Dua Wanita : Sepenggal Cerita Masa Lalu
Dulu saya pernah membuat sebuah tulisan mengenai kedekatan saya dengan 2 orang wanita yang merupakan teman sekelas, katakanlah A dan B, dua-duanya merupakan junior saya di kampus. Namun, tulisan itu ada di blog saya yang lama, di spymac. Dua-duanya cantik, berjilbab dan ketika itu sedang melalui tahapan proses untuk menjadi wanita sholehah. Dan sialnya, saya 'menyukai' dua-duanya...(dasar maruk!!). Saya lebih dulu mengenal dan dekat dengan B daripada A. Namun, sampai 2,5 tahun selanjutnya, A yang lebih dekat dan sering berinteraksi dengan saya. Sementara dengan B, sudah tidak pernah ada komunikasi sama sekali. Beginilah ceritanya...(halah!!)
A lebih dulu memakai jilbab, ketika kelas 2 SMA. Melalui proses mimpi menghadapi kematian, dia tersadarkan bahwa sebuah kematian itu sangatlah dekat, sementara dia ketika itu, masih merupakan seorang perempuan remaja yang bandel, tukang 'berantem', labrak sana-sini, anak band, tukang kabur dari sekolah dan musuh anggota DKM di sekolahnya. Maka setelah kejadian mimpi itu, esoknya, dia langsung memakai jilbab dan langsung mendatangi anggota DKM untuk bergabung dengan mereka. Terheran-heran lah orang-orang DKM.
Sementara B, dia menggunakan jilbab setelah lulus SMA. Meskipun tidak 'segarang' A, B juga memiliki latar belakang yang tidak terlalu berbeda sebetulnya, seorang drummer, tipikal anak gaul, anak basket, cuek, meskipun sebetulnya sangat sensitif, dan berasal dari keluarga broken home yang bahagia, bingung kan??. B menggunakan jilbab lebih dikarenakan pengaruh dari kakak-kakaknya yang berjilbab dan telah lebih dulu mengenal islam dan terjun ke dunia dakwah. Ketika pertama kenal, B masih menggunakan jilbab yang 'seadanya' dan masih lebih suka memakai celana jeans. Sampai suatu saat, ketika kami sedang ngobrol, lewatlah seorang perempuan yang memakai gamis. Lalu tiba-tiba, keluarlah celetukan saya, "Berani nggak pakaiannya kayak itu ?", sambil menunjuk kepada perempuan ber-gamis yang baru saja lewat. "Wah, belum berani ah...eh, tapi kalau ntar Ramadhan mungkin saya mau pake, tapi nggak kayak gitu ah, cuma ganti aja celananya pake rok". Memang kejadian tersebut terjadi beberapa minggu menjelang Ramadhan. "Ya udah, beneran ya..? saya tunggu buktinya...!", tantang saya.
Ternyata dia memang benar-benar membuktikannya. Awal ramadhan, kami janjian untuk bertemu di Perpustakaan kampus, karena biasanya dia selalu meminta bimbingan saya ketika mengerjakan tugas-tugasnya di perpustakaan. Tiba-tiba saja dia menyuruh saya, "Kang, coba lihat ke bawah...! Cocok nggak ?". Antara kagum dan kaget, tidak banyak yang bisa saya katakan, "Oh...Ternyata, beneran mau pake juga...". "Tapi cuma bulan Ramadhan aja ah...", katanya. "Terserah aja, kamu ini yang pake baju". Namun, hal tersebut tidak terbukti, karena selanjutnya dia lebih 'menyukai' untuk menggunakan rok, dan selanjutnya tidak pernah sekalipun saya menyaksikan dia memakai lagi celana jeans nya. Dan bahkan setiap saat, pakaiannya jauh lebih baik daripada sebelumnya. Tentu saja, itu menjadikan dia lebih cantik dan anggun. Saya sendiri tidak pernah merasa perubahan yang terjadi dikarenakan tantangan saya. Saya menduga, dia memang sudah memiliki rencana untuk itu, dengan adanya tantangan dari saya, dia merasa ada semacam "penguat" untuk melanjutkan rencananya, atau mungkin ketika Ramadhan itu lah dia mendapatkan "kekuatan" untuk berubah menjadi muslimah yang lebih baik. Wallahualam.
Namun, justru setelah Ramadhan, saya merasakan perubahan sikap dari dia, tapi tidak pernah saya tanyakan atau permasalahkan kepada dia. Saya berpura-pura untuk tidak mengetahui perubahan tersebut, saya bersikap biasa-biasa saja, seperti sebelumnya. Namun, semakin hari, komunikasi kami pun menjadi semakin 'tidak biasa', tidak lancar lagi dan tidak banyak lagi yang bisa kami bicarakan. Sampai suatu saat, saya membaca surat yang dia ketik dan simpan di disket saya yang dia pinjam. Tahulah saya bahwa ternyata dia terganggu dengan sikap dan pandangan orang lain terhadap hubungan kami berdua. Dia terganggu dengan selalu dihubung-hubungkannya dia dengan saya, seolah-olah kami pacaran. Apalagi ketika itu, dia baru saja memakai jilbab, dan dia tidak ingin memiliki penilaian negatif seperti itu. Saya sebenarnya sudah menyadari hal itu, tapi saya tidak pernah menganggap hal itu sebagai masalah yang besar, karena kenyataannya kami memang tidak pacaran.
Akhirnya, kami sepakat untuk membatasi komunikasi kami. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah PHK (Pemutusan Hubungan Komunikasi). Kami tidak pernah lagi sms-an, apalagi ngobrol. Pernah suatu saat saya mengajak untuk membicarakan masalah ini, namun ternyata dia menolak. Meskipun terasa berat, akhirnya saya terpaksa mengikuti keinginan dia. Maka sejak saat itu, sampai hari-hari selanjutnya, tidak pernah sekalipun kami berkomunikasi lagi, bahkan jika kami bertemu di jalan, seperti bertemu musuh saja, diam. Pernah suatu saat ingin menyapa, tapi tidak pernah bisa, karena enggan dan takut. Selanjutnya lebih parah lagi, saling menghindar. Saya merasa hal tersebut sebagai suatu beban, karena saya bukanlah orang yang suka memutuskan silaturahim. Namun, pada akhirnya saya berusaha memahami pilihan yang dia ambil, dengan harapan suatu saat hubungan kami akan menjadi baik. Saya pikir, mungkin itu adalah suatu proses pendewasaan untuk kami. Maka, saya pun memutuskan untuk tidak lagi peduli dengan dia. Bahkan ketika saya bertemu dengan dia dan teman-temannya, saya hanya menyapa atau ngobrol dengan teman-temannya saja, karena meskipun ada 'masalah' dengan dia, saya tidak memiliki masalah apa-apa dengan teman-temannya.
Berbarengan dengan mulai renggangnya hubungan saya dan B, saya mulai kenal dengan A. Seperti halnya dengan B, hubungan kami pun dimulai karena adanya keperluan mengenai tugas dan berbagai permasalahan kuliah. Ketika itu, saya memang sering dijadikan tempat konsultasi mengenai permasalahan kuliah dan tugas-tugas kuliah oleh adik tingkat saya di jurusan. Selain alasan itu, hubungan kami semakin dekat karena kami termasuk pendiri salah satu sebuah organisasi dakwah di kampus, meskipun sebagian besar hubungan kami karena keperluan konsultasi perkuliahan. Seperti pada B, pada A pun muncul desas-desus serupa. Untungnya, si A ini termasuk cuek dengan desas-desus semacam itu. Sehingga tampak tidak pernah dijadikan beban, malah dia bilang, "Biarin aja digosipin gitu mah, saya kan malah jadi tenar...hehehe". Soal sikap dia, saya juga mungkin termasuk tipikal orang yang tidak peduli dan cuek dengan desas-desus atau gosip semacam itu. Biarkan saja, saya pikir tidak ada untungnya juga buat saya untuk meributkan hal-hal semacam itu.
Meskipun usia keduanya sama, tapi A lebih dewasa daripada B. A lebih peduli terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat, sementara B masih sering terbawa-bawa oleh teman-temannya yang cenderung hedonis. Namun, keduanya mampu memberi warna terhadap suasana kelasnya. Keduanya memang cantik, sehingga mampu menarik perhatian banyak laki-laki. Misalnya saja, A seringkali ganti nomor HP karena banyak yang miskol, atau ada yang ngajak kenalan lewat HP. Akan tetapi, keduanya juga nampak memiliki persaingan terselubung, mungkin karena keduanya cantik dan menjadi 'sentral' perhatian di kelasnya. Dan lucunya, A menganggap saya menyukai B, dan B menganggap saya menyukai A, padahal saya menyukai keduanya Hehehe...:p Sebetulnya, ketika saya berinteraksi dengan A, tidak pernah sekalipun saya membicarakan B, dan juga sebaliknya.
Namun, semakin sering saya berinteraksi dengan A, saya justru tidak ingin menjadikan dia lebih dari sekedar 'seorang' adik. Sehingga pada akhirnya hubungan saya dan A menjadi hubungan yang biasa-biasa saja, bukan hubungan yang terlalu istimewa. Bahkan, pada akhirnya, A lebih banyak curhat tentang perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya pada saya. Dan layaknya orang yang dicurhati, saya pun memberikan saran-saran kepada dia. Hingga akhirnya, setelah Idul Fitri 1427 H, A menikah dengan lelaki yang dijodohkan oleh orang tuanya.
Ketika menghadiri pernikahan A inilah, terjadi sebuah kejadian yang membuktikan bahwa, time will heals everything. Sudah saya duga, B akan menghadiri walimahan A, karena mereka adalah teman sekelas. Saya hadir bersama seorang teman saya, dan B juga hadir bersama teman-teman sekelasnya. Seperti sebelumnya, saya hanya menyapa dan mengobrol dengan teman-temannya. Tapi, tidak dengan B, karena saya pikir, B belum ingin untuk 'berbaikan' dengan saya. Toh kalaupun memang tidak ingin berkomunikasi lagi, akan lebih baik untuk kami berdua. Lagipula, saya sudah benar-benar tidak peduli lagi dengan apa pun tentang B.
Namun, ketika sedang mengantri untuk memberi selamat kepada pengantin, yaitu A dan suaminya, salah seorang teman dekat saya, yang juga teman sekelas B menghampiri mendekati saya, dan bicara di belakang saya.
"Kang, ada yang minta untuk manggilin Akang...", saya mengerti bahwa yang dimaksud adalah B. Namun, ketika itu, saya pikir teman saya itu hanya becanda, karena memang biasanya kami becanda.
Kata saya,"Yee, apaan sih, ntar aja deh...".
"Ih, kang...beneran".
"Udah deh, ntar aja...", sanggah saya lagi.
Namun, tiba-tiba saja dari belakang saya, "Akang...". Saya sangat mengenal suara itu, suara B. Lalu saya menengok ke belakang, dan nampak B sedang tersenyum kepada saya, "Akang sombong ih, kok nggak nyapa B, apa kabarnya kang...?". "Baik...", kata saya, sambil tersenyum juga, antara kaget dan tidak percaya. "Akang jangan nangis ya...?", candanya, tentu saja yang dimaksud adalah agar saya jangan menangisi pernikahan A. Dan saya, lagi-lagi hanya bisa tersenyum saja. Tiba-tiba, teman saya menimpali, "Wah, Donny sih udah kebal masalah beginian mah, udah keseringan...". Saya hanya bisa tertawa saja. Sialnya, saya disangka nangis beneran sama teman-temannya, karena ketika itu mata saya merah sekali dan bengkak. Padahal itu akibat dari debu yang masuk ke mata saya sepanjang 2 jam perjalanan, apalagi mata saya memang sangat sensitif dan gampang sekali berubah warna menjadi merah, selain itu juga karena saya memang kurang tidur.
"Akang nangis ya ?".
"Nggak lah, ngapain pake nangis segala...?".
"Itu kok matanya merah gitu?".
"Yeee, ini kan gara-gara kena debu naek motor...".
"Ah, bilang aja nggak mau mengakui...!!", sambil nyelonong pergi.
"Halah!! coba aja naek motor dan kelilipan debu selama 2 jam...", tapi itu cuma dalam hati saja.
Pikir saya, biarkan saja mereka berpikir macam-macam, percuma juga memperdebatkan sesuatu yang tidak penting. Kenyataannya, saya datang dengan perasaan bahagia, tidak terpikir untuk sedih, apalagi menangis. Bahkan, beberapa hari sebelumnya, saya masih bercanda dengan A di telpon.
"A, gimana acara nikahnya, jadi?"
"Insya Allah, kang."
"Syukurlah, Alhamdulillah, akhirnya..."
"Pokoknya akang harus datang, bawa kado yang gede!! Awas kalo nggak datang..."
"Kado yang gede? Ya udah, akang bawa truk aja ya...?"
"Nggak mau truk, pengennya BMW aja..."
"Wah, matre..."
"Biarin aja...hehehe"
"Ya udah, insya Allah saya datang."
Begitulah. Jadi, tidak ada alasan untuk membuat saya sedih. Apalagi menangisi sebuah pernikahan, bukan gue banget!!! Justru yang mengganggu pikiran saya saat itu adalah sikap B terhadap saya yang kembali 'ramah'. Saya hanya bisa bergumam, "Akhirnya...". Hanya satu kata saja, tapi mewakili segala yang menganggu pikiran saya tentang B, karena itu berarti akhir dari segala kesalahpahaman, akhir dari segala prasangka, akhir dari sebuah beban yang mengganggu pikiran saya. Setelah 2,5 tahun, saya bisa bernafas lega kembali, dan mencoba untuk tidak mempedulikan masa lalu saya dan B yang memiliki noda hitam dalam sejarah hidup saya. "Dia sudah menjadi seorang wanita yang dewasa...", gumam saya dalam hati. Maka, hari itu, kembali saya menjadi seorang saksi yang membuktikan bahwa waktu memang dapat menyembuhkan berbagai hal.
Setelah makan, saya dan teman saya memutuskan untuk cepat pulang, karena kalau terlalu sore, khawatir kehujanan. Setelah meminta ijin kepada pengantin, teman-teman undangan yang hadir, terakhir saya minta ijin pulang kepada B, meskipun obrolan kami juga agak rikuh.
"B, akang pulang duluan ya...?"
"Kok, buru-buru amat...?"
"Ada perlu, lagian saya kan ikut sama teman kesininya juga..."
"Langsung pulang ke Bogor?"
"Nggak kok, saya pulang ke Bandung..."
"Oh, ya udah...eh, kang, minal aidin ya?"
"Iya, sama-sama...Taqabalallhu minna wa minkum...yuk, ah, Assalamualaikum..."
"Wa alaikum salam..."
Lalu, pulanglah saya dengan sebuah perasaan baru, ada sesuatu yang lepas dari jiwa saya, dan membuat saya merasa nyaman, ringan dan bahagia. Sebuah akhir, sekaligus menjadi awal dalam membangun kembali sebuah hubungan. Mungkin tidak sedekat dan seakrab dulu lagi, atau tidak dengan perasaan 'cinta' yang pernah melekat di hati saya, tapi setidaknya saya merasa dibebaskan dari sebuah belenggu yang mengikat saya. Meskipun telah terjadi masalah tersebut, sudah sejak lama saya memaafkan dan memaklumi apa yang B lakukan. Maka, ketika pada akhirnya dia datang kembali ke dalam hidup saya, tidak ada yang lebih baik daripada menyambutnya dengan tangan terbuka dan, semoga saja, dengan hati yang lebih bersih.
S3K3L04, 131106. 23:36.