Idul Adha 1428 H: Sebuah Catatan
Salah satu penyesalan yang muncul tidak lama setelah saya berhenti kerja setahun yang lalu adalah saya lupa bahwa tidak lama setelah itu adalah bulan haji. Berqurban dengan uang sendiri dan dari hasil jerih payah sendiri adalah cita-cita saya. Sebetulnya, tabungan saya saat itu lebih dari cukup untuk sekedar membeli satu ekor kambing. Akan tetapi, saat itu ternyata belum saatnya bagi saya berqurban. Ada kondisi-kondisi darurat yang menyebabkan tabungan saya tersebut terpakai…dan habis.
Alhmdulillah, tahun ini saya diberi kesempatan untuk berqurban dari hasil jerih payah sendiri. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Meskipun, bukan hal yang mudah juga ‘bergelut’ dengan berbagai macam pikiran yang muncul setelah niat berqurban itu muncul. Ada godaan-godaan yang memang ‘menggoda’. “Don, kamu kan pengen laptop, kalau qurban uangnya kurang dong…“. “Don, katanya pengen beli hub, dvd rom dan monitor baru…“. “Don, itu kamera DSLR lagi nunggu kamu beli tuh…“. Duh…!! Tidak jarang juga muncul dorongan untuk membatalkannya. Hanya saja, saya tidak ingin melalui Idul Adha tahun ini dengan penyesalan lagi.
Ketika menulis ini, muncul perasaan khawatir disebut riya kalau menceritakan amal yang telah dilakukan. Namun, takut riya juga ternyata malah masuk kategori riya. Akan tetapi, setelah ‘merenungi’ lagi perjalanan Rasulullah dan para sahabatnya, mereka melakukan amalan-amalan secara terang-terangan. “Luruskan niat!”, kata AA Gym. Terbayang kembali ketika Umar Bin Khattab r.a menyerahkan setengah harta yang didapatkannya untuk Jihad, yang kemudian dijawab oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, “Saya serahkan semua harta yang saya dapatkan hari ini, ya Rasulullah!” Barangkali, masalahnya bukan diceritakan atau tidaknya suatu amalan. Ada saatnya harus diceritakan, ada saatnya harus disembunyikan. Toh, keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa ‘merasa’ ikhlas padahal tidak, atau ketika kita tidak merasa ikhlas, namun ternyata di sisi Allah kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
Kali ini, bukan tanpa tujuan dan alasan jika kemudian saya menceritakan pengalaman berqurban pada Idul Adha tahun ini. Selama ini, saya sudah sering juga ‘menasihati’ orang-orang terdekat saya untuk berqurban. Barangkali, dengan melakukannya terlebih dahulu, ajakan saya itu akan lebih didengar. Pada dasarnya, setiap orang paling enggan untuk ‘diperintah’. Orang lebih melihat keteladanan daripada hanya sekedar ‘perintah’. Salah satu kunci keberhasilan dakwah Rasulullah adalah keteladanan, dan saya ingin mencontoh cara-cara Rasulullah tersebut. Sehingga, ajakan saya tidak hanya sekedar omongan saja, tapi juga disertai dengan bukti.
Di sisi lain, saya juga memiliki teman-teman yang memiliki ‘tabungan’ yang saya perkirakan jumlahnya jauh lebih banyak daripada apa yang saya miliki. Akan tetapi, mereka belum tergerak untuk berqurban. Barangkali, dengan cara seperti ini, mereka bisa tergerak untuk berqurban juga. Fastabiqul khoirot. Jika saya yang masih ‘ngos-ngosan’ untuk mencari penghidupan sehari-hari saja bisa untuk berqurban, seharusnya mereka yang kondisi ekonominya lebih baik, jauh lebih mampu lagi.
Sebetulnya tidak sulit dan tidak berat jika kita mau. Menjadi sulit dan berat karena biasanya kita mengikuti ‘bisikan’ yang muncul di dalam hati kita. Kita terlalu memikirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu ditakuti. Takut ini, takut itu, bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Salah satu rahasia yang saya dapatkan agar ibadah atau amalan menjadi lebih mudah adalah…Just Do It! Karena pada dasarnya, ibadah menjadi ringan karena kerelaan atau kepasrahan ketika melakukannya. Semakin banyak yang kita pikirkan dan takuti, semakin berat kita melakukan ibadah.
Pada kasus saya, dana untuk qurban itu saya alokasikan jauh-jauh hari. Tidak bisa diganggu gugat lagi, kecuali memang ada kondisi yang lebih darurat. Dengan menempatkan qurban sebagai prioritas utama, menjadikan qurban ada di posisi yang sangat penting. Dan karena sangat penting, maka menjadi sebuah keharusan atau bahkan kewajiban bagi saya untuk melakukannya. Dengan cara seperti itu, berqurban akan menjadi sangat mudah. Itulah yang saya lakukan. Kita tidak akan merasa terlalu ’sayang’ ketika uang yang kita miliki berpindah tangan kepada amil jika kita titipkan, juga kepada penjual domba atau sapi jika kita membelinya sendiri.
Cara lain adalah dengan menempatkan qurban sebagai sebuah kebutuhan, terlebih lagi keinginan. Jika kita membutuhkan sesuatu, maka kita akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dan karena merasa butuh, kita pun biasanya akan merasa ringan untuk mengeluarkan uang berapa pun jumlahnya. Harga seekor kambing untuk qurban berkisar antara 600 ribu - 1 juta. Harga ponsel jauh lebih mahal, tapi kita tidak merasa keberatan untuk membelinya karena kita menginginkannya. Jutaan orang pergi haji juga bukan semata-mata karena kewajiban sebagai seorang muslim saja, tapi juga karena keinginan haji tersebut sudah mendarah-daging, sehingga puluhan juta rupiah pun tidak berat mengeluarkannya.
Sebetulnya, saya merasa Idul Adha bukan hari raya buat saya. Karena alasan yang sangat personal. Saya tidak suka daging kambing dan daging sapi. Terlebih bau daging kambing yang sering membuat saya menderita. Maka, saya kadang-kadang malah merasa malas jika mendekati hari raya Idul Adha. Belum lagi penderitaan itu masih akan terus berlangsung selama beberapa hari sesudahnya, karena bau darah daging kambing yang biasanya bertahan cukup lama. Sementara kebanyakan umat Islam ‘berpesta’, saya tersiksa Nafsu makan saya turun drastis ketika Idul Adha dan beberapa hari sesudahnya. Saya juga sering uring-uringan kalau ibu memasak apa pun yang berbau kambing. Karena alasan itu pula, saya enggan dan tidak pernah terlibat dalam kepanitiaan Idul Adha. Akan tetapi, ketidaksukaan saya itu tentunya bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan qurban. Syariat tidak bisa dipatahkan hanya karena kita tidak menyukai suatu hal yang berhubungan dengan syariat itu.
Bagi orang-orang seperti saya yang tidak menyukai daging kambing atau sapi, barangkali ‘godaan’-nya terasa lebih berat. Dalam qurban ada sepertiga hak bagi yang melakukannya. Pada kasus orang-orang seperti saya, tentunya tidak bisa menikmati hak tersebut. Hal ini tentunya menjadikan qurban yang kita lakukan tidak ‘berasa’, karena kita seolah-olah membeli sesuatu, tapi kita tidak mendapatkan apa-apa. Akan tetapi, kalau logikanya dibalik, kita bisa lebih bersyukur karena daging qurban kita bisa ‘menjangkau’ dan dinikmati lebih banyak orang. Dan barangkali, diantara banyak orang tersebut, ada yang mendoakan kebaikan untuk kita dan dikabulkan oleh Allah. Siapa pula yang tidak ingin didoakan oleh banyak orang?
Saya akan merasa lebih senang jika mendapati orang-orang disekitar saya lebih tertarik dan berusaha untuk bersama-sama berlomba dalam beramal sholeh. Salah satunya berqurban. Iri pada orang-orang sholeh adalah iri yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Apabila semangat fastabiqul khoirot tertanam di dada setiap orang, maka akan tercipta kondisi di mana setiap orang bersaing untuk melakukan amal sholeh. Jika dunia sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha untuk beramal sholeh, rasanya kita tidak perlu menyaksikan lagi kasus-kasus rebutan daging qurban di televisi-televisi kita, yang membuat kita mengelus dada dan geleng-geleng kepala.
C 1 H 3 U L 4 17 6. 241207. 05.03
Labels: Islam, Refleksi