandalkan Arjen Robben. Dan sekarang, ketika Arjen Robben terlalu sering bergelut dengan cedera, giliran Wesley Sneijder yang diandalkan. Memang masih ada pemain muda lain, seperti Rafael van der Vaart dan Robin van Persie, tapi mereka pun memiliki nasib yang sama dengan Robben, rentan cedera.

Sebagai kader dari Rinus Michel, founding father Total Football, Marco van Basten seakan tidak mampu menerapkan ilmunya kepada anak-anak asuhnya. Pemain sepak bola yang hebat, belum tentu menjadi pelatih yang hebat, itulah yang terjadi pada van Basten. Setiap bertanding, mereka selalu tampil monoton. Tidak ada lagi serangan-serangan yang mematikan dan variatif. Terakhir kali, ketika Piala Eropa 2000 saya menyaksikan Belanda tampil impresif, saat itu diasuh olah Frank Rijkaard, meskipun harus kalah adu penalti di semifinal dari Italia yang waktu itu tampil super-defensif. Setelah itu, hanya kegagalan yang menghampiri tim orange. Gagal total di Piala Dunia 2002, alias tidak masuk sama sekali untuk ikut serta di Piala Dunia 2002. Saking nge-fans nya, ketika ditanya, siapa yang akan juara di PD2002? Saya jawab, Belanda!! Padahal sudah tahu mereka tidak lulus dari babak kualifikasi. Ini sih sudah gila namanya :D Gagal juga di Piala Eropa 2004. Tersingkir di babak kedua pada saat Piala Dunia 2006.

Saya paling benci dengan tim-tim yang tampil defensif. Bagi saya tampil defensif sama saja dengan penakut, apalagi hanya mencari adu penalti seperti yang dilakukan Italia ketika melawan Belanda di semifinal Piala Eropa 2002. Arrrggghhh, malas sekali menontonnya. Saya paling suka dengan tim yang bermain terbuka, apalagi jika dalam suatu pertandingan, kedua tim bermain terbuka. Saling menyerang. Seperti Brazil vs Belanda di semifinal Piala Dunia 1998. Meskipun kalah, saya puas menontonnya. Bagi saya, yang penting bermain cantik, menghibur dan menarik untuk dinikmati. Sehingga, jika harus bela-belain begadang juga tidak merasa menyesal. Bermain defensif memang efektif, saaaangat efektif sekali untuk menghindari kekalahan, tapi ini merupakan sebuah ‘pembunuhan karakter’ sepak bola yang tujuannya mencetak gol.

Filosofi bermain cantik dan menyerang ini selalu saya terapkan ketika bermain Winning Eleven, Football Manager atau Championship Manager. Pokoknya menyerang habis-habisan, walaupun resiko dari sepak bola menyerang adalah kebobolan lebih banyak. Meskipun kalau ‘ngadu’ WE sama teman-teman, saya sering kalah, yang penting kalah terhormat dan kelihatan usahanya :D

Nah, persoalannya, filosofi bermain cantik ini sepertinya sudah mulai ditinggalkan oleh Belanda, setidaknya sejak dipegang oleh van Basten. Sehingga, wajar saja, jika setiap bertanding, mereka selalu tampil monoton dan membosankan. Wajar saja, jika setiap bertanding, selalu terdengar konser siul dari para penonton. Konser siul adalah sebuah ekspresi dari penonton yang menggambarkan bahwa “kalian bermain jelek sekali“, “kalian membosankan“, “apa yang kalian lakukan di lapangan? kami ingin menonton sepak bola, bukan sebuah pertunjukan drama…!!” dan ejekan-ejekan semacam itu.

Sialnya, di PD2006 tahun lalu, sepak bola menyerang yang saya dambakan justru diperagakan oleh Jerman yang merupakan musuh bebuyutan Belanda di setiap kompetisi. Belanda sendiri, lagi-lagi tampil monoton dan membosankan, sebelum akhirnya tersingkir di babak 16 besar. Saya sendiri sudah merasa khawatir akan seperti ini ketika para personil Piala Dunia 1998 semacam Dennis Bergkamp, Marc Overmars atau Edgar Davids sudah menurun performa-nya. Dan kekhawatiran saya ternyata terbukti.

Pada dasarnya Total Football mengharuskan keterlibatan seluruh pemain untuk melakukan penyerangan, kecuali kiper, tentu saja. Sebuah penyerangan sporadis, tanpa henti. Oleh sebab itu, Total Football menuntut pemain-pemain yang bisa bermain di berbagai macam posisi. Tujuannya, agar setiap pemain bisa saling mengisi posisi yang ditinggalkan temannya ketika menyerang. Paling tidak, seorang bek pun harus bisa dan berani menyerang jika dibutuhkan. Namun, Total Football juga membutuhkan peran seorang pengatur (playmaker). Peran ini pernah dilakukan dengan baik oleh Johan Cruijff dan Ruud Gullit. Rinus Michel sendiri pernah mengakui kalau strateginya tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa peran pemain semacam Cruijff atau Gullit. Inilah masalah utama Belanda saat ini, tidak adanya sosok playmaker. Saat ini, ada van der Vaart yang diharapkan mampu untuk mengisi peran itu, tapi sayangnya dia masih belum matang dan belum mampu memimpin rekan-rekannya dengan baik. Perlu proses memang. Akan tetapi, mudah-mudahan Belanda bisa kembali mendapatkan formula terbaiknya di Piala Eropa 2008 nanti. Kita tunggu saja.

C 1 H 3 U L 4 17 6. 261107. 03.09

Labels: ,

Posted At Saturday, November 24, 2007

Mengaji Yes, Teler OK!

Jika dibandingkan dengan para pengemis dalam tulisan sebelumnya, anak-anak jalanan barangkali lebih baik. Kemiskinan mereka lebih nyata, meskipun saya masih saja sangsi untuk memberi mereka uang. Itu yang saya lihat ketika untuk pertama kalinya saya datang untuk membantu teman-teman mengajari mereka membaca dan menulis di Pasar Ciroyom, Bandung. Karena kegiatan tersebut juga merupakan salah satu program kerja Divisi Dakwah dan Sosial, SSG Cibeunying, tentunya tidak hanya mengajari baca-tulis huruf latin saja, tapi juga mengaji, shalat atau nilai-nilai Islam.

Kondisinya jauh dari yang saya bayangkan daripada sebelum saya datang ke sana. Dalam bayangan saya, kegiatan dilakukan secara klasikal, ada papan tulis, ada kursi…ya, seperti ruangan kelas. Namun, ternyata tidak seperti itu. Kegiatan dilakukan di emperan masjid yang terletak di lantai 3 pasar Ciroyom, tanpa papan tulis, tanpa kursi…dilakukan sambil duduk. Teman-teman saya memang tidak menceritakan kondisi-nya seperti apa, jadi saya membayangkannya seperti itu.

Kegiatan tersebut rencananya akan dilakukan setiap hari Kamis, Jum’at dan Ahad dari pukul 16 - Maghrib. Rencana saya datang hari kamis batal karena tidak memungkinkan untuk tiba di sana sebelum maghrib. Saya datang hari berikutnya, itu pun dengan resiko mengganti shift kerja saya menjadi tengah malam.

Ketika saya datang ke sana, ada sekitar 25 orang anak-anak jalanan, mayoritas laki-laki. Hanya ada 3-4 orang wanita. Dengan range umur dari 7 tahun sampai 19 tahun. Mereka terbagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok ‘mengelilingi’ seorang calon bidadari surga mentor, yang semuanya perempuan. Dua orang adalah teman saya di SSG, yaitu Ayu dan Dewi, satu orang lagi…saya lupa berkenalan. Saya melihat pemandangan yang cukup kontras, meskipun ke-3 teman saya itu tidak dandan berlebihan, tapi sudah bisa menunjukan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup yang cukup jauh. Antara yang terawat dan tidak terawat.

Untungnya, sambutan mereka hangat sekali. Mereka langsung menyalami ketika Dewi memperkenalkan saya. Beberapa bahkan ada yang langsung dekat dengan saya. Kondisi tersebut membuat saya sedikit lebih bisa membuka diri. Saya langsung ditugasi untuk tes mengaji anak-anak tersebut dan membaginya ke dalam beberapa kelompok, berdasarkan buku Iqra. Padahal niat saya tadinya hanya melihat-lihat dulu situasi dan kondisi tempat tersebut. Dari obrolan dengan mereka, saya jadi tahu bahwa mereka pun sebelumnya pernah belajar mengaji. Tapi, sebagian besar lupa lagi karena tidak pernah mengaji lagi.

Ketika sedang melakukan aktivitas itu lah, saya menyadari satu hal. Hampir setiap saat, mereka menutupi hidung mereka dengan baju. Hal ini dilakukan oleh hampir semua anak-anak tersebut. Dan satu lagi yang membuat saya menyadari ada yang salah adalah…bau lem aibon! Oalah, jadi selama ini mereka belajar sambil ngelem. Entah apa yang ada di dalam imajinasi mereka ketika mengaji itu. Saya tidak terlalu mengerti. Dan sepertinya, akan sulit melepaskan mereka dari kebiasaan tersebut. Saya tidak tahu apakah mereka sadar atau tidak, yang jelas saat itu mereka tidak menunjukkan tanda-tanda sedang teler. Semuanya nampak biasa-biasa saja. Dan mereka pun shalat dalam keadaan seperti itu. Terus terang saja, entah karena pengaruh lem aibon itu atau bukan, yang jelas kepala saya terasa panas saat itu, terutama otak bagian belakang. Sementara teman-teman wanita saya itu tampak biasa-biasa saja, salut saya pada mereka.

Jika dibandingkan dengan saya, ketiga wanita tersebut nampak lebih mampu menangani anak-anak itu. Entahlah, barangkali karena jiwa keibuan mereka atau karena mereka sudah terlatih untuk menangani anak-anak. Sementara saya jarang sekali berhubungan dengan anak-anak dalam situasi semacam itu, apalagi anak-anak jalanan. Rasanya susah sekali mengatur mereka, tapi kepada teman-teman saya kok nurut-nurut saja.

Kotor sekali. Barangkali mereka berhari-hari tidak mandi, dan pakaian yang digunakan pun itu-itu saja. Kecuali anak-anak wanitanya yang terlihat lebih bersih. Ada yang berdandan ala punk, tapi sebagian besar rambut mereka berwarna kemerahan karena kurang gizi atau terlalu sering terkena matahari.

Atas saran dari Ayu, saya juga membawa makanan. Saya membawa 2 paket kue bolu yang harus dipotong-potong lagi. Alasan saya waktu itu karena tidak tahu pasti jumlah anak-anak yang ada di sana. Kalau jumlahnya sedikit, anak-anak itu akan kebagian kue bolu lebih banyak dan sebaliknya. Tadinya mau bawa kwaci atau sukro saja 2 bungkus yang kalau dibagikan pada 100 orang pun pasti kebagian :D

Lucu sekali memperhatikan mereka mengikut kemana kue itu pergi. Bahkan ketika saya diminta Dewi untuk memberikan nasihat atau cerita, mereka malah mengikuti Dewi dan meninggalkan saya sendirian, karena kue itu saya berikan kepada Dewi untuk dibagikan. Saya pun sempat tertawa-tawa melihatnya. Konon mereka selalu berebutan kalau dibagikan makanan, semuanya ingin mendapatkan yang pertama. Padahal sudah berkali-kali juga kami mengatakan bahwa mereka semua akan kebagian.

Setelah membagi-bagikan makanan, kegiatan pun berakhir. Kami saling janji untuk datang lagi pada hari minggu. Saya sendiri tidak tahu pasti apakah hari itu bisa datang atau tidak. Hanya saja, sepanjang jalan pulang, yang saya pikirkan adalah bagaimana caranya menghentikan kebiasaan ngelem anak-anak tersebut. Saya tidak tahu pasti pendekatan seperti apa yang harus digunakan, karena belum pernah punya pengalaman seperti ini. Kepikiran sama saya untuk bercerita seperti ini…

Donny : “Barudak, ada beberapa hal yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan seumur hidup, yaitu : Pertama, ngelem. Kedua, ngelem. Ketiga, ngelem. Keempat dan seterusnya, ngelem. Jadi, masih ada yang mau ngelem??

AAJ : “Saya…!“, sambil ngacung, serentak.

Donny : *SIGH*

C 1 H 3 U L 4 17 6. 241107. 03.30

Labels: ,

Posted At Thursday, November 22, 2007

Mau Kaya? Ngemis Aja!!

Surat Pembaca koran Pikiran Rakyat hari Rabu kemarin, 21 Nopember 2007, memuat sebuah cerita yang sebetulnya sangat memprihatinkan, tapi saya sempat terbahak-bahak juga membacanya. Sewaktu sedang mengobrol di depan kamar salah satu teman kost-an saya, tiba-tiba saya disodori koran tersebut “nih, baca…!” katanya.

Penulis surat pembaca tersebut menceritakan soal pengalamannya dengan pengemis. Ketika dia sedang duduk-duduk di pelataran Masjid Agung Bandung, tiba-tiba datang pengemis sedang menggendong anaknya, dengan tampang yang memprihatinkan. Bilangnya sih, “belum makan 2 hari“. Karena merasa iba, penulis tersebut, yang ternyata seorang mahasiswi Fikom Unpad, berniat memberi uang sebesar Rp. 5000. Namun, sebelum sempat diberikan, tiba-tiba terdengar ringtone HP, konon lagu dari group band Ungu. Tiba-tiba saja, pengemis tersebut misah-misuh merogoh tasnya dan mengeluarkan…jreng…HP Nokia terbaru, dan lebih bagus daripada si mahasiswi tersebut. Konon pengemis tersebut mengatakan…”nanti telpon lagi, saya sedang kerja sekarang.

Pengalaman lain, baru saya alami sebelum menulis ini. Ketika jaga warnet, datang seorang pengemis. Seperti biasa, saya dan teman-teman di warnet itu selalu memberi kepada setiap pengemis yang datang. Saya memberi Rp. 1000 kepada pengemis itu. Namun, tiba-tiba pengemis itu meminta untuk menukar seluruh uang receh miliknya. Setelah dihitung-hitung, total uang yang ditukarkan sebanyak Rp. 40.000. Whew!! Lebih besar daripada gaji harian seluruh pegawai warnet itu. Gila, itu baru setengah hari…misalkan dia mendapatkan tambahan Rp. 40.000 lagi setengah hari berikutnya, total dia dapat Rp. 80.000. Misalkan dia ‘kerja’ selama 6 hari/minggu. Dia sudah ‘menghasilkan’ uang’ lebih dari Rp. 1.800.000/bulan. Weleh-weleh…!!

Cerita lain, sewaktu saya dan teman duduk di kursi depan sebuah angkot. Saat itu, kami melihat seorang pengemis yang memang sangat mengkhawatirkan, lebih-lebih karena secara fisik, dia memang cacat. Ketika saya dan teman saya ngobrol ‘mengasihani’ orang tersebut, tiba-tiba sopir angkot tersebut menimpali. “Wah, dia tuh sehari bisa dapat 400 ribu, kalau lagi sepi juga bisa dapat 200 rb. Dia udah punya 4 buah motor, dan anak-anaknya bisa kuliah. Rumah nya aja loteng.” Dan tiba-tiba, saya ingin mengutuk…

C 1 H 3 U L 4 17 6. 221107. 15.07

Labels: ,

Posted At Saturday, November 17, 2007

Bakat Terpendam: Jadi Psikopat!!

Satu hal yang saya sadari dalam diri saya adalah potensi untuk melakukan hal-hal usil atau jahat. Pernah suatu saat di sebuah rumah makan, ketika saya dan teman-teman telah menyelesaikan makan, datang satu rombongan wanita. Kebetulan tempat makan tersebut sedang penuh. Menyadari hal itu, kami tadinya berniat untuk pergi dari meja yang kami gunakan, untuk memberikan kesempatan kepada rombongan tersebut. Tidak ada niat apa pun, karena memang tidak ada satu pun wanita yang menarik perhatian kami…loh?! :D Sesaat sebelum kami beranjak, tiba-tiba salah seorang perempuan dari rombongan tersebut berbicara cukup keras, “wah, kita nggak kebagian tempat nih…

Tiba-tiba saja, saya jadi ingin usil, dan membatalkan rencana kami itu. Saya pandang wajah teman-teman saya, dan ternyata mereka pun berpikiran sama. Kami sama-sama tersenyum…usil. Kami pun batal beranjak dari tempat tersebut. Kami pura-pura cuek, ngobrol atau pura-pura baca koran. Sesekali kami saling pandang dan…saling senyum. Entahlah, setelah tiba-tiba mendengar ‘penderitaan’ mereka, kami malah jadi ingin menambah penderitaan mereka. Tiba-tiba saja kami jadi orang usil. Meskipun tidak lama, hanya 5 menit, tapi cukup bisa membuat kami tertawa-tawa sepanjang jalan pulang menuju kost-an. Jahat ya? Niat ingin dapat pahala, malah jadi dosa.

Kali lain, masih di tempat makan yang sama. Biasanya di tempat makan tersebut tersedia koran sebagai bahan bacaan atau mungkin untuk digunakan sambil menunggu makanan pesanan tiba. Saat itu, giliran saya yang memegang koran dan membacanya. Tidak lama kemudian, makanan kami tiba. Namun, saya tidak melepaskan koran tersebut, malah saya makan sambil membaca. Kebetulan di meja kami juga ada orang lain yang sedang menunggu makanan.

Setelah selesai makan dan meninggalkan meja tersebut, teman saya bercerita…

Don, lu tau nggak, orang yang disebelah lu tadi ngelihatin lu terus…kayaknya sih dia pengen banget baca koran, tapi bingung mau gimana, soalnya lu makan, tapi baca juga

Iya, tau gua…sengaja kok, lagi pengen bikin kesel orang…

Haha, emang kelihatan ya…?

Kelihatan lah, dari cara ngelihatnya juga kelihatan banget…cuma gua pura-pura cuek aja…hehehe

Namun, berdasarkan pengalaman jadi orang usil itu, kami jadi tahu satu hal…jangan pernah mengeluh atau memperlihatkan penderitaan di depan orang lain!! Sebab bisa jadi orang lain malah bahagia melihat kita menderita dan semakin menambah penderitaan kita. Ya, seperti kasus saya itu…^.^ Untungnya, sifat usil saya tidak sering muncul, bahkan teramat sangat jarang. Masih bisa dikendalikan, meskipun sebetulnya ide-ide usil itu juga suka muncul dan membuat saya tertawa-tawa sendiri. Psikopat banget ya?!

Terakhir kali muncul, tidak lama sebelum posting tulisan ini. Kawan lama saya, seorang perempuan, yang juga merupakan mantan pacar kawan dekat saya tiba-tiba SMS dan meminta nomor hp kawan dekat saya itu. Kemudian saya balas,

SMS Donny (SD): “Wah, curigation nih…*siul2* ada apa ya?

SMS Teman Wanita Itu (STWI): “Gak ada apa2 kok, ada urusan bisnis sama dia

SD : “Hati-hati ah, pacarnya yang sekarang cemburuan

STWI : “Wah, kok pacarnya cemburuan semua sih, kecuali gua…

SD : “Kalau lu maju dan ganggu dia lagi juga kayaknya pacarnya bakalan tersingkir…

STWI : “Wah, ntar deh kalau gua udah putus sama pacar yang sekarang…

SD: “Saran : putusin pacar lu, dan ganggu dia…!! :D”

STWI : “Ok deh, saran lu akan gua pertimbangkan…!!

SD: “Saran lagi : pertimbangkannya jangan kelamaan, keburu merit dia, udah ancar2 tuh. Tapi, kalau ada apa2, jangan salahin gua ya? *siul2*

STWI: “Ya jelas gua salahin lu lah…lu kompornya!! Kalau ketemu dia, titip salam ya dan bilang gua minta nomornya

SD: “Ok, ntar kalau dia lagi sama pacarnya gua bilang, ‘ada salam dari bla bla bla, tadi dia minta nomor HP lu juga‘ heuheuheu

STWI: “Boleh, cepat laksanakan ya?!”

Sebetulnya yang paling saya takutkan adalah ketika marah. Seringkali muncul pikiran-pikiran yang setelah saya reda dari kemarahan itu membuat saya berkali-kali istighfar. Meskipun jarang, tapi ternyata saya juga memiliki potensi menjadi seorang pendendam dan tidak mudah melupakan kejadian-kejadian yang pernah membuat hati saya tersinggung. Untungnya lagi, orang-orang seperti ini juga jarang dan pembawaan saya yang belakangan lebih cuek juga menolong saya dari sifat-sifat semacam itu. Lagipula, sudah lama sekali saya tidak pernah marah kok…

C 1 H 3 U L 4 17 6. 171107. 04.12. Saat Adzan shubuh bergema.

Labels:

Posted At Monday, November 12, 2007

Purnama, Shaum dan Simbol Romantisme

Berselang cukup lama, sekitar 3 bulan, ketika sebuah diskusi bersama teman-teman seperjuangan menjelang Ta’lim Rutin SSG Cibeunying, menginspirasi saya untuk menuliskan hasil diskusi tersebut. Ide menulisnya sudah cukup lama, tapi baru teringat lagi sekarang. Diskusi tersebut berbicara tentang…seks. Di dalam masjid…tapi memang tidak ada masalah dengan itu kan?

Saya lupa lagi darimana awalnya, yang jelas pada akhirnya diskusi tersebut berujung di topik tersebut. Ada 4 orang yang terlibat diskusi, 1 orang sudah cukup lama menikah, 1 orang baru menikah, 2 orang lagi belum, saya salah satu dari yang terakhir itu. Berawal dari rasa penasaran saya, saya mengajukan pertanyaan kepada rekan yang sudah cukup lama menikah.

Pak, penasaran nih…Dalam Al-Quran kan ada satu ayat yang mengijinkan untuk melakukan hubungan suami-istri di malam hari, pada bulan Ramadhan. Memang seberapa besar sih pengaruh ayat tersebut kepada orang yang menikah?

Makanya, kalian harus menikah dulu, baru tahu bagaimana rasanya. Hehehe. Islam itu luar biasa, betul-betul Agama fitrah, sangat mengerti betul dengan kebutuhan manusia. Salah satunya adalah ayat tersebut. Kalau kalian sudah menikah, akan terasa betul manfaat dari ayat tersebut. Apalagi pada saat bulan purnama?

Purnama, pak? Memang apa hubungannya?” tanya saya lagi keheranan.

Tahu kan bagaimana pengaruh bulan pernama terhadap pasang-surut air laut? Nah, ternyata bulan purnama itu juga berpengaruh terhadap pasang-surut libido manusia juga. Ketika purnama, akan terasa betul hasrat seks itu ada di puncaknya, coba saja perhatikan dan rasakan…!

Wah, kok saya baru tahu ya? Perasaan kok biasa-biasa saja ya? Apa karena tidak pernah saya perhatikan kali ya?

Ya, mungkin karena tidak pernah diperhatikan. Hal ini juga cukup menjadi alasan kenapa Rasulullah menjadikan pertengahan bulan (13,14,15) hijriyah untuk melakukan shaum sunat, terutama bagi para bujangan seperti kalian. Pada saat itu kan bulan sedang purnama. Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan perintah shaum bagi mereka yang mampu menikah, tapi belum memiliki kesempatan. Shaum itu bisa menjadi rem. Ini juga menjadi bukti bahwa perintah-perintah Rasulullah tersebut bukan asal perintah, tapi ada makna di balik itu semua.

Hmm, saya jadi penasaran nih pak, jangan-jangan cerita soal Werewolf itu juga inspirasinya dari fenomena ini ya? saking ‘berat’-nya menahan hasrat, jadi aja Serigala…” canda saya.

Oh, iya…bisa jadi. Barangkali itu merupakan simbol bahwa ketika bulan purnama, nafsu kita sedang memuncak dan menyerupai binatang dari sisi itu.

Wah, pantesan tiap-tiap film romantis biasanya disorot adegan bulan purnama, tapi sebetulnya sih banyakan film horor kalau bulan purnama. Apa karena itu juga kenapa, bisa dikatakan, setiap orang suka melihat bulan purnama dan jadi sentimentil tiap lihat bulan purnama? Trus, yang kebayang tuh…’andai ada si dia disisiku, halah!’ Hehehe. Kalau yang sudah menikah kan asyik, nah yang belum kayak kita-kita ini kan jadinya…shaum lagi, shaum lagi, mupeng deh!!

Haha, iya, mungkin itu juga alasannya, kenapa ketika bulan purnama yang terbayang hal-hal yang romantis melulu.

Pembicaraan kami berakhir karena pemateri untuk ta’lim saat itu sudah datang. Hmm, ada yang punya pengalaman lain dengan purnama nggak ya?

C 1 H 3 U L 4 17 6. 121107. 03.30

Labels: , ,

Posted At Saturday, November 10, 2007

Cerita Dari BHTV Gathering

Berawal dari sebuah undangan di milis KLuB yang dikirimkan oleh Zaki Akhmad soal pertemuan BHTV (Bandung High-Tech Valley) yang akan diadakan di Bimbingan Belajar IZI, Jl. Ambon 19 Bandung, kemudian memunculkan minat saya untuk mengikuti kegiatan tersebut. Meskipun sudah cukup sering mendengar membaca soal BHTV, tapi awalnya tidak terlalu membuat saya berminat, karena saya pikir komunitas tersebut bersifat tertutup. Namun, ketika undangan tersebut sampai ke email saya, apalagi melihat susunan acaranya yang bernuansa ilmiah, membuat saya tertarik untuk menghadiri acara tersebut. Sudah cukup lama saya tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ‘berbau’ ilmiah, tepatnya sejak lulus kuliah. Terus terang, saya merindukan suasana tersebut.

Maka, berangkatlah saya pada waktu yang dijadwalkan, meskipun terlambat setengah jam akibat hujan deras yang mengguyur Bandung. Saya tertahan di Masjid Salman selama 30 menit, dan tiba di lokasi jam 7 kurang. Untunglah, ketika saya tiba di sana, acara belum dimulai. Setelah bertanya kepada satpam di mana tepatnya tempat kegiatan, saya langsung menuju ke sana. Kikuk juga, karena itu pertama kali saya mengikuti kegiatan BHTV, selain itu karena memang tidak satu pun yang saya kenal atau kenal saya. Meskipun nama-nama yang hadir saat itu tidak asing bagi saya, ada pak Budi Raharjo dan pak Dimitri Mahayana.

Dalam 2 minggu terakhir, kegiatan ini merupakan yang kedua, setelah PestaBlogger, dimana saya tidak pernah bertemu sebelumnya dengan para pesertanya. Awalnya merasa minder juga, tapi setelah dipikir-pikir, kalau saya minder seperti itu, saya tidak akan pernah maju. Apalagi, dalam acara BHTV, saya merasa satu-satunya orang yang non-ITB, tapi akhirnya pikiran-pikiran semacam itu berhasil disingkirkan dan saya bisa hadir di acara tersebut, no regret.

Acara dimulai tepat jam 7, dipandu oleh pak Budi, dengan sesi pertama presentasi dari Zaki tentang Panduan Penelitian OpenSource. Dokumentasinya sendiri bisa di-download di sini. Zaki sedikit bercerita tentang tantangan dan hambatan penelitian yang berhubungan dengan OpenSource. Sementara, pak Budi sendiri menjelaskan bahwa panduan tersebut gunanya untuk memetakan atau sebagai road map jenis penelitian yang seperti apa saja yang dibiayai oleh pemerintah.

Sesi kedua diisi oleh Anto dari Pusat Mikroelektronika ITB yang mempresentasikan tentang Virtual Office. Konsepnya sederhana sebetulnya, memindahkan organisasi (perusahaan) ke dunia maya. Dengan cara seperti ini, setiap orang yang terlibat dalam organisasi/perusahaan yang menggunakan virtual office tidak perlu datang ke kantor, namanya juga virtual. Seperti ada tapi tiada, seperti tiada tapi ada. Untuk melakukan atau mengetahui task yang harus dikerjakan, cukup mengakses web virtual office tersebut.

Sesi ketiga diisi oleh Pak Sanny yang menceritakan pengalamannya pergi ke Bangalore, India. Dan ceritanya membuat peserta kegiatan tersebut terperangah sekaligus prihatin dengan kondisi Indonesia (atau hanya perasaan saya saja ya?), namun pada saat yang bersamaan menumbuhkan semangat peserta juga agar bisa seperti itu. Beliau bercerita soal kemajuan kota Bangalore, terutama bidang IT-nya yang mampu menyumpang 26% pemasukan APBN kota/negara tersebut, saya lupa lagi. Kemajuan IT India memang sudah cukup lama saya dengar, tapi setelah mendengarkan paparan Pak Sanny, saya menjadi semakin bertambah yakin, sekaligus penasaran juga. Soalnya di film-film India, soal IT, setahu saya, tidak pernah dibicarakan. Pak Sanny juga membacakan fakta-fakta soal kemajuan kota Bangalore, sayangnya tidak saya catat. Satu-satunya yang saya sesali adalah tidak sempat menanyakan tentang kondisi pendidikan di sana, maksud saya, biayanya. Konon tidak berbeda jauh dengan Indonesia.

Sesi keempat, giliran Pak Dimitri Mahayana yang berbagi cerita, tentang pengalamannya di Korea. Lagi-lagi, cerita beliau cukup membuat peserta terperangah (atau, lagi-lagi, hanya saya?) Konon, di Korea, jurusan-jurusan kuliah itu lebih terfokus, sampai-sampai ada jurusan Game Developer. Sehingga, ketika lulus, sudah jelas keahliannya. Bandingkan dengan Indonesia yang ketika lulus kuliah banyak sarjana yang tidak tahu mau apa dan kemana, contohnya, ya…saya ini :D. Dalam perjalanannya, pak Dimitri memang lebih fokus untuk study-banding soal game developer. Dan, katanya, beliau dibuat tercengang oleh kemajuan game developer di Korea.

Sesi kelima, presentasi tentang sebuah proyek Fiber Optic, tapi ada beberapa hal yang harus diolah lagi, lebih bersifat bisnis. Sesi ini yang paling ramai, karena kalau proyek ini bisa berjalan dengan baik, bisa menjadi ‘masa depan’ dunia internet di Kota Bandung. Saya sendiri belum terbayang akan bagaimana proyek ini jadinya, yang jelas memang masih akan diolah lagi oleh tim BHTV. Inginnya ikut terlibat juga, tapi saya masih baru dan belum paham harus apa di sana. Untuk saat ini sih ikut-ikut saja dulu, siapa tahu bisa ‘kecipratan’. Hehe.

Menjelang akhir kegiatan, Pak Sanny ‘menantang’ komunitas ini untuk mengadakan event besar di bulan Desember. Dan ternyata, para peserta pun cukup antusias menerima tantangan tersebut, meskipun belum tahu event semacam apa yang akan diadakan. Wah, saya harus terlibat kalau begitu, jangan sampai ketinggalan, harus!! Kegiatan tersebut ditutup menjelang pukul 9 malam, sesuai dengan rencana.

Bagi saya, kegiatan semacam ini cukup menjawab kerinduan saya terhadap sebuah komunitas yang selama ini saya cari. Bersifat ilmiah, tapi tidak terlalu formal. Namun lebih dari itu, punya cita-cita besar, ini yang paling penting. Menyenangkan rasanya bisa satu forum dengan mereka yang sudah dikatakan ahli dibidangnya masing-masing. Selain itu, penerimaan mereka yang terbuka membuat saya merasa nyaman. Saya jadi terpacu untuk lebih meningkatkan kemampuan saya. Dan rasanya, dengan bergabung di BHTV, kesarjanaan saya akan lebih berguna jika dibandingkan dengan apa yang saya kerjakan selama ini. And, yes...finally, i found the community.

C 1 H 3 U L 4 17 6. 101107. 03.40.

Labels: ,

Posted At Thursday, November 01, 2007

Tambah Katalog

Setidaknya ada 7 buku baru yang masuk ke dalam katalog perpustakaan pribadi saya dalam 2 minggu terakhir ini. Belum termasuk beberapa tabloid, majalah, suplemen dan booklet. Beberapa ada yang saya dapatkan secara gratisan, selebihnya beli. Ke tujuh buku tersebut adalah :

40 Days in Europe (Maulana M. Syuhada, Novel, Indonesia, Non-Fiksi, Bentang)
Pembawa Kabar dari Andalusia (Ali Al Ghareem, Novel, Terjemahan, Adaptasi Sejarah, Syaamil)
Life of Pi (Yann Martel, Novel, Terjemahan, Kisah Nyata, Gramedia Pustaka Utama)
Humor Cerdas ala Orang-orang Cerdik (Ibnu Al-Jauzi, Kumpulan Kisah, Terjemahan, Qisthi Press)
Night of Chaos (Jofry HS, Novel, Terjemahan, Science Fiction, Sheila/Andi)
Alam Pikiran Yunani (Mohammad Hatta, Filsafat, Indonesia, Non-Fiksi, UI Press)
Ilmu, Filsafat dan Agama (Endang Saifudin Anshari, Filsafat, Indonesia, Non-Fiksi, Bina Ilmu)


Dua buku terakhir saya beli karena nama penulisnya yang sudah cukup dikenal, namun saya belum pernah membaca karya-karya mereka. Mohammad Hatta, siapa yang tak kenal beliau? Wakil Presiden RI Pertama, terkejut juga saya ketika mendapati buku tersebut. Sementara Endang Saifudin Anshari merupakan salah seorang ulama periode 70-80an yang cukup dikenal di Bandung. Selain itu, beliau juga pernah menjadi pembina dan merupakan produk asli Masjid Salman. Menariknya, buku tersebut dipersembahkan kepada 2 tokoh Islam lainnya, M.Natsir dan M. Rasjidi. Barangkali, selain karena kedua tokoh tersebut merupakan guru dan sahabat baliau, juga dikarenakan perjuangan mereka dalam menghalau gelombang liberisme dan sekularisme di Indonesia. Seperti yang kita tahu, liberalisme dan sekularisme merupakan produk dari filsafat.

Selain itu, saya sendiri sedang mencoba ‘memasuki’ ranah filsafat. Bidang ilmu yang, katanya, membingungkan dan memusingkan. Padahal, filsafat sendiri sesungguhnya merupakan pondasi dari ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini. Konon, jika tidak hati-hati, mempelajari filsafat bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad dari agamanya. Yah, itulah kesan yang saya dapatkan mengenai filsafat. Makanya, saya cukup penasaran juga, dan kalau suatu saat mendapati saya ngaku-ngaku jadi Nabi, salahkan saja buku-buku filsafat ya? Hehe. Takdir Allah mempertemukan saya dengan buku ‘Ilmu, Filsafat dan Agama‘ di toko buku BBC (Bandung Book Corner). Selain hanya satu-satunya yang saya temui, harganya pun terbilang murah Rp. 17.500, itu belum di diskon 20%. Buku Mohammad Hatta pun hanya Rp. 12.000, belum termasuk diskonnya juga 20%.

40 Days in Europe‘ saya beli karena…ya itu, saya terobsesi mengelilingi dunia, dan Eropa adalah salah satunya. Melihat judulnya saja sudah cukup membuat saya tidak berfikir 2 kali apalagi berkali-kali membelinya. Sayangnya, buku ini tidak sesuai dengan harapan saya, tapi cukup membuat obsesi saya semakin bertambah dan membuat saya semakin ‘gila’ gara-gara berimajinasi (atau lebih tepatnya berkhayal) berkeliling Eropa. Resensi buku ini sedang saya kerjakan, mudah-mudahan bisa selesai secepatnya dan rasa malas tidak menguasai diri saya lagi.

‘Life of Pi’, buku yang sudah cukup lama masuk dalam list saya, tapi selalu bergeser semakin ke bawah gara-gara buku lain yang saya rasa lebih menarik. Selain itu, saya cukup ragu juga apakah buku tersebut ‘pantas’ dibeli atau tidak. Nyatanya, buku tersebut memang tidak pantas dibeli, karena ternyata saya mendapatkan buku tersebut gratis. Heuheuheu. Adalah Oci yang menghadiahkan buku tersebut kepada saya, katanya sebagai kado ulang tahun buat saya, dan entah atlas siapa yang dirobek-robek untuk dijadikan bungkus kado tersebut, yang jelas kertas kadonya bergambar peta dunia. Yah, Oci memang paling tahu obsesi saya keliling dunia. Buat Oci, hanya saran, lain kali sekalian beliin tiket pesawatnya ya? :p Buku ini masih dibaca dan sepertinya hanya membutuhkan waktu 1 - 2 jam lagi untuk menyelesaikannya.

Pembawa Kabar dari Andalusia‘ dan ‘Night of Chaos‘ adalah buku-buku yang saya beli secara gambling, soalnya saya jarang melihat buku-buku tersebut. ‘Pembawa Kabar dari Andalusia’ hanya satu-satunya di SMM DT. Sialnya, setelah saya membeli buku tersebut, saya mendapati buku itu bertumpuk-tumpuk di BBC. Sementara ‘Night of Chaos‘ sepertinya menarik karena berhubungan dengan dunia IT atau kriptografi.

Lalu kenapa saya membali buku ‘Humor Cerdas ala Orang-orang Cerdik‘? Gara-garanya di halaman belakang ada tulisan ini nih…

“Dalam sebuah khutbahnya, Nabi Sulaiman berkata, ‘Salah seorang dari kalian telah mencuri angsa tetangganya. Kemudian, ia masuk ke dalam masjid ini dengan bulu angsa di atas kepalanya.’ Dan tanpa sadar, si pencuri pun meraba-raba kepalanya. Maka, Nabi Sulaiman pun berkata, ‘Dialah pencurinya, tangkap dia!’”

Huehehe. Saya senyum-senyum sendiri membacanya. Dan saya tidak berfikir lagi untuk membelinya.

Saya kadang merasa tidak memiliki alasan apa pun setiap membeli buku. Satu-satunya alasan adalah karena saya ingin membeli saja. Tidak peduli apakah buku tersebut bagus atau tidak. Dan rasanya sulit sekali dikendalikan. Satu-satunya yang bisa mengendalikan saya adalah…kalau tidak punya uang. Barangkali kalau ada kredit buku yang bisa dibayarkan selama 10 tahun, saya akan mengambilnya juga. Bayangkan saja, buku seharga 60 ribu dicicil selama 120 bulan, itu artinya 500 rupiah per bulan, apa tidak murah meriah namanya? Hmm, tapi, kalau dijadikan bisnis, bagus nggak ya? Pantas dicoba nih. Tapi jangka waktunya tidak lebih dari 1 tahun pastinya. Eh, kalau dihitung-hitung, kalau buku saya diuangkan, sepertinya sudah cukup buat modal nikah atau dijadikan mas kawin sekalian. Sayangnya, KUA belum tentu mau dibayar pakai buku, dan aneh juga kalau pas ijab kabul nanti isinya…”Saya terima nikahnya Si Eneng binti Bapaknya dengan mas kawin selemari buku di kamar saya, tunai!“. Hehehe.

S 3 K 3 L 0 4. 011107. 19.30

Labels:

Karena Wanita Ingin Dimarahi

Barangkali, salah satu masalah terbesar saya dalam bersosialisasi dengan orang lain adalah komunikasi dengan lawan jenis. Namun, saya cukup yakin bahwa masalah ini bukan milik saya semata. Bukannya mencari teman, tapi dari pengamatan saya, masalah komunikasi antara pria-wanita sering kali menjadi masalah dalam menjalin hubungan. Hubungan dalam bentuk apa pun, pertemanan, pacaran bahkan suami-istri sekalipun. Konon biang keladinya karena perbedaan kapasitas dan karakteristik otak antara dua jenis manusia ini.

Saya sendiri bukannya tidak tahu atau tidak mengerti tentang bagaimana seharusnya memperlakukan wanita atau bagaimana wanita ingin diperlakukan. Setidaknya saya sudah merasa cukup tahu tentang teori-teori komunikasi dengan lawan jenis. Akan tetapi, teori adalah satu hal, sementara praktek dalam keseharian adalah hal lain. Ada faktor lain yang memiliki peranan dalam mempengaruhi komunikasi dengan lawan jenis. Karakter, ego atau latar belakang kehidupan masa lalu bisa dijadikan contoh. Bahkan ‘ketaatan’ seseorang terhadap ajaran agama yang dianutnya bisa menjadi faktor yang cukup kuat.

Pada dasarnya, saya dan mungkin juga banyak pria lain, adalah tipikal orang yang tidak suka dan tidak terbiasa berbasa-basi. Kalau pun terpaksa harus melakukannya, akan sangat kentara sekali kalau saya sedang berbasa-basi. Bagi saya ketika seseorang mengatakan ‘tidak’ berarti ‘tidak’ dan ‘ya’ berarti ‘ya’. Jika ternyata apa yang diucapkan di mulut dan di hati berbeda, itu bukan urusan saya. Apalagi mencoba bermain-main dengan ‘bahasa simbol’ dengan saya, kalaupun saya mengerti dengan ’simbol’ tersebut, saya tetap mengartikannya secara harfiah dan mencukupkan diri dengan arti yang harfiah itu.

Sampai dengan SMA kelas 2, saya hampir tidak pernah memiliki teman dekat seorang pun wanita. Memang ada banyak teman wanita, tapi terbatas pada masalah-masalah pelajaran sekolah atau organisasi. Lebih dekat atau lebih intim dari itu, bisa dipastikan tidak pernah, apalagi sampai punya pacar. Sebagian besar teman-teman dekat saya adalah laki-laki. Dan sebagaimana umumnya laki-laki, berbagai bentuk komunikasi verbal seperti obrolan, pujian atau bahkan celaan sekalipun jarang ‘dimasukan’ ke hati. Nyelekit-nyelekit sedikit mah biasa, apalagi ketika SMA kelas 3, bisa dipastikan cela-mencela sudah menjadi bagian hari-hari saya. Kadang-kadang celaan yang keluar sudah tidak dipikirkan lagi apakah menyakiti hati orang lain atau tidak. Baru SMA kelas 3 saya memiliki teman-teman akrab wanita, karena belum terbiasa, saya tetap saja memperlakukan mereka seperti teman laki-laki saya yang lain. Sesekali nyela, ceplas-ceplos atau memberikan komentar-komentar yang tidak penting.

Kebiasaan tersebut berlangsung sampai sekarang. Barulah ketika kuliah saya sering mendapatkan teguran dari salah satu teman kuliah saya, seorang wanita tentunya. Pernah suatu kali dia memberitahu kalau sudah beberapa kali ucapan saya menyinggung perasaannya. Kali lain, saya juga pernah ‘diajari’ tentang bagaimana seharusnya memperlakukan wanita oleh salah seorang teman wanita saya, tapi tetap saja tidak merubah sikap saya. Akan lebih mudah jika saya yang diajak ngobrol atau disapa duluan daripada sebaliknya. Dari pengalaman yang sudah-sudah pun seperti itu, teman-teman wanita yang menjadi akrab dengan saya bisa dipastikan adalah mereka yang menyapa saya duluan.

Jika berhadapan dengan wanita yang saya sukai, bukannya tidak ingin menyapa duluan, tapi saya seringkali kehilangan akal, mau ngapain ya? mau ngomongin apa ya? saya kan tidak terbiasa basa-basi. Nanya kerjaan, udah tahu kerja di mana. Nanya rumah, udah tahu alamatnya. Bahas organisasi, beda divisi, lagipula apa urusan saya dengan divisinya si dia. Lalu kalau SMS atau telpon, mau ngobrolin apa coba? Apalagi selama ini saya tidak pernah menelpon atau SMS seseorang, entah wanita atau laki-laki, jika tidak ada urusan yang penting. Jika dengan teman-teman yang biasa saja sampai seperti itu, apalagi kepada wanita yang saya sukai. Maka, jangan heran jika bertemu orang yang saya sukai, saya seringkali menjadi dingin, karena memang tidak tahu dengan apa yang harus diperbuat. Lebih mudah jika saya dan si ‘dia’ memang ada urusan, atau karena bertemu di jalan secara tidak sengaja, tapi tetap saja, obrolan saya tidak jauh-jauh dari urusan itu. Kalau pun harus menyapa jika bertemu, paling juga pertanyaan “mau kemana?” “habis darimana?” sudah, selesai. Akan tetapi, jika saya yang disapa duluan, saya bisa jadi orang yang SKSD…sok kenal, sok deket.

Sebutkan saja sifat-sifat yang tidak romantis, mungkin ada pada saya semua. Cuek, tidak suka basa-basi, langsung pada pokok pembicaraan, jarang memuji, kurang perhatian. Bahkan kepada wanita-wanita yang pernah saya ‘bidik’ untuk menjalin ‘hubungan serius’ sekali pun. Terserahlah kata ‘hubungan serius’ itu diartikan apa, dulu mungkin pacaran, tapi sekarang mungkin pernikahan. Namun, sesungguhnya sejak dulu, bahkan sejak SMP pun, saya selalu berfikir untuk mencari istri, bukan pacar. Mungkin karena memang sejak dulu tujuan saya mencari istri, saya nggak pernah dapat pacar. Hahaha.

Saya ingat betul, sebuah kejadian ketika zamannya masih suka nyari pacar dulu :

Seseorang : “Kang, udah ya, makasih mau bantu, mau pulang dulu…

Donny : “Oh, iya, lagian udah malam…saya temenin nyebrang dan nungguin angkotnya ya?

Seseorang : “Ah, nggak usah, bisa sendiri ini…

Donny : “Oh, ya udah atuh…hati-hati…

Dan saya membiarkan ’seseorang’ itu menyebrang sendirian. Sementara dia berjalan ke pinggir jalan untuk menyeberang, saya masih duduk. Setelah menyaksikan ’seseorang’ itu menyeberang dengan selamat, saya pergi. Bahkan tidak terpikir untuk memastikan apakah ’seseorang’ itu sudah naik angkot atau belum, di malam hari. Maka, ketika saya ceritakan soal kejadian itu kepada teman-teman saya, habislah saya diceramahi.

Teman : “Ari maneh, kenapa nggak ditemenin nyebrang? kenapa juga nggak sekalian dianterin?

Donny : “Yeee…dianya nggak mau, boro-boro nganterin, ditemenin nyebrang aja nggak mau!

Teman : “Duh, maneh mah, cewek tuh pengennya dipaksa, pengennya diperhatiin, mereka mah nggak mungkin langsung nge-iya-in aja permintaan kamu…namanya juga jaim. Mereka tuh pengennya kamu ngerti sendiri meskipun nggak diungkapin dengan kata-kata.

Donny : “Ih, salah siapa, pake jaim2 segala ke saya, kalau nggak mau mah ya udah, kalau emang mau bilang aja mau, ribet amat. Trus, gimana saya bisa ngerti kalau dianya nggak ngomong? Udah jelas-jelas saya dengernya ‘nggak usah’. Emang ada arti lain dari kalimat itu? Lagian gimana coba kalau memang dia nggak mau?

Teman : “Kalau emang dia nggak mau pun, setidaknya dengan kamu maksa-maksa dia, dia ngerasa diperhatiin…dia ngerasa dibutuhkan…ngerasa diistimewakan

Donny : “Yee, udah tau saya teh paling males maksa-maksa…

Teman : “Euh, maneh mah…pantesan jomblo melulu!

Donny : “Ah, biarin weh…

Saat lainnya…

Donny : “Eh, tunggu sebentar, nanti siang ada waktu nggak, ada yang mau diobrolin, penting…

Dia : “Duh, maaf, nggak bisa, lagi sibuk…

Donny : “Oh, ya udah…

Dan saya pergi begitu saja, tanpa pernah meminta lagi. Perkara apakah si ‘Dia’ bakalan penasaran atau tidak, itu sih bukan urusan saya.

Pernah juga ada seorang wanita SMS saya, yang jelas saya ‘tidak tahu’ wanita tersebut, karena nomornya tidak terdaftar di phonebook HP saya. SMS tersebut saya balas…

Eh, ini siapa ya? maaf, saya nggak kenal nomornya, di phonebook saya nggak tercatat…

Tidak lama kemudian, wanita tersebut membalas SMS saya :

Ayooo, coba tebak, siapa…? kalau nggak bisa tebak, ntar dibilang jelek!!

Dan…jawaban saya.

Ah, udah biasa dibilang jelek…! Mau ngasih tahu nggak?

Setelah itu, tidak pernah ada lagi sms dari nomor tersebut. Mungkin jawaban tersebut terkesan jutek. Ya, sudah, saya hapus saja…beres!!

Karena sifat tidak romantis juga, seringkali muncul bermacam-macam ‘ajakan’ untuk menikah dalam pikiran saya. Dan bisa dipastikan, ‘ajakan’ itu tidak bisa disebut romantis, bahkan terkesan lurus-lurus saja.

Donny : “Eh, Neng, mau nemenin saya nggak?

Si Eneng : “Ke mana kang?

Donny : “Ke KUA neng…

Si Eneng : “Ngapain ke KUA kang…?

Donny : “Yang jelas mah bukan mau jualan bakso atau maen gapleh di sana atuh neng…!

SI Eneng : “Terus ngapain atuh kang…?

Donny : “Nikah, mau nggak?

Si Eneng : “Oh, hayu atuh kang…

Atau mungkin seperti dialog yang satu ini jika bertemu seorang wanita cantik yang baru pertama kali saya temui.

Donny : “Teteh, nama saya Donny, teteh sudah menikah?

Si Teteh : “Emang kenapa gitu?

Donny : “Jawab aja atuh teh…!

Si Teteh : “Belum.

Donny : “Kalau calon suami atau pacar gitu?

Si Teteh : “Emang kenapa sih? kok nanya-nanya itu?

Donny : “Ya, jawab aja dulu lah…!

Si Teteh : “Nggak punya juga, kenapa sih?

Donny : “Gini Teh, saya lagi nyari wanita yang nyuri tulang rusuk saya, dan saya curiga Teteh pelakunya, soalnya ciri-cirinya memang mirip sama Teteh

Dan setiap saya konfirmasikan kepada teman-teman wanita saya, bagaimana seandainya saya melakukan itu, sebagian besar menyarankan “jangan pernah melakukan itu!” Hehehe. Padahal kalau dipikir-pikir, kan seru ya? Tapi memang ada masalah lain, soal keberanian, ini yang ternyata jadi masalah buat saya juga. Selain itu, aslinya saya memang pemalu sekali jika berhadapan dengan wanita.

Bukan rahasia lagi jika wanita terkesan berbelit-belit dalam menyelesaikan masalah, karena seringkali melibatkan perasaan. Hal-hal yang menurut laki-laki sebetulnya sederhana, seringkali jadi ribet. Belanja yang oleh laki-laki hanya bisa dilakukan 5 menit, bisa jadi 50 menit. Gara-gara salah ucap, bisa seharian uring-uringan, meskipun laki-laki sudah berkali-kali minta maaf. Hanya gara-gara lupa mengucapkan selamat ulang tahun, bisa menangis tak henti-henti. Itulah sebabnya, saya sering memelesetkan lagu ADA Band yang berjudul ‘Karena Wanita Ingin Dimengerti‘ menjadi ‘Karena Wanita Ingin Dimarahi‘. Itu pula alasan saya memberi judul tulisan ini.

Satu lagi bahasa wanita yang tidak atau sulit dipahami oleh laki-laki. Menangis. Meskipun, saya berpendapat bahwa menangis adalah salah satu bentuk egoisme wanita. Coba saja lihat. Marah sedikit, nangis. Kurang suka sesuatu, nangis. Sudah jelas-jelas kalau sedih, pasti nangis. Tidak setuju, nangis. Tersinggung sedikit, nangis. Malu sedikit, nangis. Ingin makanan, nangis. Bahkan, dapat duit banyak pun, menangis juga…aneh. Lebih aneh lagi, sebagian besar laki-laki takluk oleh tangisan wanita ini, luar biasa. Dan berdasarkan pengamatan saya, setiap laki-laki akan memilih salah satu dari pilihan berikut ini : mengalah dan berusaha merayu wanita tersebut, atau…bingung! Jika laki-laki yang meninggalkan istri atau pacarnya menangis sendirian, bisa jadi dia termasuk kategori yang kedua, laki-laki yang bingung. Atau mungkin ada satu lagi yang terpikir oleh saya untuk dilakukan, membelikan balon atau permen supaya tidak menangis lagi! (emangnya anak kecil?) Ya, tapi kan nantinya wanita tersebut akan bosan juga setiap menangis dibelikan balon atau permen. Iya kan? iya kan? Hehe. Eh, tapi kalau saya melakukan itu, kok rasanya malah jadi seperti Mr. Bean ya? Hihihi.

S 3 K 3 L 0 4. 011107. 02.08.

NB : Ya Allah, udah November lagi…ck ck ck.

Labels:

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza