Psycho Avatar

Posted At Wednesday, March 28, 2007

Seri Takdir III : Bencana dan Takdir Kolektif
Selalu muncul pertanyaan dalam benak setiap orang, apakah bencana alam dan kecelakaan-kecelakaan dalam dunia transportasi kita sudah direncanakan oleh Allah? Apakah bencana alam itu suatu ujian, rahmat ataukah suatu azab?

Mengenai bencana alam seperti tsunami, gunung meletus atau gempa bumi, bisa dikatakan saya memiliki pendapat yang 'mendua'. Menurut saya, bencana-bencana alam tersebut bisa jadi memang ujian yang sudah Allah rencanakan, atau juga sebagai azab terhadap manusia. Ada 2 pendapat yang bisa saya kemukakan mengenai bencana ini. Pertama, bencana alam sudah Allah tentukan kapan waktu terjadinya pada catatanNya, tidak peduli apakah pada saat itu manusia yang tertimpa bencana tersebut dalam keadaan 'baik-baik saja' dalam artian tidak bermaksiat kepada Allah atau memang sedang bermaksiat. Bencana yang seperti inilah yang menjadi ujian bagi manusia. Bagi orang-orang yang bersabar, ujian tersebut bisa berubah menjadi rahmat, sementara bagi yang tidak bersabar bisa jadi sebuah siksaan. Di sisi lain, kita bisa menggunakan frasa 'fenomena alam biasa' untuk kasus ini.

Pendapat kedua, bencana tersebut muncul sebagai teguran atau azab bagi manusia, artinya bencana tersebut muncul akibat manusia yang sudah terlalu bermaksiat, musyrik misalnya. Sederhananya begini, katakanlah dalam suatu desa, memiliki jumlah warga sebanyak 20 orang. Dari 20 orang tersebut, 15 orang sudah menjadi musyrik. Dalam catatanNya, misalnya, jika ada 16 orang yang musyrik, maka akan terjadi gempa yang memporakporandakan desa tersebut. Selama orang yang musyrik itu tidak bertambah menjadi 16, apalagi berkurang, maka gempa itu tidak akan pernah terjadi. Ini sesuai dengan salah satu hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa suatu kaum terhindar dari azab karena ada salah seorang 'warga'nya yang mengagungkan nama Allah. Al-Quran juga memberikan beberapa contoh kaum yang memang Allah azab karena kesalahan mereka, itu artinya jika kaum-kaum itu tidak melakukan kesalahan tersebut, azab tersebut tidak akan pernah ada. Inilah yang saya sebut Takdir Kolektif.

Lalu bagaimana dengan kecelakaan semacam Adam Air dan Senopati? Seperti yang pernah saya tulis, segala sesuatu di dunia ini terikat dalam hukum sebab-akibat yang semuanya sudah diatur oleh Allah. Kehendak Allah bisa juga diartikan sebagai aturan Allah. Api padam oleh air atau kulit menjadi keriput ketika tua, itu adalah sebuah aturan, Allah sudah menentukan segalanya sesuai dengan ukuran. Karena itu, kasus-kasus kecelakaan pesawat, tenggelamnya kapal-kapal atau tergelincirnya kereta dari relnya, semuanya tunduk pada aturan ini. Disitulah peran Allah yang sesungguhnya, menentukan aturan tersebut. Allah tidak menenggelamkan kapal ataupun menggelincirkan kereta. Meskipun Allah bisa melakukan hal tersebut, tapi Allah tidak akan pernah melakukan hal tersebut. Kapal tenggelam pasti ada sebabnya, kereta tergelincir pasti ada sebabnya, dari sebab-sebab itulah manusia belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.

Oleh karena itu, saya berani mengatakan bahwa kecelakaan-kecelakaan yang terjadi sesungguhnya disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manusia yang tidak memperhatikan aturan-aturan Allah. Kita tahu, kapasitas suatu kapal terbatas, tapi kita tetap memaksakan dengan memasukan beban yang melebihi kapasitas tersebut, maka wajar jika kapal tersebut tenggelam. Itu adalah aturan. Allah tidak menenggelamkannya, tapi aturan Allah lah yang menjadikan kapal tersebut tenggelam, kehendak Allah. Disinilah fungsi akal kita, untuk mengenal dan memahami bagaimana aturan Allah itu bekerja. Orang Jepang bisa membangun gedung yang tahan gempa karena menggunakan akal mereka, perahu bisa berlayar karena manusia menggunakan akalnya. Semua itu mengikuti aturan Allah, ketika aturan itu kita langgar, bisa dipastikan akan terjadi suatu masalah, entah itu kecelakaan atau hal-hal lain yang tidak kita harapkan.

Kasus banjir-banjir yang terjadi di Indonesia adalah contoh dari bencana yang diakibatkan oleh kesalahan manusia. Banjir bisa diantisipasi bahkan dihindari, tergantung usaha kita. Sebab-sebab suatu banjir kan bisa kita 'baca'. Saluran air yang mampat, kurang lebar atau kurang dalam. Banjir juga bisa kita hindari dengan membuat drainase yang baik misalnya, dengan tidak membuang sampah di aliran sungai sehingga tidak mampat. Jika usaha-usaha tersebut sudah optimal, saya kira banjir bisa kita hindari. Kecuali, jika terjadi hal-hal yang memang di luar kekuasaan manusia, seperti hujan selama seminggu tanpa henti sehingga menyebabkan debit air 'overload', sementara seluruh usaha untuk menghindari banjir sudah optimal, barulah kita bisa 'menyalahkan' alam. Berbeda dengan gempa bumi yang hanya bisa kita prediksi kedatangannya, meskipun usaha untuk meminimalisir kerugian dan kerusakan akibat gempa bumi tetap harus kita lakukan. Dalam urusan 'menaklukan' gempa, kita bisa belajar dari Jepang. Ingat, yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir efek dari suatu bencana, bukan meniadakan efek tersebut, karena berbicara tentang fenomena alam, kita berbicara tentang kekuatan yang sulit untuk diprediksi dan berada di luar kekuasaan manusia. Hanya sebatas itulah yang bisa kita lakukan, namun apapun itu wajib dan layak untuk diusahakan.

Satu hal yang bisa saya simpulkan dari tulisan Seri Takdir ini adalah bahwa Allah mengajarkan manusia untuk selalu berusaha mendapatkan yang terbaik untuk dirinya. Kalau menggunakan istilah Andrea Hirata dalam Sang Pemimpi, kita tidak pernah bisa mendahului takdir. Kita berjalan bersamanya. Apa pun kondisi kita saat ini, kita masih bisa memperbaikinya. Kita masih bisa mengusahakannya. Tidak ada yang final sebelum mati. Ada berbagai macam pilihan, namun kita dituntut untuk selalu memilih yang terbaik.

Saya lebih suka mengatakan bahwa Allah sedang mendidik kita, Bangsa Indonesia, daripada menggunakan kata-kata ujian, azab atau siksaan. Sebagaimana halnya dalam sebuah pendidikan, ujian, hukuman atau peringatan adalah sesuatu yang lumrah. Sesuatau yang biasa. Namun, untuk bisa melewati sebuah jenjang pendidikan, kita harus melalui proses belajar yang panjang. Inilah yang harus kita lakukan, selalu belajar. Tidak hanya belajar dari kesalahan, tapi juga belajar dari keberhasilan orang lain (bangsa lain). Dalam setiap proses belajar satu hal yang menjadi pondasinya adalah membaca. Iqro! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan!

S 3 K 3 L 0 4. 17 - 27 0307.

Labels: ,

Seri Takdir II : Allah Programmer Terhebat
lSaya sempat tersentak ketika menyadari bahwa ternyata, jika apa yang saya pikirkan benar, Allah 'menulis' catatanNya persis seperti seorang programmer membuat program. Dan konsep yang digunakan adalah tree atau menggunakan if-bersarang (nested-if). Dalam dunia pemrograman komputer, konsep if merupakan salah satu 'nyawa' dari suatu pemrograman komputer. Bisa dipastikan, seluruh program (software) yang kita pakai menggunakan kondisional if dalam proses pengolahan datanya. If digunakan untuk melakukan pemilihan terhadap suatu kondisi. Sederhananya, kondisional if digunakan sebagai pengambil keputusan. Berikut ini saya gunakan sintak script PHP untuk memberikan gambaran, bagi yang tidak 'tertarik' membaca sintak di bawah ini, mohon maaf yang sebesar-besarnya, namun bagi para programmer, saya yakin sintak di bawah ini sudah tidak asing lagi.

<?php
$value = 10; // variabel value diberi nilai 10
if ( $value <= 5 ) { /*cek value, apakah nilai pada variabel
value kurang atau = 5?*/
echo "Anda tidak lulus kuliah"; /* jika ya, ditampilkan
tulisan 'Anda tidak lulus kuliah' */
} else {
echo "Anda lulus kuliah"; /* jika tidak, maka akan ditampilkan
tulisan 'Anda lulus kuliah' */
}
// karena $value bernilai 10, maka pesan yang
akan ditampilkan adalah 'Anda lulus kuliah'
?>
Adapun if-bersarang (nested-if) merupakan if yang berada di dalam if. Contoh:

<?php
// ... bla bla bla ....

if ( $sex == 'pria' ) { // awal dari if pria (level I)
if ( $kulit == 'merah' ){ // level II
echo "Anda seorang pria keturunan indian ya?";
}else if ( $kulit == 'kuning' ){ // level II
echo "Anda seorang pria keturunan china ya?";
}else if ( $kulit == 'hitam' ){ // level II
echo "Arang kali ya?";
}
} // akhir dari if pria

if ( $sex == 'wanita' ) { /* awal dari if wanita (level I),
satu level dengan if pria */
if ( $kulit == 'hitam' ){ // level II
echo "Sering-sering pake pemutih dong, non!!";
}else if ( $kulit == 'coklat' ){ // level II
echo "Masih mendingan lah...";
}
} // akhir dari if wanita
?>

Dari sintak program di atas, alur ceritanya begini... Program akan memeriksa, apa jenis kelamin anda? Ada 2 pilihan di sana, pria dan wanita. Jika kita menjawab pria, kita diberi pilihan lagi, ada 3 pilihan warna: merah, kuning dan hitam. Pesan yang dimunculkan, tegantung dari 2 jawaban kita sebelumnya. Dari 2 'pertanyaan' itu saja, kita memiliki 1 dari 5 kemungkinan jawaban. Namun, yang jelas, kita hanya akan mendapatkan 1 jawaban. Dalam hidup, 1 jawaban itulah yang kemudian dinamakan takdir kita. Bedanya dengan program komputer adalah kita tidak bisa kembali lagi untuk mendapatkan jawaban yang berbeda. Sekali kita mendapatkan jawaban itu, sudah, pilihan lain hilang. Sementara pada program komputer, kita bisa memberikan input dan menghasilkan output yang berbeda setiap saat.


Saya benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana rumitnya 'program' yang Allah buat. Bahkan jika jutaan komputer digabungkan untuk bekerja 'menjalankan program' Allah tesebut, saya jamin tidak akan pernah bisa. Berbeda dengan program buatan manusia, program buatan Allah dipastikan tidak memiliki 'bug' sama sekali. Semuanya berjalan sesuai dengan rencanaNya. Dengan cara seperti ini, saya juga bisa lebih mudah memahami apa yang dimaksud dengan 'kehendak Allah', persis sama dengan bagaimana seorang programmer merancang program yang dibuatnya. Bagaimana program itu dirancang, bagaimana pengolahan data pada program tersebut, semuanya terserah pada programmer tersebut. Dengan kata lain, apapun yang dikehendaki oleh programmer, semuanya 'dituliskan' dan 'dicurahkan' dalam program tersebut. Suka-suka programmer, itulah 'kehendak programmer', programmer rules!! Dengan begitu, programmer tersebut sudah tahu bagaimana program yang dibuatnya akan bekerja. Sedangkan user harus membaca manual book terlebih dahulu untuk bisa menjalankan program tersebut dengan benar. Dalam kehidupan kita, Allah adalah programmernya, manusia adalah usernya, kehidupan ini adalah programnya dan manual booknya adalah Al-Quran. Bagaimana user menggunakan programnya, itu semuanya menjadi tanggung jawab user. Bagaimana seseorang menggunakan 'kehidupannya', semuanya tanggung jawab manusia itu sendiri. Programmer tidak bertanggung jawab atau tidak bisa disalahkan dalam penyalahgunaan program oleh user.

Seorang programmer akan memberikan warning (peringatan) dalam programmnya apabila seorang user melakukan kesalahan dalam pengolahan data. Misalnya, salah input tipe data atau mencoba memasuki area yang terlarang. Dengan cara seperti ini, user bisa memahami, memperbaiki dan tidak mengulangi lagi kesalahannya tersebut. Begitu juga dengan apa yang Allah lakukan terhadap manusia. Adakalanya peringatan dari Allah sangat lembut, namun adakalanya terasa sangat keras. Semuanya tergantung dari besar kecilnya kesalahan yang kita lakukan.

Labels: ,

Seri Takdir I : Jaring-jaring Takdir
Sebelum membahas masalah yang menjadi inti tulisan ini, yaitu takdir, saya ingin meminta maaf buat Obenk, Opie dan Ila karena belum bisa memenuhi request tulisannya. Saat menulis ini, yang paling 'mendesak' untuk segera dituliskan adalah tentang takdir ini. Gara-garanya sewaktu chatting sama Agus Uban yang lagi kebingungan setelah membaca tentang masalah-masalah yang selalu menjadi 'serangan' orang-orang yang sinis terhadap Islam. Dan memang pertanyaan-pertanyan yang Agus tanyakan kepada saya adalah perkara yang penting dan bisa menyesatkan. Namun, dengan menuliskan ini, tidak berarti saya adalah orang yang paham sekali tentang Islam. Saya juga seringkali 'mati kutu' ketika membaca pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan Islam dan ajarannya.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjawab apa yang selalu 'dibingungkan' oleh sebagian diantara kita, tentang Takdir. Satu hal yang harus menjadi perhatian, tulisan ini bukanlah bentuk final dari pemikiran saya, suatu saat bisa berubah jika mendapatkan kritikan atau tambahan yang saya yakini kebenarannya. Sedikit sekali tulisan tentang takdir yang saya baca, karena itu hasil pemikiran ini bisa dikatakan berasal dari perenungan-perenungan saja. Tidak menutup kemungkinan juga, ada juga tulisan yang serupa dengan tulisan saya ini. Beberapa saat lalu, saya juga pernah menuliskan tentang takdir di blog ini. Namun, pendekatan kali ini sedikit berbeda.

Saya membagi tulisan ini menjadi beberapa sesi. Setidaknya, melalui tulisan Seri Takdir ini, saya bisa berbagi pemahaman. Pendekatan yang saya gunakan dalam tulisan ini sebetulnya cukup umum, namun seringkali tidak kita sadari. Satu hal yang saya yakini adalah..."inilah yang sebenarnya". Coba saja pertemukan pemahaman saya dalam tulisan ini dengan ayat-ayat Al-Quran atau Hadits, insya allah tidak ditemukan pertentangan. Namun, saya selalu terbuka untuk perbaikan-perbaikan, karena pikiran manusia tidak sempurna, apalagi dengan informasi yang terbatas. Saya juga tidak tahu apakah tulisan-tulisan ini mudah dipahami atau tidak, yang jelas saya sudah berusaha untuk menuliskannya dengan bahasa yang mudah dipahami.

Sederhananya, inti dari pertanyaan Agus adalah "Jika segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Allah dalam catatanNya, bahkan daun yang jatuh sekalipun, lantas untuk apa kita berusaha? untuk apa kita berdo'a? Apakah itu berarti, misalnya, suami-istri yang bercerai juga sudah ditetapkan oleh Allah harus bercerai?"

Satu hal yang menjadi sorotan saya adalah pemahaman mengenai 'catatanNya'. Apakah catatan/ketetapan itu menentukan bagaimana 'pastinya' kehidupan seseorang dari sejak lahir sampai meninggal? Misal, si A sudah dipastikan untuk menjadi pengacara, si B sudah dipastikan jadi pelacur, atau si D sudah dipastikan mati karena dibunuh. Jika seperti itu kenyataannya, Anda berhak untuk mengatakan bahwa Allah tidak adil. Akan tetapi, logika sederhana saya tidak 'mengatakan' seperti itu.

Menurut saya, isi catatanNya berbentuk persis seperti jaring laba-laba (web), atau jaringan jalan atau dalam Ilmu komputer dikenal dengan konsep tree. Setiap titik dan detik kehidupan yang kita lalui berisi berbagai macam pilihan. Misal, kita bertemu dengan seseorang yang menarik hati kita di angkot, ada berbagai kemungkinan yang bisa kita lakukan. Kita bisa mencoba berkenalan, bisa juga cuma sekedar 'ngelihatin' aja, kita cuekin, kita beri senyuman, atau misalnya kita tampar. Itu semua adalah berbagai macam kemungkinan yang bisa kita lakukan. Pilihan manapun yang kita ambil, akan memberikan 'efek' yang berbeda dalam hidup kita. Jika kita berkenalan, bisa jadi kita dapat nomor telepon rumahnya. Namun, jika kita tampar dia, tentu hasilnya belum tentu sama. Nah, berbagai kemungkinan inilah yang sebenarnya menjadi catatanNya tersebut.

Lebih mudah jika kita memisalkan sedang berada di sebuah persimpangan jalan. Kita hanya boleh memilih satu jalan, kita tidak pernah tahu apa yang ada di sepanjang jalan-jalan tersebut. Sekali kita memilih salah satu jalan yang ingin, kita tidak bisa kembali. Setiap jalan berakhir pada ujung yang berbeda. Adakalanya, di jalan yang kita pilih, kita dihadapkan lagi dengan persimpangan lain. Terus seperti itu. Suka atau tidak suka dengan 'pemandangan' dan 'fasilitas' yang ada di jalan yang kita pilih, itulah pilihan kita. Itulah takdir kita. Perkaranya adalah kita dituntut untuk memilih jalan yang benar, jika pilihan kita salah, maka dipastikan kita akan menyesal selamanya. Nah, untuk memilih jalan yang benar tersebut, Allah sudah menempatkan petunjukNya. Seringkali kita sudah tahu dengan petunjuk tersebut, tapi kita sering mengabaikan petunjuk tersebut. Inilah yang menjadikan seseorang tersesat di suatu jalan.

Jadi, sebetulnya untuk satu orang saja, ada berbagai macam kemungkinan yang dicatat olehNya. Ada berjuta kemungkinan yang bisa terjadi dalam diri kita, segalanya tergantung pilihan-pilihan kita. Satu pilihan kita ambil, itulah yang menjadi takdir kita. Allah hanya menetapkan berjuta-juta pilihan dan hasil dari pilihan tersebut dalam catatanNya, kita lah decision maker nya. Maka, disinilah luar biasanya Allah. Untuk satu orang saja ada jutaan kemungkinan, apalagi mengatur kemungkinan-kemungkinan berjalannya alam semesta ini. Itu berarti ada jutaan kemungkinan juga bagaimana kehidupan manusia ini bisa berjalan.

Maka, dengan konsep ini, saya meyakini ada ribuan kemungkinan kita menikah dengan orang yang berbeda, ada jutaan kemungkinan cara kita mati, ada jutaan kemungkinan juga kita mendapatkan rezeki. Semuanya tergantung kepada apa yang menjadi pilihan kita. Pilihan manapun yang kita ambil, Allah sudah tahu bagaimana nasib kita selanjutnya, karena Allah sudah mencatat kemungkinan-kemungkinan itu. Dengan kata lain, mungkin, Allah hanya sedang 'menonton' saja saat ini, karena segala kemungkinan sudah tercatat. Sementara 2 malaikat yang setia mengikuti kita hanya membantu 'menandai' pilihan kita, persis seperti kita mengerjakan pilihan berganda, hanya saja pilihannya luar biasa banyaknya.

Satu hal yang paling menarik dari konsep ini adalah bahwa kematian selalu terselip di setiap kemungkinan itu. Di setiap 'persimpangan jalan', kita selalu dihadapkan dengan pilihan atau kemungkinan untuk mati. Sungguh benar apa yang Rasulullah ajarkan bahwa kematian sangat dekat dengan kita. Dengan kata lain, dalam setiap detik yang kita lalui, kita selalu dihadapkan dengan kemungkinan untuk mati. Itu artinya, bagaimana kita mati ditentukan juga oleh pilihan-pilihan hidup kita. Dengan kata lain, mati juga bisa menjadi pilihan kita. Maka, kemudian kita kenal mati khusnul khotimah dan su'ul khotimah dalam Islam. Kedua jenis kematian tersebut tergantung dengan apa yang kita lakukan selama hidup kita. Oleh karena itu, kematian khusnul khotimah bisa diusahakan. Bahkan, 'kemungkinan' anda bunuh diri setelah membaca tulisan ini pun sudah tercatat. :D Hal ini juga berarti bahwa panjang umur juga bisa diusahakan.

Sebagai contoh, seseorang yang mati karena gangguan jantung yang diakibatkan oleh tidak pernah berolahraga. Jika saja orang tersebut sering melakukan olahraga, maka belum tentu orang tersebut mati karena gangguan jantung. Atau orang yang mati karena tertabrak kereta, dia akan tetap hidup jika tidak berjalan di rel kereta tersebut. Namun, di titik manapun kita berada saat ini, toh kita tetap tidak pernah tahu bagaimana dan kapan kita mati, tapi Allah bahkan sudah menetapkan seluruh kemungkinan kondisi kematian kita.

Kemungkinan kita berdo'a juga sudah tercatat dalam catatanNya. Oleh karena itu, menurut saya, bentuk pengabulan do'a tersebut pun sudah tercatat. Bagaimanapun, berdo'a juga adalah sebuah pilihan. Benarlah sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa do'a setiap hamba itu dipastikan terkabul, kecuali orang-orang yang 'memakan' harta haram. Jadi, terkabul atau tidaknya do'a yang kita ucapkan kepada Allah juga tergantung dari bagaimana kondisi kita ketika berdo'a.

Labels: ,

Posted At Tuesday, March 27, 2007

Vote!!

Beberapa saat lalu, atas saran dari Kang Shodiq, saya memberanikan diri untuk mengikutsertakan beberapa tulisan saya dalam Pemilihan Top Posts Jan-Feb 2007, dimana beliau sebagai penyelenggaranya. Tulisan-tulisan yang saya ikutsertakan adalah :



http://psychoavatar.blogspot.com/2007/01/segelas-teh-hangat.html http://psychoavatar.blogspot.com/2007/01/cinta-keimanan-dan-kemerdekaan.html
http://psychoavatar.blogspot.com/2007/02/pulpen.html

Dan...surprise...surprise. Setelah membaca postingan terbaru Kang Shodiq, dua tulisan saya, Pulpen dan Segelas Teh Hangat masuk menjadi nominasi. Whehehe. Pulpen masuk dalam kategori Holistic, sementara Segelas Teh Hangat masuk ke dalam nominasi di kategori Critical. Adapun tulisan yang lain, Cinta, Keimanan dan Kemerdekaan tidak masuk nominasi. Padahal tulisan itu yang paling saya jagokan.

Ada beberapa kemungkinan tulisan saya masuk nominasi. Pertama, karena memang bagus, itu berarti sebuah 'pengakuan' untuk tulisan saya. Dan yang kedua, bisa jadi karena yang menyertakan tulisan dalam kategori tersebut sedikit, itu berarti tulisan saya 'terpaksa' jadi nominasi. Heu3x. Namun, apapun itu, ada perasaan 'bangga' dan 'senang' dalam diri saya. Hmm, pantesan ya penulis-penulis yang bisa menerbitkan buku bisa menjadi sangat bahagia.

Ada beberapa kemungkinan juga tulisan yang lain tidak masuk nominasi. Bisa jadi karena tulisan 'pesaing' lain lebih baik dan bisa jadi saya salah memasukan kategori. Kalau yang pertama yang terjadi, saya kalah terhormat. Kalau yang kedua, itu karena 'ketololan' saya :))

Agak 'berat' untuk menjadi pemenang sebetulnya. Tulisan saya bersaing dengan tulisan-tulisan yang ternyata jauh lebih baik. Ada tulisan mbak Lita yang bersaing dengan Segelas Teh Hangat, yang menurut saya isinya jauh lebih menarik. Tulisan-tulisan lain pun tidak kalah menarik dan berbobot.

Bagi saya, hal ini bisa jadi sebagai sebuah 'hiburan', setelah dalam beberapa kali 'perlombaan' , tulisan saya 'kalah bersaing'. Pertama, sewaktu mbak Asma Nadia mengadakan tulisan tentang poligami, kemudian ketika Kang Shodiq mengajak saya untuk menyumbang tulisan tentang 'Muslim Romantis'. Namun, bagi saya hal tersebut tidak pernah terlalu mengganggu pikiran saya. Saya masih pemula dalam dunia tulis menulis, masih harus banyak belajar. Jujur saja, tulisan saya pernah dikoreksi habis-habisan oleh seorang calon Sarjana Bahasa Indonesia :D Namun, manfaatnya terasa. Belakangan, tulisan saya jadi lebih enak dibaca, katanya.

Intinya, kalau ingin ikut serta jadi juri, segera kunjungi http://muhshodiq.wordpress.com/2007/03/24/pemilihan-top-posts-jan-feb-2007/. Penjurian hanya dibuka dari tanggal 26 - 31 Maret 2007 dan terbuka untuk siapapun. Meskipun kalau menurut saya terlalu pendek waktunya, karena untuk membaca seluruh tulisan tersebut bisa menghabiskan waktu 'seharian'. Apalagi kalau yang di warnet. :D

Kalau boleh 'memaksa', saya ingin memaksa Anda untuk memberikan suara pada tulisan saya. Heuheuheu. Namun, itu tidak akan saya lakukan. Jika Anda punya waktu luang lebih banyak, jadilah juri, baca semua tulisan di sana, dan pilihlah yang menurut Anda tulisan terbaik. Ada banyak tulisan bagus, sayang kalau Anda lewatkan begitu saja. :) Selamat membaca.

S 3 K 3 L 0 4. 270307.
Ditulis ngedadak.

Labels:

Posted At Friday, March 16, 2007

Istiqamah Kuadrat TM
Istiqamah, arti sederhananya komitmen, konsisten, berkesinambungan, kontinyu. Arti-arti tersebut tidak saya dapatkan dari kamus, asal saja, diartikan sakadaek (semaunya), karena memang dalam praktiknya istiqamah merujuk kepada kata-kata itu. Untuk membangun sebuah konsistensi dalam diri kita ternyata bukan hal yang mudah tapi juga tidak terlalu sulit sebetulnya. Masalahnya, untuk membangun sebuah konsistensi, diperlukan komitmen, ketekunan, kegigihan, kesabaran, keteraturan dan konsisten itu sendiri. Itulah sebabnya saya menggunakan istilah Istiqamah KuadratTM, karena untuk bisa istiqamah (konsisten), kita juga harus bisa istiqamah untuk tetap istiqamah.

Dalam sebuah hadits kan ada ungkapan "Allah menyukai seseorang yang melakukan sesuatu yang meskipun sedikit, tapi dilakukan secara terus menerus (dawam)". Dan hadits tersebut juga tidak hanya merujuk kepada urusan ibadah-ibadah utama, tapi juga kepada urusan-urusan dunia yang, tentu saja, tidak menyalahi aturanNya. Maka, sederhananya, Allah menyukai orang-orang yang konsisten. Konsistensi juga yang membedakan orang-orang sukses dan tidak.

Sebagai contoh, saya sendiri. Saya orang sukses? Oh, sayang sekali belum. Untuk saat ini, biarlah saya merelakan diri masuk kategori orang-orang yang belum sukses. :D Mungkin, bagi yang kebetulan lewat blog ini, dan membaca tulisan ini, dalam benaknya ada pikiran "Siapa Elu yang merasa perlu dijadikan contoh??" ;)). Jawabannya "inikan blog gua, suka-suka gua dong mau nulis apa pun!! :p" meskipun saya juga sadar blognya masih numpang di tempat yang gratisan. Nah lho, kok jadi nulis ginian? Itu artinya saya sedang tidak konsisten. Masih nyambung kan? :))

Tanya : Kenapa belum sukses?
Jawab : Karena sampai saat ini, belum ada satu pun target-target saya yang tercapai.
Tanya : Masalahnya apa?

Nah, untuk jawaban ini, saya bisa saja mengatakan banyak sekali masalahnya. Namun, ternyata setelah saya renungkan dan saya rumuskan, ternyata masalah utamanya adalah selama ini saya tidak konsisten. Belum bisa istiqamah, kurang sabar. Lalu, setelah saya telusuri lagi, ternyata masalahnya adalah saya belum memiliki komitmen untuk itu. Belum lagi bicara tentang tidak adanya skala prioritas yang menjadikan saya tidak fokus terhadap target-target saya. Jadi, dalam kasus saya, dan mungkin juga kebanyakan diantara kita, fokus, skala prioritas, komitmen, sabar dan konsisten, semuanya berhubungan. Salah satunya terabaikan, menjadikan sebuah ancaman terhadap kegagalan pencapaian target.

Sampai saat ini 'kata-kata' tersebut memang belum menjadi bagian dari diri saya. Selama ini saya lebih suka untuk jadi orang yang 'dinamis' daripada yang 'statis'. Bagi saya, coding seharian, misalnya, adalah sesuatu yang membosankan. Saya lebih iri melihat Riyani Djangkaru dengan acara Jejak Petualangnya, atau melihat fotografer yang dikirim bertugas ke luar negeri, daripada jadi programmer yang handal. Sampai saat ini, hal-hal yang saya 'cintai' adalah main sepak bola dan online di internet. Hanya saja sepak bola kan perlu tim, jadi tidak mungkin main sepak bola sendirian, karena itu sudah jarang dilakukan. Maka, jika saja di kostan saya ada koneksi internet, mungkin saya tidak akan pernah keluar dari sana.

Ada puluhan ebook tentang programming dan komputer di komputer saya. Dengan jumlah yang banyak itu, seharusnya saya sudah menjadi orang yang 'pintar' dalam bidang itu. Kenyataannya tidak seperti itu. Lagi-lagi, masalahnya adalah saya tidak bisa bersabar dalam melahap dan mempraktikan isi ebook tersebut. Meskipun saya menyadari kondisi tersebut sudah sejak lama, namun perbaikan ke arah itu belum pernah saya lakukan, jadinya begini, tidak terjadi perubahan yang terlalu signifikan setiap tahun.

Fokus adalah masalah saya yang lain. Selama ini pikiran saya seperti meloncat-loncat, mood-mood an. Hari ini ingin mengerjakan ini, besok ingin mengerjakan yang lain lagi. Suatu saat, Chris, teman saya pernah 'bertanya' kepada saya sewaktu melihat judul-judul buku yang ada di kamar saya. "Don, sebenernya lu tuh pengen 'kemana' sih? buku-buku lu tuh nggak berhubungan sama sekali." Itu karena buku saya macam-macam jenisnya, meskipun yang terbanyak sebetulnya buku-buku tentang Islam. Bagi Chris, mungkin buku-buku saya dijadikan parameter tujuan hidup saya. Karena tidak fokus, saya misalnya belum menemukan yang benar-benar 'cocok' untuk saya, sementara orang lain dengan 'start' yang sama dengan saya sudah lebih expert.

Hanya sedikit buku-buku manajemen yang saya baca. Prinsip-prinsip manajemen saya rasakan pentingnya justru dari diskusi atau sekedar ngobrol dengan teman-teman yang sebetulnya memiliki masalah yang sama. Devies, teman kuliah saya yang umurnya 5 tahun lebih tua, pernah mengingatkan agar kita bisa 'menikmati' kebosanan dalam mengerjakan sesuatu hal. Belum lama, sewaktu diskusi dengan beberapa teman SSG, saya juga mendapati permasalahan yang sama. Bahwa waktu yang kita miliki ternyata tidaklah banyak untuk bisa 'menguasai' berbagai hal. Maka, dari situ kesadaran saya terhadap skala prioritas dibangkitkan lagi. Bukan tidak pernah saya mendengar atau membaca 'kata-kata' itu, tapi saya baru menyadari pentingnya 'kata-kata' itu saat ini.

Setelah melakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan dalam diri saya, maka saya tersadarkan untuk mencoba bersahabat dengan 'kebosanan' dalam mencapai tujuan-tujuan saya. Saya mulai menyusun target dengan skala prioritas, lebih difokuskan, lebih terstruktur dan mencoba untuk 'mencintai' apa yang saya kerjakan. Dan itu memang saya rasakan tidak mudah, godaannya banyak. Saya juga mulai menentukan standar-standar yang harus saya capai, dan itu berarti ada banyak hal dalam diri saya yang harus saya perbaiki dan ditingkatkan. Dan ternyata, semua hal itu adalah hal-hal kecil yang selama ini saya anggap sepele. Ada beberapa standar yang ingin saya capai. Misalnya, standar sebagai seorang muslim ideal, standar fisik, standar intelektual. Tentu tidak mungkin saya memperbaiki semuanya sekaligus, harus dilakukan secara bertahap. Contoh, jika selama ini jarang sekali shalat berjamaah, maka untuk satu bulan ke depan, harus bisa shalat berjamaah setiap waktu. Jika shalat berjamaah ini sudah menjadi bagian dari diri kita (karakter), maka kita bisa fokus ke masalah lain, misalnya puasa sunat.

Reward dan punishment juga diperlukan untuk menjaga agar kita tetap konsisten dengan apa yang kita lakukan. Dari contoh shalat berjamaah tadi, jika sekali saja saya tidak melakukan shalat berjamaah, maka sebagai hukumannya saya harus push up 1000x, jika dalam sebulan itu target tercapai, maka saya bisa makan di restaurant yang agak mahal. Ini hanya contoh. Masalahnya, kita juga harus tetap konsisten dalam menghukum diri ini, untuk bisa keras pada diri sendiri, kita mungkin lebih enggan untuk melakukannya. Namun, justru disinilah sekali lagi konsistensi kita diuji. Sebetulnya lebih mudah jika ada watcher (pengawas) dalam hal memberikan hukuman ini. Jadi, sebetulnya, ada benarnya juga proses mentoring dan kaderisasi yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam di Indonesia ini. Kalau sistemnya lebih baik, proses mentoring tidak hanya sekedar sebagai media 'pencerahan' atau ajang curhat, tapi juga bisa sebagai pembentuk karakter seseorang. Hmm, lagi-lagi saya tersadarkan tentang pentingnya masalah ini. Watcher bisa siapa saja: teman, kakak, adik, istri atau suami. Yang jelas seorang watcher adalah orang-orang yang bisa kita mintai 'tolong' dalam proses perbaikan diri. Masalahnya, kita juga seringkali tidak jujur untuk mengakui kesalahan-kesalahan kita di depan orang lain.

Belum lama ini, ketika mengikuti sebuah pengajian rutin, saya dibuat tercengang dengan apa yang pemateri lakukan dalam menghukum dirinya. Beliau bercerita, ketika targetnya tidak tercapai, maka dia akan menghukum dirinya dengan 'menunda' menggauli istrinya. Beliau juga bercerita tentang bentuk hukuman yang dilakukan oleh temannya yang konon sudah menjadi ustadz yang terkenal di Bandung karena hafal 30 juz Al-Quran. Selama proses menghafal Al-Quran, ustadz tersebut berjanji untuk tidak tidur di kasur selama target hafalannya belum tercapai, tapi tidur di lantai. Hal ini serupa dengan apa yang Patih Gadjah Mada lakukan dengan sumpah palapanya. Sejarah mencatat, Gadjah Mada adalah seorang patih dari Majapahit yang bercita-cita untuk menyatukan Nusantara. Selama belum tercapai cita-citanya tersebut, Gadjah Mada bersumpah untuk tidak makan apapun yang mengandung garam (CMIIW). Padahal, sebagian besar makanan di Indonesia dipastikan menggunakan garam sebagai bumbu utamanya. Itupun bentuk sebuah punishment(hukuman) terhadap diri sendiri.

Pyuuuuh. Ternyata 'perjalanan' saya masih sangat panjang ya? Saya harus keras pada diri sendiri. Ada berbagai macam karakter negatif yang ingin saya ganti dengan karakter positif, dan karakter positif yang ingin saya tingkatkan. Anehnya, karakter positif dalam diri seseorang cenderung lebih mudah dan cepat digantikan dengan karakter negatif. Sementara untuk menggantikan karakter negatif dengan positif dibutuhkan perjuangan ekstra keras dan membutuhkan lebih banyak waktu.

Berbicara tentang proses pengenalan diri, berbicara tentang kelebihan dan kekurangan kita dan bagaimana memperbaiki atau meningkatkannya, mungkin dibutuhkan waktu seumur hidup kita sebetulnya. Maka disinilah pentingnya skala prioritas, proses memilih dan menentukan di jalur mana kita akan berjalan. Lalu setelah itu kita mantapkan pilihan kita dengan komitmen kita terhadap pilihan tersebut. Selanjutnya, istiqamah di jalur tersebut, dan untuk itu diperlukan kesabaran tingkat tinggi, kegigihan, ketekunan, keuletan, antusiasme dan semangat pantang menyerah. Haduh, gawat, saya udah ngomong kayak motivator dan trainer hebat aja nih. :))

Siapapun mereka yang kita kenal sebagai orang-orang yang hebat atau sukses, pasti melewati proses-proses ini. Zinedine Zidane, Valentino Rossi, AA Gym, Bill Gates. Saya jadi teringat sewaktu ketika masih SMP dulu. Saya dan teman-teman PMR saya waktu itu mencatat sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Juara I lomba P3K se-Bogor (Kodya Bogor dan Kabupaten Bogor). Namun, 2 bulan sebelum mencapai prestasi tersebut adalah sebuah proses panjang yang melelahkan, membosankan dan memalukan. Tiada hari tanpa latihan, bahkan di hari minggu sekalipun. Tidak peduli hujan atau panas, bahkan saya nyaris tenggelam ketika latihan di sungai. Ketika sedang panas terik, es kelapa menjadi begitu sangat nikmat...(plak!! kenapa jadi nulis ini ya? :D) Tidak jarang juga terjadi perselisihan dalam tim. Diantara teman saya malah ada yang kemudian bermasalah dengan orangtuanya, atau dengan pacarnya gara-gara latihan itu. Namun, hasilnya justru terasa pada saat perlombaan. Semuanya terasa 'biasa' saja dalam perlombaan itu, bahkan kami masih bisa melakukan perlombaan sambil tertawa dan...menertawakan tim lain. :)) Maka, gelar Juara I saya rasa sangat layak kami sandang, bukan sebagai penghargaan pada saat perlombaan tersebut, tetapi sebagai penghargaan atas 'kerja keras' ketika persiapan menuju perlombaan tersebut.

Sebetulnya 'kata-kata' itu sering kita temukan dalam buku-buku psikologi atau manajemen. Juga di pelatihan-pelatihan dan ceramah-ceramah. Namun, bagi saya sendiri selama ini, saya kira 'kata-kata' itu bukan hal yang penting-penting amat. Sampai akhirnya saya merasakan sendiri pentingnya 'kata-kata' itu dalam karakter diri saya. Musuh terbesar dari bisa tidaknya kita konsisten adalah diri kita sendiri, atau mungkin lebih spesifiknya adalah sifat malas dalam diri kita. Saya merasakan betul bagaimana kemalasan mengalahkan 'kata-kata' itu semua.

Untuk membangun sebuah konsistensi dalam diri kita memang harus melalui proses yang panjang dan pahit. Tidak jarang kita harus mengorbankan banyak hal juga, kesenangan, rasa nyaman, rasa aman, jam tidur. Namun, seperti yang sudah terbukti pada banyak orang, konsistensi memang menghasilkan buah yang 'manis'. Benar kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu...mati kemudian! :)) Saat ini, saya memang sedang menyiapkan standar-standar yang ingin saya capai. Setelah standar-standar itu ada, baru kemudian menentukan langkah-langkah 'kecil' yang akan saya ambil. Setelah mencoba-coba melakukan analisa SWOT, ternyata...karakter negatif saya lebih dominan daripada karakter positif saya. Pantas saja saya merasa 'kacau' sekali belakangan ini. Jadi, saya memang harus 'bekerja' lebih keras untuk mengejar ketertinggalan saya, selain itu juga saya harus berpacu dengan waktu yang belakangan ini terasa terlalu cepat buat saya. Whew...SEMANGAT!!

S3K3L04. 130307. 23.46.

Labels: , , , ,

Copyright © 2006 Bom Bye
Design : Donny Reza